Harga BBK Naik, Pengaruhi Kajian Penurunan Pajak Pertalite Oleh Pansus DPRD Riau
Ditengah kajian Panitia Khusus (Pansus) revisi pajak daerah tentang pajak pertalite, tiba-tiba harga pertalite dari pusat naik.
Penulis: Alex | Editor: David Tobing
Laporan Wartawan Tribun Pekanbaru, Alexander
TRIBUNPEKANBARU.com, PEKANBARU -- Ditengah kajian Panitia Khusus (Pansus) revisi pajak daerah tentang pajak pertalite, tiba-tiba harga pertalite dari pusat naik.
Harga jual yang sebelumnya di Riau Rp 8.000, naik menjadi Rp 8.150. Padahal, walau kajian belum tuntas, namun pihak Pansus sudah sepakat untuk menurunkan pajak pertalite dari 10 menjadi 5 persen.
Salah seorang anggota Pansus, Sumiyanti mengatakan, ada kemungkinan pihaknya akan mengkaji ulang dari awal untuk menghitung dari harga dasar yang ditetapkan pihak pertamina yang terbaru.
"Ada kemungkinan akan kita kaji lagi. Karena penghitungan sebelumnya adalah dengan harga jual yang lama, sekarang kan sudah ditetapkan yang terbaru," kata Sumiyanti kepada Tribun, Sabtu (24/3).
Namun demikian, pada dasarnya angka 5 persen pajak pertalite sudah disepakati, dan menurutnya tidak mungkin diturunkan lagi, untuk mendapatkan harga jual yang lebih rendah, agar masyarakat tidak terbebani.
Hal itu dikarenakan dalam aturan pajak pertalite angka minimalnya adalah 5 persen, dan tidak boleh dibawah angka 5 persen tersebut.
"Kita sudah sepakat diangka 5 persen, setidaknya untuk harga jual sama dengan Sumatera Barat. Kalau soal harga nasional, sebenarnya kita tak bisa berspesikulasi di situ. Kalau harga nasional itu kan dinaikkan pemerintah pusat, ini bukan lagi kebijakan daerah," imbuhnya.
Anggota Pansus lainnya, Suhardiman Amby mengatakan, finalisasi perubahan Perda No.4/2015 tentang pajak daerah akan dilaksanakan pada Senin (26/3) depan.
Dikatakannya, kenaikan harga pertalite saat ini juga diperangruhi oleh kenaikan harga minyak mentah dunia. Hal itu ia ketahui setelah melakukan kroscek kepada pihak Pertamina.
Namun demikian, menurut dia semestinya Riau bisa mempunyai kebijakan kusus. Karena selama ini provinsi dengan julukan Negeri Lancang Kuning ini merupakan penghasil minyak terbesar tingkat Nasional.
Dukatakannya, sudah sewajarnya Pemerintah Pusat memberikan otonom kusus kepada Riau. Sehingga Pemerintah Daerah leluasa membuat aturan. Termasuk menjadikan PBBKB 0 persen. Karena selagi masih terikat dengan peraturan yang lebih tinggi, maka batas maksimum penurun PBBKB hanya sebesar 5 persen.
"Saya sudah berkali-kali sampaikan. Harus ada aturan kusus untuk Riau. Kita ini penghasil minyak. Masak kita ga bisa membuat aturan kusus di Negeri kita. Buat 0 persen. Bukannya tidak mungkin. Kan bisa subsidi silang dengan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas," kata Suhardiman.
Ia juga mengatakan, pihaknya mendesak agar pihak Pemprov memikirkan hal ini. Karena sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat Riau kedepan.
"Perekonomian tumbuh hanya 2 persen. Daya beli masyarakat rendah. Udah berulang-ulang kami ekspos pada minggu yang lalu. Mungkin mereka tak sempat baca," ujarnya.