Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Penyair Leon Agusta Pernah Jadi Guru di Bengkalis

Leon Agusta lulus dari Sekolah Guru A di Payakumbuh, Sumatera Barat pada tahun 1956 kemudian menjadi guru Sekolah Guru B Bengkalis pada tahun 1959.

Penulis: harismanto | Editor: harismanto
leonagustainstitute.com

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Leon Agusta yang meninggal dunia, Kamis (10/12/2015) pada pukul 16.15 WIB di Padang, adalah nama pena Ridwan Ilyas. Ia adalah sastrawan Indonesia yang lahir di Sigiran, Nagari Tanjung Sani Maninjau, Sumatera Barat pada 5 Agustus 1938. Ia dikelompokkan dalam sastrawan angkatan 1966-1970an.

Seperti dimuat Digital Archipelago, Leon Agusta lulus dari Sekolah Guru A di Payakumbuh, Sumatera Barat pada tahun 1956 kemudian menjadi guru Sekolah Guru B Bengkalis pada tahun 1959. Dia memang terlahir dari keluarga pendidik.

Ayahnya adalah seorang guru agama, seorang ulama yang menjadi korban perang saudara akibat konflik politik. Setelah beberapa lama mengajar, ia merasa bahwa pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan panggilan jiwanya. Ia pun berhenti dan kembali mencurahkan waktunya untuk menekuni sastra dan kesenian. Sejak tahun 1960-an ia sudah produktif menulis puisi.

Sebenarnya ia juga pernah mencoba menjadi wartawan Haluan, koran terkemuka di Padang. Namun, lagi-lagi panggilan jiwanya terhadap sastra dan kesenian semakin kuat. Sementara itu, sifat dasar dunia jurnalistik dan sastra sangatlah berbeda sehingga ia memutuskan untuk berhenti setelah enam bulan bekerja.

Ia lalu mengembangkan bakat seninya, tidak hanya sastra, tapi juga teater. Pada tahun 1972-1974 dia memimpin Bengkel Teater Kota Padang. Walaupun tidak lama, ia sudah berhasil menghidupkan kembali semangat berteater di kota Padang. Bersama kelompoknya ini, ia sempat mementaskan beberapa pementasan drama.

Pada April-Oktober 1974, ia mengadakan teater bersama Anak Alam di Kuala Lumpur. Pada Januari-April 1977 dia mengunjungi beberapa pusat teater di Amerika Serikat yang disponsori oleh The JDR Fund 3rdNew York. Dilanjutkan ke Nancy, Prancis untuk mengikuti Festival Teater Kontemporer.

Pada tahun 1978, dia juga pernah ke California untuk mengikuti acara sejenis. Kemudian pada tahun 1980 (Januari-April), ia menyelenggarakan workshop teater di National Theater of Drama di New Delhi, India yang juga disponsori oleh The JDR Fund 3rd New York.

Selain teater, bidang puisi juga pernah mengantarkannya ke mancanegara, yaitu pada forum-forum sastra. Awalnya, ia diundang menjadi sastrawan tamu di Malaysia dan tinggal di sana selama tiga bulan pada tahun 1974. Ia menulis beberapa puisi di sana.

Kemudian pada tahun 1976, dia mengikuti International Writing Program di Universitas Lowa, Amerika Serikat. Dari sinilah, ia kemudian menerbitkan sebuah kumpulan puisi Di Sudut-sudut New York (1977). Pada Agustus 1978 ia kembali ke Lowa untuk menjadi Visiting Writer.

Leon adalah sastrawan yang juga turut menandatangani Manifes Kebudayaan (1964). Ia pernah menjalani hukuman di penjara Tanah Merah, Pekanbaru atas dakwaan pasal 107 KUHP dari Januari hingga Juli 1970. Beberapa sajak yang ditulisnya di penjara dimuat di majalah sastra Horison edisi Desember 1970.

Penyair yang juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta ini juga menerjemahkan beberapa puisi karya penyair dunia ke dalam bahasa Indonesia. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen, novel, dan esai kebudayaan.

Beberapa karyanya di antaranya adalah:Monumen Safari (puisi, 1966), Catatan Putih (puisi, 1975), Di Bawah Bayangan Sang Kekasih (novel, 1978), Hukla (puisi, 1979), Berkemah dengan Putri Bangau (puisi anak-anak, 1981), Hedona dan Masochi (cerpen, 1984), dan lain-lain.

Dia juga sudah beberapa kali tampil di Taman Ismail Marzuki, Jakarta untuk membacakan puisinya yang pada saat itu merupakan capaian penting karir seorang penyair. Dalam pembacaan puisinya, unsur-unsur teater sering menjadi bagian penting pertunjukan.

Pada tahun 2013, ia juga menjadi salah satu narator sebuah buku audio untuk cerpen berjudul Salvador karya Seno Gumira Ajidarma yang merupakan bagian dari buku kumpulan cerpen Saksi Mata. Buku ini berkisah tentang fakta seputar insiden Dili yang berlatar Timor Leste semasa masih menjadi bagian Indonesia. (nto)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved