Ramadhan 1437 H
Puasa 19 Jam Dalam Suhu Ekstrim, Dosen UR Ini Tetap Semangat
“Kalau di sini saya berpuasa selama kurang lebih 19 jam 30 menit dengan waktu sahur sekitar pukul 02.28 dan buka sekitar pukul 21.59."
Laporan wartawan Tribun Pekanbaru, Firmauli Sihaloho
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Setiap negara mempunyai rentang waktu yang berbeda pada bulan suci Ramadhan. Jika masyarakat di Indonesia berpuasa selama kurang lebih 12 jam, di benua Eropa, masyarakat muslim berpuasa dengan durasi waktu puasa bisa mencapai 22 jam lamanya.
Hal inilah yang dialami seorang Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Riau, Zetra Hainul Putra yang menempuh program studi S3 di University of Copenhagen, Denmark sejak September 2015 lalu melalui program Kemenristekdikti.
“Kalau di sini saya berpuasa selama kurang lebih 19 jam 30 menit dengan waktu sahur sekitar pukul 02.28 dan buka sekitar pukul 21.59 dengan suhu udara berkisar antara 20 – 25 C,” jelasnya kepada Tribun Pekanbaru.com melalui pesan elektronik (e-mail,red) yang dikirimnya.
Pria yang menyelesaikan studi S1 nya di Universitas Riau ini merasa kelelahan selama menjalankan puasa di Negara Skandinavia ini. Bagaimana tidak, ia harus tetap kuliah dari pukul 09.00 hingga 17.00 waktu setempat dengan cuaca yang cukup ekstrim.
“Tetapi dengan niat dan semangat yang kuat untuk menjalankan puasa, Insya Allah sejauh ini saya masih bisa bertahan,” sebutnya.
Sedangkan untuk jadwal tarawih, ia melaksanakan nya pada pukul 12 malam.
“Ini sungguh sebuah tantangan tersendiri bagi kami terutama suhu di malam hari bisa mencapai 10’C dan cukup dingin,” ucapnya.
Uniknya, selama bulan puasa ia tetap melaksanakan tadarus bersama mahasiswa muslim lainnya yang dilaksanakan secara online melalui aplikasi video, SKYPE.
“Ini pengalaman yang sangat menarik karena sangat berbeda dengan apa yang kita lakukan di Indonesia, dimana saya bersama warga muslim Indonesia lainnya yang tergabung dalam Indonesian Muslim Society in Denmark melaksanakan tadarus seusai berbuka puasa melalui SKYPE,” sebutnya.
Meskipun menjalakan ibadah puasa di Negara yang penduduk muslim nya hanya berkisar 4% dari 5,5 juta penduduk, namun ia mendapatkan perhatian dari mahasiswa dan masyarakat Denmark. Diakuinya, masyarakat setempat sering bertanya mengenai kondisi kesehatannya selama menjalankan puasa.
Beda negara, tentu beda pula suasana yang dihadapi pria yang mempunyai hobi sepakbola ini, salah satunya menu buka puasa seperti takjil.
“Disini kami tidak bisa membeli takjil karena tidak ada yang menjual seperti di Indonesia, jadi kalau mau, ya harus buat sendri dan bahan-bahannya biasanya cukup mudah didapatkan di toko-toko Asia di Copenhagen,” terangnya.
Saat ditanyakan mengenai kesulitannya menjalankan puasa di negeri asal para penjelajah laut ini (Viking,red) ia merincikan perihal lamanya durasi waktu berpuasa dan cuaca menjadi masalah tersendiri baginya.
“Disamping itu, masyarakat di sini juga berpakain dengan sedikit terbuka, hal ini tentu jauh lebih berat dimana saya harus menjaga pandangan saya guna menjaga agar pahala puasa yang saya lalui tidak hilang begitu saja,” tegasnya.