Korupsi KTP Elektronik

Akan Banyak Nama Besar Muncul dalam Sidang Korupsi e-KTP Hari Ini

Dalam surat dakwaan kasus dugaan korupsi e-KTP, KPK akan mengungkap adanya indikasi penyimpangan dalam tiga tahapan.

Editor: Sesri
TribunPekanbaru/TheoRizky
Warga tengah merekam data untuk pembuatan e-KTP di Kantor Camat Bukit Raya, Pekanbaru, Senin (5/9/2016). Perekaman data atau pembuatan e-KTP di Kantor Camat ini meningkat tajam akhir-akhir ini sejak penetapan Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang meminta kepada masyarakat Indonesia untuk merekam data kependudukan atau membuat e-KTP hingga tanggal 30 September 2016 mendatang. 

TRIBUNPEKANBARU.COM, JAKARTA - Menteri Dalam Negeri RI, Tjahjo Kumolo memastikan proyek pengadaan blanko e-KTP tetap berjalan.

Menurutnya proyek ini tidak akan terganggu dengan penyidikan dugaan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sidang perdana perkara yang menjerat mantan pejabat pembuat komitmen e-KTP Sugiharto dan bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman, itu akan digelar hari ini, Kamis (9/3/2017).

"Tidak masalah, kami (Kemendagri) jalan terus walaupun ibarat naik mobil persenelingnya belum bisa lancar. Tapi kami terus memacu bahwa perekaman data bisa," ujar Tjahjo.

Mantan Sekjen PDIP ini menjelaskan saat ini pihak Kemendagri sedang melakukan finalisasi tender blanko E-KTP.

Pihaknya sedang menunggu laporan dari Dirjen Dukcapil. Tjahjo juga mengungkapkan bahwa pihaknya sempat membatalkan tender sebelumnya karena bermasalah.

"Tender yang kemarin saya batalkan karena tidak clean and clear. Kita tidak mau di kemudian hari ada masalah," jelas Tjahjo.

Pada Maret ini pemenang tender sudah bisa ditemukan. Pihak Kemendagri juga meminta saran Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

Dalam pengungkapan dugaan korupsi pengadaan e-KTP, Ketua KPK Agus Rahardjo di Istana Negara, menyebut akan banyak nama besar yang muncul dalam dakwaan pada dua tersangka di kasus ini.

Dalam kasus ini, uang suap dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) diduga lebih dulu dibagi-bagi sebelum anggaran proyek senilai hampir Rp 6 triliun disetujui oleh anggota DPR RI. Hal itu lebih dikenal sebagai praktik ijon.

Dalam surat dakwaan kasus dugaan korupsi e-KTP, KPK akan mengungkap adanya indikasi penyimpangan dalam tiga tahapan. Salah satunya adalah tahap pembahasan anggaran di DPR RI.

KPK menemukan adanya indikasi pertemuan-pertemuan informal sebelum rapat pembahasan anggaran dilakukan.

Setelah itu, dilakukan tahap pembahasan anggaran yang melibatkan anggota Komisi II DPR, Badan Anggaran DPR dan unsur pemerintah, yakni Kementerian Dalam Negeri.

Dalam penyidikan, KPK meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung dugaan kerugian negara.

Hasilnya, audit BPKP menemukan indikasi kerugian negara sebesar lebih dari Rp 2 triliun.

Korupsi yang dalam bentuk penggelembungan anggaran dan suap diduga mengalir ke sejumlah pihak.

Beberapa di antaranya diduga mengalir ke sejumlah pejabat swasta, pejabat di Kementerian Dalam Negeri dan sejumlah anggota DPR RI.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fadli Zon membantah sosialisasi RUU KPK yang dilakukan Badan Keahlian Dewan (BKD) DPR terkait dengan kasus e-KTP.

Fadli mengatakan rencana revisi UU KPK sudah diwacanakan sejak tahun lalu. Secara lisan, kata Politikus Gerindra itu, pemerintah menyetujui revisi itu. Sebagian fraksi di DPR juga menyetujuinya.

"Revisi UU KPK itu adalah wacana yang memang ada tahun lalu," kata Fadli Zon.

Fadli juga mengingat Presiden Jokowi menyampaikan perlu adanya sosialisasi dari revisi tersebut. Pasalnya, revisi UU KPK menyangkut sejumlah hal yakni dewan pengawas, penyidik serta penyadapan.

"Pada rapat konsultasi dengan presiden, saya lupa pertengahan tahun lalu. Presiden sendiri menyatakan perlu adanya sosialisasi untuk RUU KPK. Kalau di DPR ada sejumlah fraksi yang mendukung revisi, ada juga yang menolak," kata Fadli.

Fadli memgatakan BKD tidak hanya melakukan sosialiSAsi mengenai RUU KPK saja tetapi rancangan undang-undang lainnya. Ia juga belum memastikan apakah RUU KPK akan masuk program legislasi nasional (Prolegnas).

Fadli mengatakan sosialisasi RUU KPK baru dilaksanakan karena sudah lama tertunda.

"Memang harusnya lebih awal. Tapi mungkin karena kegiatan
dan lain-lain dan dinamika di DPR itu baru mulai bisa dilakukan. Itu seperti seminar-seminar biasa saja menampung. Banyak juga kan masukan-masukan yang kritis," kata Fadli. (tribun/fah/fer)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved