Perayaan Imlek 2018
Siapa Sangka, 30 Tahun Dikekang, Imlek Kini Bebas Dirayakan
30 tahun alami pengekangan, imlek kini bebas dirayakan di tanah air. Di zaman orde baru, perayaan ini hanya bisa dilakukan di kalangan terbatas.
Gong Xi Fa Cai artinya ucapan selamat dan semoga banyak rezeki. Adat ini kemudian di bawa oleh masyarakat Tionghoa ke manapun dia merantau, termasuk ke Indonesia.
Perayaan Imlek dari Rezim ke Rezim
Pada era Orde Lama, Imlek tidak bisa terlepas dari dimensi politik. Kala itu, perayaan Imlek diberikan tempat karena Presiden Soekarno membangun persahabatan dengan pemerintah Cina.
Apresiasi pemerintah terhadap Imlek itu dibuktikan dengan kebijakan Soekarno mengeluarkan Ketetapan Pemerintah tentang Hari Raya Umat Beragama Nomor 2/OEM Tahun 1946.
Pada butir Pasal 4 disebutkan, Tahun Baru Imlek, Ceng Beng (berziarah dan membersihkan makam leluhur) dan hari lahir dan wafatnya Khonghucu sebagai hari libur.
Pada masa Orde Baru, etnis Tionghoa mengalami kekangan dari pemerintah. Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tiongkok.
Inpres tersebut menetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup.
Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka.
Termasuk tarian Barongsai dan Liong dilarang dipertunjukkan pada publik.
Inpres ini bertujuan mengeliminasi secara sistematis identitas, kebudayaan dan adat istiadat etnis Tionghoa.
Kebijakan represif itu diberlakukan lantaran Orde Baru khawatir munculnya kembali benih-benih komunis melalui etnis Tionghoa.
Selain intruksi, ditetapkan pula Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang isinya menganjurkan WNI keturunan yang masih menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai upaya asimilasi.
Kebijakan itu didukung dengan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) yang mengarahkan etnis Tionghoa mau melupakan dan tidak menggunakan lagi nama Tionghoa.
Mereka juga dianjurkan menikah dengan warga pribumi asli, dan menanggalkan bahasa, agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa, dalam kehidupan sehari-hari.
Kebijakan diskriminatif itu yang mengukuhkan sentimen anti Cina dalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi ini berlangsung selama 30 tahun.