13 Tahun di Arab Saudi, Kisah Perantau Zaini Misrin Berakhir Ditangan Algojo Pancung
Zaini Misrin merantau ke Arab Saudi untuk bekerja sebagai sopir pribadi pada 1992. Ia sempat kembali ke Tanah Air sebelum
Pemerintah Indonesia telah melakukan semua upaya untuk membebaskan Zaini Misrin dari eksekusi hukuman mati di Arab Saudi.
"Sejak pertama kasus ini muncul pada tahun 2004, hampir semua upaya pembebasan Zaini Misrin dari hukuman mati sudah dilakukan," kata Iqbal.
Selain dua kali mengajukan PK, sejak 2004, KJRI di Jeddah, Arab Saudi, telah berkunjung ke penjara tempat Zaini Misrin ditahan sebanyak 40 kali.
Sejak 2011, pemerintah telah sudah menunjuk dua pengacara untuk Zaini Misrin.
"Kami juga sudah fasilitasi keluarga untuk berkunjung ke Arab Saudi tiga kali. Satu kali di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dua kali di era Presiden Joko Widodo," kata Iqbal.
Bahkan, selama Zaini Misrin ditahan dari 2004 hingga sebelum dieksekusi, ada 42 nota diplomatik yang telah dikirimkan Indonesia ke Kementerian Luar Negeri Arab Saudi.
Presiden Indonesia pun telah berulang kali mengirimkan surat kepada Raja Arab Saudi, Raja Salman agar kasus Zaini Misrin ditinjau kembali.
"Sekali era presiden SBY, dua kali era Jokowi. Sekurang-kurangnya juga tiga kali isu Zaini Misrin ini diangkat oleh presiden dalam pertemuan empat mata dengan raja Saudi Arabia. Menlu RI juga tiga kali angkat masalah ini dengan Menlu Saudi Arabia," kata Iqbal.
Pelanggaran HAM
Aktivis buruh migran Indonesia mengecam Pemerintah Arab Saudi yang mengeksekusi mati Zaini Misrin. Eksekusi itu dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu (mandatory consular notification) kepada pemerintah Indonesia.
"Kami mengecam dan mengutuk eksekusi hukuman mati terhadap Muhammad Zaini Misrin. Eksekusi itu merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang paling dasar, yakni hak atas hidup," ujar Ketua Pusat Studi Migrasi Anis Hidayah mewakili sejumlah organisasi masyarakat pegiat HAM dan buruh migran.
"Pemerintah Arab Saudi telah melanggar prinsip-prinsip tata krama hukum internasional dengan tidak pernah menyampaikan mandatory consular notification, baik pada saat dimulainya proses peradilan dengan ancaman hukuman mati dan juga pada saat eksekusi mati dilakukan," lanjut dia.
Para aktivis buruh migran juga menyayangkan proses hukum yang jauh dari prinsip transparan dan keadilan. Misalnya, Zaini Misrin dipaksa mengaku membunuh majikannya oleh otoritas Arab Saudi melalui serangkaian tindakan tekanan dan intimidasi.
Bahkan, saat vonis eksekusi mati dijatuhkan oleh otoritas Saudi, ia tak didampingi penerjemah yang netral dan imparsial.
Hal itu membuat terdakwa tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya sehingga tidak dapat membela diri.
Menurut pengakuan, Zaini Misrin baru mendapatkan akses komunikasi dengan KJRI Jeddah pada November 2008, setelah vonis hukuman mati dijatuhkan.
"Berdasarkan pembacaan atas proses pemeriksaan hingga peradilan yang memvonis mati hingga proses eksekusi mati terhadap Zaini Misrin ditemukan beberapa kejanggalan dan ketidakadilan hukum serta pengabaian pada prinsip fair trial serta pengabaian pada hak terdakwa yang menghadapi ancaman hukuman maksimal," ujar Anis.
Para aktivis mendesak Indonesia mengambil langkah diplomasi yang tegas terhadap Arab Saudi agar peristiwa serupa tidak terulang di kemudian hari. (Moh Nadlir)