Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Sejarah Kelam Indonesia vs Malaysia di Piala Thomas, Istilah Serumpun Berubah Jadi Bebuyutan

Malaysia atau Malaya saat itu mau tidak mau memang merasa terganggu dengan "ancaman dari selatan," Indonesia.

Editor: Muhammad Ridho
PP PBSI
Tim Piala Thomas Indonesia 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Hingga dekade 1980-an, istilah "serumpun" kerap digunakan menggambarkan kedekatan hubungan Indonesia dan Malaysia. Namun, istilah ini tidak berlaku di ajang Piala Thomas.

Sejak bertemu pertamakali pada perebutan Piala Thomas di Singapura pada 1958, persaingan Indonesia dan Malaysia secara berangsur berubah menjadi bebuyutan.

Malaysia atau Malaya saat itu mau tidak mau memang merasa terganggu dengan "ancaman dari selatan," Indonesia.

Piala Thomas
Piala Thomas ()

 
Bagaimana tidak kesal. Malaya adalah juara bertahan Piala Thomas dan tak terkalahkan sejak Piala Thomas pertama kali diperebutkan pada 1949.

Mereka melibas kekuatan-kekuatan benua lain seperti Denmark (1949 dan 1955) dan Amerika Serikat (1952).  Malaya diperkuat pemain-pemain juara All England pada dekade 1950-an, seperti Wong Peng Soon, Eddy Choong dan Ooi Teick Hock.

Kombinasi mereka saja sulit dihadapi jago-jago Amerika dan Eropa. Namun, semua seperti sirna pada perebutan 1958.

Adalah  "ancaman dari Selatan" yang menjungkirbalikkan kekuatan lama bulu tangkis. 

Para pemain Indonesia dipimpin oleh Tan Joe Hok yang antara lain diperkuat Ferry Sonneville, Njoo Kim Bie, Tan King Gwan, Eddy Jusuf, Olich Solihin, Lie Po Djian mampu mengalahkan kekuatan lama Malaya yang diperkuat Eddy Choong, Lim Say Hup, Johnny Heah.  

Tan Joe Hok, satu-satunya anggota skuad 1958 yang masih  hidup, mengenang perjuangan 1958 seperti "mission impossible."

"Kami mempersiapkan tim dengan berlatih secara mandiri. Para pemain bahkan datang ke tempat latihan dengan menggunakan becak yang saat itu merupakan transportasi umum yang lazim di ibu kota,” kata Tan Joe Hok.

Namun dukungan masyarakat luar biasa. Lewat dompet donasi yang dibuka sebuah media massa, terkumpul dana untuk mendatangkan tunggal putra utama lainnya, Ferry Sonneville, yang tengah bersekolah di Belanda.

Joe Hok juga menyebut bahwa perhatian baik dari pemerintah atau pun masyarakat pecinta bulu tangkis membuat para pemain berusaha maksimal.

Tidak diunggulkan saat di final menghadapi Malaya, pada 14-15 Juni 1958, Indonesia justru mempermalukan sang juara bertahan. Mereka unggul 3-1 di malam pertama dan menang 6-3 di malam kedua,

Asal tahu, saat itu Piala Thomas masih menggunakan format 9 partai (5 tunggal dan 4 ganda) dan dipertandingkan dua hari.

Begitu malunya, sampai pada farewell party, Ketua Asosiasi Bulu Tangkis Malaysia (BAM) Heah Joo Seang mengecam para pemain Piala Thomas Malaysia di depan para tamu.

Kapten tim Malaya, Eddy Choong, sampai menangis mendengar kecaman yang dialamatkan buat dirinya dan timnya.

Sejak 1958 itulah, Indonesia dan Malaya seperti menempatkan Piala Thomas sebagai ajang  peperangan akhir yang menentukan.

Apalagi dekade 1960-an ditandai dengan konfrontasi kedua negara yang ditandai dengan persaingan antara pemimpin kedua negara, Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman Putera.

Ketika konfrontasi usai pada 1967, persaingan di lapangan tidak otomatis tuntas.

Pada perebutan Piala Thomas pada 1967, semangat "Anti Nekolim dan Ganjang Mayasia" masih  terasa di Istora Senayan.

Indonesia sebagai juara bertahan bertemu dengan Malaysia di final Piala Thomas yang berlangsung 9-10 Juni di Istora Senayan.

Popularitas bulu tangkis, Piala Thomas dan terlebih aroma persaingan dengan Malaysia membuat para penonton memadati istora pada dua hari tersebut.

Tim Piala Thomas 1967 bersama penyiar TVRI Sambas.
Tim Piala Thomas 1967 bersama penyiar TVRI Sambas. ()

Namun tim Indonesia sama sekali tak diunggulkan pada saat itu. Masih mengandalkan pemain tua seperti Ferry Sonneville, tim Indonesia tampil underdog menghadapi Malaysia yang  saat itu diperkuat juara All Engfland, Tan Aik Huang dan ganda Ng Boon Bee/tan Yee Khan.

Bahkan, Pejabat Presiden Soeharto yang baru menggantikan Presiden Soekarno memutsukan tidak hadir karena diberi tahu tentang peluang Indonesia untuk menang lebih kecil.

Seperti akhirnya diketahui, final Piala Thomas 1967 meninggalkan coreng dalam sejarah bulu trangkis yang dikenal sebagai "peristiwa Scheele."

Penonton dianggap mengganggu pemain Malaysia dan memberi dukungan berlebihan kepada para pemain Indonesia saat tertinggal 3-4 di malam kedua. 

Saat itu pasangan Agus Susanto/Muljadi harus menghadapi juara All England, Ng Boon Bee/tan Yee Khan. Jika mereka kalah, Piala Thomas harus terbang ke Malaysia dan direbut di tanah Indonesia.

Tak kuat menghadapi kenyataan ini, para penonton mulai bertindak anarkis. Mereka menyoraki setiap kali pemain Malaysia melakukan servis.

Gim pertama, pasangan Indonesia kalah mudah 2-15 dan kemudian tertinggal 2-10. 

Di saat itulah, para pemain Malaysia tiba-tiba kehilangan konsentrasi, dikejar hingga 13-13 dan kemudian menyerah 13-18.

Namun tindakan penonton tak dapat dibenarkan oleh Wasit Kehormatan Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF) asal Inggris, Herbert Scheele.

Ia meminta  panitia dan bahkan pengurus PBSI untuk meredakan penonton. Ketika diabaikan, Scheele meminta pertandingan dihentikan dan dilanjutkan keesokan harinya tanpa penonton.

Pihak Indonesia menolak. Piala Thomas pun melayang ke Kuala Lumpur. Indonesia memang jauh lebih sukses daripada Malaysia di ajang Piala Thomas.

Sama-sama telah 27 kali berpartisipasi, Indonesia tercatat 13 kali menjadi juara dan 6 kali runner up. 

Indonesia menjadi juara pada 1958, 1961, 1964, 1970, 1973, 1976, 1979, 1984, 1994, 1996, 1998, 2000 dan 2002. Enam  di antaranya dengan mengalahkan Malaysia di final.

Sementara Indonesia gagal enam kali di final, dengan dua kalinya melawan Malaysia (1967 dan 1992).

Malaysia sendiri juga sudah 27 kali ikut putaran final, dengan lima kali menjadi juara (1949, 1952, 1955, 1967, 1992) dan sembilan kali menjadi finalis.

Indonesia telah menjadi tuan rumah Piala Thomas sebanyak 8 kali dengan Malaysia (dan Malaya) menjadi tuan rumah juga delapan kali.

Setiap kali melakukan pertandingan tandang, selalu ada keluhan dari tim tamu.

Malaysia mengalaminya di Jakarta, pemain Indonesia pun merasakan atmosfer pemusuhan setiap kali bertanding di Malaysia.

Cerita tentang kejamnya penonton Istora Senayan terhadap para pemain Malaysia pada Piala Thomas 1967 telah menjadi catatan sendiri dalam sejarah bulu tangkis.

Namun para pemain Indonesia pun merasakan hal serupa setiap kali bermain di Kuala Lumpur.

Peraih medali emas Olimpiade 1992, Alan Budi Kusuma, merasakan hal tersebut saat Indonesia kalah di final menghadapi tuan rumah Malaysia pada 1992.

"Perlakuan berbeda sudah dirasakan sejak kami keluar hotel. Terkadang kami harus menunggu bus jemputan lama sekali. Begitu muncul, yang datang bus penjara. Istilah ini mereka berikan sendiri, karena busnya tanpa AC dan memiliki jeruji besi," kata Alan.

Teror juga datang dari suasana di stadion negara tempat berlangsungnya final. Para pendukung Malaysia membawa poster bertuliskan "Garuda falls.."

Belum lagi para penonton yang sebagian besar terdiri dari tenaga kerja Indonesia di sana mengalami perlakuan keras dari pihak keamanan.

"Kami kasihan juga melihat para pendukung didorong-dorong polisi Malaysia. Kalau mereka dianggap berteriak terlalu keras dan mengganggu, mereka diseret keluar stadion dan digebuki," kata tunggal putra lainnya, Hermawan Susanto.

Hasilnya, Indonesia kalah 2-3 dan Malaysia kembali meraih Piala Thomas setelah 25 tahun.

Pemain Malaysia pun merasakan hal serupa saat bertanding di Jakarta. Pada Piala Thomas 1994, pemain tunggal Ong Ewe Hock melampiaskan frustrasi dengan merusak permainannya sendiri.

Ia membuang-buang bola saat berhadapan dengan Ardy B Wiranata di partai ketiga.

Ong melakukan hal tersebut setelah protes tim Malaysia terhadap tindakan penonton yang terlalu dekat dengan lapangan, tidak dipenuhi panitia. Indonesia akhirnya juara lagi dengan kemenangan 3-0.

Indonesia terakhir kali bertemu Malaysia di putaran Piala Thomas 2014 di New Delhi, India.

Saat itu Indonesia kalah 0-3 dan Malaysia lolos ke final sebelum kalah menghadapi juara baru, Jepang.

Karena itulah, pertemuan Indonesia dan Malaysia dalam ajang Piala Thomas, Kamis (24/05/2018) malam ini akan menjadi  ajang pembalasan buat tim Indonesia. (*)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved