Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Sharenting, Jangan Sampai Berdampak Buruk Pada Mental Anak

Bukan cuma orang biasa, banyak pesohor seperti artis dalam dan luar negeri senang memamerkan foto dan video buah hatinya di dunia maya.

Penulis: Ariestia | Editor: M Iqbal
Healthy Children
Ilustrasi 

Sharenting, istilah tersebut populer di era internet sekarang. Banyak orangtua milenial melakukannya. Namun ada hal yang harus diperhatikan orangtua agar tidak berpengaruh buruk pada psikologis anak-anak sehingga mereka dapat tumbuh kembang dengan baik.

DESI rajin mengunggah foto putrinya yang baru berusia lima tahun ke akunnya di media sosial. Dalam foto, tampak putrinya bergaya ala model cilik.

Bagi Desi, media sosial merupakan sarana untuk menunjukkan kebanggaan mengenai si buah hati. Ia merasa senang membagikan foto pose anaknya, apalagi sampai dapat pujian dari orang lain.

Ada rasa puas ketika melihat anaknya pandai bergaya dan menunjukkan rasa percaya diri.

Berbagi foto  maupun informasi tentang buah hati bagi Desi bukan sekedar pamer. Melalui kegiatan tersebut, dia berharap dapat mengembangkan bakat dan memupuk kepercayaan diri putrinya walau baru sekedar ‘exist’ di dunia maya.

Baca: Jelang Kurban, Tim Mulai Periksa Kesehatan Sapi Kurban di Dumai

Sedangkan bagi dirinya sendiri, lewat internet dia punya kesempatan untuk saling bercerita tentang perkembangan anak dengan para orangtua lainnya.

Berbeda dengan Desi, Vivin sama sekali tak mau memajang foto anak di media sosial, apalagi sampai memperlihatkan wajah.

Saat putra-putrinya masih balita, ia tidak pernah menampilkan foto mereka di media sosial manapun.

Menurut Vivin, suaminya juga tidak membolehkan foto kedua anak mereka diunggah di media sosial.

Sebab, ia tidak ingin putra-putrinya menjadi target orang-orang yang berniat jahat.

Kekhawatiran itu berdasar. Selain anak-anaknya belum memahami konsep ‘orang lain,’ mereka juga mudah akrab dengan siapa saja, termasuk orang baru dikenal.

Pro dan kontra di antara orangtua mengenai perlunya berbagi foto ataupun informasi anak memang hal yang mungkin terjadi.

Baca: Hewan Kurban di Kampar Diklaim Cukup, Penyakit Ini Paling Diwaspadai

Namun seiring berkembangnya zaman, siapa saja mudah terkoneksi ke internet. Orangtua era milenial pun rentan terjangkit fenomena sharenting.

Istilah sharenting pertama kali diciptakan oleh The Wall Street Journal untuk merujuk perilaku orang tua yang senang membagi informasi atau foto anaknya di media sosial.

Berasal dari kata sharing (berbagi) dan parenting (menjadi orang tua), sharenting kini menjadi fenomena global, sejalan kemajuan teknologi informasi.

Perkembangan media sosial membuat siapa saja bisa berinteraksi dengan individu lain yang jaraknya jauh. Termasuk untuk menjalin pertemanan dengan orang yang belum dikenal atau bertatap muka sekalipun.

Bukan cuma orang biasa, banyak pesohor seperti artis dalam dan luar negeri senang memamerkan foto dan video buah hatinya di dunia maya.

Baca: Mengejutkan, iPhone 6 Wanita Ini Meledak dan Terbakar di Dalam Mobil, Ternyata Ini Penyebabnya

Bahkan ada di antara anak artis memiliki akun sendiri di media sosial, yang tentu saja dikelola oleh orangtuanya.

Setiap ada unggahan video atau foto terbaru, laman media sosial tersebut langsung diserbu dan banjir pujian atau malah menjadi tempat ‘perang’ komentar netizen.

Ada berbagai alasan mengapa orangtua senang melakukan sharenting.

Di antaranya sebagai sarana untuk mengungkapkan kebanggaan pada putra-putrinya.

Orangtua pasti merasa senang melihat perkembangan anaknya dan tak sabar ingin segera berbagi cerita dengan keluarga maupun teman.

Sebagian lainnya melakukan hal itu dilandasi keinginan untuk saling bertukar pengalaman, informasi, tips serta pengetahuan sebagai orangtua dalam membesarkan anak.

Baca: Pusat Layanan Kargo Garuda Indonesia Hadir di Pekanbaru

Berdampak Pada Psikologis Anak

Dilansir Globalnews.ca, penelitian yang dilakukan University of Florida Levin College of Law menunjukkan 92 persen anak-anak berusia dua tahun di Amerika Serikat pernah muncul di internet.

Namun persoalannya, foto yang terpampang di media sosial seperti Facebook, 45,2 persen disertai dengan nama depan mereka. Sebanyak 6,2 persen menyertakan tanggal kelahiran sehingga netizen lain dengan mudah mengetahui usia si anak.

Sedangkan di Instagram, 63 persen orangtua menyebutkan nama anak, paling tidak dalam satu foto di antara sekian banyak yang mereka unggah. Sebanyak 27 persen orangtua juga menyertakan tanggal kelahiran dan 19 persen lainnya menyertakan dua informasi penting tersebut.

Bagi orang yang ingin tahu, data seperti ini cukup untuk membuat mereka mencari informasi tambahan untuk mengetahui alamat anak tersebut. Misalnya dengan membuka akses ke laman media sosial orangtua si anak.

“Orangtua harus waspada informasi ini dapat berakhir di tangan individu atau organisasi yang ingin menyakiti anak,” kata Stacey Steinberg, penulis utama studi dan profesor keterampilan hukum di Levin College of Law, kepada Global News.

Baca: 4 Hape Xiaomi Ini Dibekali Teknologi Artificial Intelligence. Hasil Foto Kameranya Mantap!

Selain itu, komisi keselamatan atau polisi Kanada dan Australia telah menemukan banyak orangtua tak sadar bahwa gambar anak yang dibagikan di internet disalahgunakan dalam situs pedofil.

Demikian juga ketika foto-foto tersebut menjadi objek ‘penculikan digital,’ dimana foto dan informasi mengenai anak diambil orang lain dan diklaim sebagai anak sendiri.

Sedangkan bagi pedofil informasi yang diperolehnya dipakai untuk menjerat korban.

Dr Jillian Roberts, psikolog dan associate professor of educational psychology di University of Victoria juga mengingatkan risiko mengunggah informasi pribadi anak.

“Anda bisa memposting sesuatu, tapi jika teman-teman dan keluarga memilih untuk membagikannya, ini sudah dalam jaringan mereka. Dan foto bisa viral sangat cepat. Jika Anda membagikan informasi sensitif tentang anak Anda pada Ethernet yang lebih luas dan Anda berarti membiarkan anak Anda mendapatkan perhatian yang tidak diinginkan," katanya.

Baca: Kebakaran di Kampung Terendam, Ibu Muda Berhasil Selamatkan Anak dan Keponakannya dari Api

Bukan cuma risiko bahaya, hal lain yang perlu diperhatikan orangtua sebelum membagikan foto anak di media sosial adalah hak privasi mereka.

Sebagai manusia, anak-anak pun memiliki rasa malu ketika gambar yang tidak mereka sukai atau informasi pribadi diketahui khalayak umum.

Apalagi bila postingan orangtua tersebut terbukti mengundang olok-olokan dari orang lain terhadap dirinya saat ini maupun di kemudian hari.

Hal ini akan memberikan pengaruh buruk pada kondisi psikologis anak. Mental mereka akan terpuruk hingga membuatnya merasa rendah diri.

Media di Austria pada 2016 lalu memberitakan seorang gadis remaja 18 tahun menuntut orangtuanya karena telah mengunggah 500 foto dirinya ke media sosial.

Ia sudah meminta untuk menghapus foto-foto itu, namun orangtuanya menolak hingga dia terpaksa mengambil langkah hukum.

Baca: Daerah Ini Punya Bacaleg Artis Terbanyak, 10 Pesohor akan Berebut Suara di Dapil yang Sama 

"Mereka tidak tahu malu dan tidak ada batasan. Mereka tidak peduli jika aku sedang duduk di toilet atau sedang berbaring tak pakai baju di tempat tidur anak-anak, setiap saat difoto dan diunggah ke publik," keluh remaja itu pada koran Heute.

Dilaporkan Institute for Healthcare Policy and Innovation University of Michigan, C.S. Mott Children’s Hospital melakukan poling terhadap orang tua di Amerika Serikat yang melek media sosial.

Poling tersebut menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak kecil, mayoritas menggunakan media sosial seperti Facebook, online forum atau blog.

Lebih dari separuh ibu pengguna media sosial, atau sekitar sepertiga kaum ayah, mendiskusikan kesehatan anak serta memilih topik pengasuhan anak di sosial media.

Sekitar 60-70 persen atau mayoritas orang tua di dalam laporan online mereka menyebutkan media sosial memberikan manfaat nyata bagi mereka.

Yaitu dalam bentuk dukungan moril serta pengetahuan dalam mengasuh anak.

Dalam hal ini, para orang tua menyebutkan media sosial membantu mengurangi rasa cemas karena mereka menjadi sadar bahwa mereka tidak sendirian.

Sedangkan dari segi pengetahuan, para orang tua saling berbagi atau menerima pendapat dari yang lebih berpengalaman.

Mereka jadi tahu apa yang harus atau tidak boleh dilakukan pada anaknya yang masih kecil.

Menjadi Orangtua yang Bijak

Baca: Ketua Fraksi Demokrat Sebut Kuota Penerimaan CPNS untuk Pekanbaru Tak Layak, Ini Alasannya

Perkembangan teknologi yang pesat sangat mempengaruhi bidang komunikasi dan informasi.

Masyarakat pun semakin banyak yang paham internet dan memanfaatkannya untuk saling terhubung satu sama lain. Dalam hal ini, para orangtua menemukan cara baru untuk berbagi dan bertukar informasi seputar keluarga terutama anak-anaknya. Sharenting pun jadi sulit dihindari.

Psikolog Anak dari Pekanbaru, Violetta Hasan Noor menyebutkan sharenting merupakan hal yang lumrah dilakukan orangtua di masa sekarang.

Ini merupakan satu di antara cara mereka menunjukkan apresiasinya pada buah hati.

Lewat sharenting para orangtua saling bertukar pengetahuan mengenai bagaimana cara memberikan yang terbaik bagi anak dan tips mendidik buah hati.

Namun di balik manfaat itu, ada aspek penting yang harus diperhatikan. Orangtua harus bijak dalam hal sharenting ini serta mengetahui batasan yang sebaiknya tidak dilakukan.

Di antaranya, tidak memberikan informasi detail mengenai anak. Misalnya informasi mengenai nama lengkap, tanggal lahir, sekolah dimana dan lainnya. Sebab data itu akan menjadi senjata bagi orang yang berniat jahat. Seperti kata ungkapan, kejahatan terjadi karena ada niat dan kesempatan.

Baca: Asap Tebal Selimuti Lahan Gambut di Dumai Barat

Demikian juga jika hendak mengunggah foto maupun pengalaman anak. Orangtuanya sebaiknya tidak memamerkan foto atau menceritakan pengalaman yang anak tak ingin orang lain tahu.

Untuk itu orangtua harus membicarakan terlebih dahulu jika ingin mengunggah sesuatu tentang anak. Sebab hal itu bisa menjadi sensitif dan berdampak pada psikologis anak.

Jangan sampai apa yang dilakukan orangtua di media sosial justru meninggalkan trauma pada anak hingga mereka dewasa nanti. Pola asuh orangtua sangat mempengaruhi kondisi psikologis dan kepribadian mereka dalam masa tumbuh kembang.

Meski ada manfaatnya bagi orangtua, Violetta menyarankan agar orangtua menjauhkan putra-putri mereka dari media sosial. Paling tidak hingga anak berusia 12 tahun. Bahkan hingga usia itu, anak sebaiknya tidak menggunakan gadget terutama smartphone sama sekali.

Ia menyebutkan, penelitian mengungkap, media sosial cuma memberikan pengaruh buruk bagi anak-anak usia tersebut.

Anak-anak seharusnya lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sosial di sekitarnya untuk membentuk kepribadian mereka.

Sedangkan media sosial hanya akan membuat anak terisolasi dari lingkungan nyata.

Interaksi di dunia maya pun tidak memberikan manfaat bagi perkembangan mental dan fisik. Bahkan muncul istilah gadget ibarat narkoba yang membuat anak-anak kecanduan.

Baca: Di Hadapan para Duta Besar Turki Erdogan Bilang Akan Tangkap Teroris Ekonomi Penyebab Anjlok Lira

Dalam hal ini perlu ketegasan orangtua dalam membatasi penggunaan gadget dan media sosial.

Menurutnya, supaya anak tidak ketergantungan media sosial dan gadget, orangtua dapat mengarahkan mereka melakukan aktifitas menarik lainnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved