Hari Kemerdekaan
Mahmud Marzuki Orang Paling Dicari Jepang Usai Kibarkan Merah Putih Pertama Kali di Bangkinang
Mahmud Marzuki membakar semangat masyarakat agar tidak takut lagi kepada penjajah karena Indonesia sudah merdeka.
Penulis: Fernando Sihombing | Editor: Afrizal
Laporan Wartawan Tribunpekanbaru.com, Nando
TRIBUNPEKANBARU.COM, BANGKINANG - Pengibaran Bendera Merah Putih pada masa merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, bertaruh nyawa.
Ini dialami oleh Mahmud Marzuki, pejuang kemerdekaan kelahiran Kumantan (Bangkinang) tahun 1911.
Meski Soekarno dan M. Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta, 17 Agustus 1945, namun bendera tidak serta merta bebas dikibarkan.
Bukan seperti sekarang, bendera bisa berkibar bebas di rumah-rumah.
Jangankan pengibaran bendera, kabar Proklamasi Kemerdekaan lama baru diterima.
Mahmud dan masyarakat Kampar, khususnya Bangkinang, misalnya.
Menurut sejarah, kabar tentang kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan baru didapat pada 5 September.
Tiga pekan setelah pembacaan naskah proklamasi.
Baca: Pernah Diculik dan Disiksa Belanda - Kisah Mahmud Marzuki Pengibar Merah Putih Pertama di Kampar
Baca: Mahmud Marzuki Pengibar Merah Putih Pertama di Bangkinang, Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
M. Azaly Djohan, Bupati Kampar tahun 1996, mengatakan, kabar itu diperoleh dari dua teman Mahmud Marzuki dari Padang, Sumatera Barat yang datang ke Bangkinang membawa telegram.
Kala itu, Jepang belum angkat kaki dari Bangkinang.
Bahkan tahanan Belanda belum dilepas.
Jepang masih berkuasa.
"Dulu tahanan itu, yang Batalyon (132/Bimasakti Salo) sekarang," ujar Azaly, Kamis (16/8).
Di masa transisi itu, Jepang akhirnya mundur.
Namun Indonesia diklaim secara sepihak oleh Belanda.
Ketika itu, situasi memanas sebab tersiar kabar kalau Indonesia jatuh ke tangan Belanda.
Di saat situasi yang tidak menentu, Mahmud Marzuki dan teman-temannya merencanakan pengibaran bendera Merah Putih sebagai bentuk penegasan bahwa Indonesia sudah merdeka.
Pengibaran bendera disepakati pada 9 September 1945 di halaman Kantor Controleur atau Kewedanaan Bangkinang.
Sekarang dikenal sebagai Lapangan Merdeka, Jalan Prof. M. Yamin, Bangkinang Kota.
"Pengibaran bendera dilaksanakan. Tapi di malam hari," kata pria yang juga Dewan Gelar Daerah Provinsi Riau ini.
Masyarakat tumpah ruah menyaksikan pengibaran bendera tersebut.
Sampai tentara Belanda dan Jepang tidak bisa berbuat apa-apa.
Baca: Hasil dan Klasemen Grup A, E dan F Sepak Bola Timnas U-23 Asian Game 2018
Baca: Jika Layar Jadi Hijau, Xiaomi Kamu Asli, Yuk Periksa Dulu. . .
"Di situ (saat pengibaran bendera) ada Belanda, ada Jepang. Tapi nggak bisa apa-apa karena masyarakat sangat ramai," ujar Azaly.
Mahmud Marzuki bertindak sebagai penggerek bendera.
Setelah pengibaran bendera, Mahmud Marzuki bertolak ke Muara Jalai menyeberangi Sungai Kampar.
Di sana, Mahmud Marzuki membakar semangat masyarakat agar tidak takut lagi kepada penjajah karena Indonesia sudah merdeka.
Mahmud Marzuki yang masih enerjik dan muda berhasil menghimpun kekuatan masyarakat.
Namun Mahmud Marzuki baru beberapa hari di Muara Jalai.
Tentara Jepang menculik Mahmud Marzuki dan teman-temannya.
Ternyata Mahmud Marzuki menjadi orang yang paling dicari setelah berhasil mengibarkan bendera.
"Siapa Mahmud? Mana Mahmud?," kata Azaly menirukan perkataan tentara Jepang saat mencari Mahmud di Muara Jalai.
Setelah ditemukan, Mahmud kemudian disiksa.
"Siapa yang melawan ditembak. Ada tiga orang yang ditembak mati waktu itu," ujar Azaly. Mahmud pun dibawa ke Bangkinang.
Di perjalanan, Mahmud terus-terusan disiksa.
Sampai ke Kewedanaan.
Oleh siksaan itu, Mahmud jatuh sakit. "Yang gimana nggak sakit. Diinjak-injak, disepak, macam-macamlah dibuat," ujar Azaly.
Kondisi kesehatan Mahmud terus menurun.
Sampai akhirnya wafat 5 Agustus 1946.
Mahmud wafat di usianya sangat muda.
Baru 35 tahun.
Azaly menuturkan, Mahmud berani mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan.
"Jadi beliau, bukan pejuang fisik saja. Juga pembakar semangat juang," pungkasnya.(*)
