Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Idul Adha 2018

Idul Adha 2018 - Bolehkah Memotong Rambut dan Kuku Bila Ingin Kurban? Simak Penjelasan Ini

Hari Raya Idul Adha akan jatuh 10 Dzulhijah atau 22 Agustus 2018 mendatang.

Penulis: Afrizal | Editor: Afrizal
Tribun Pekanbaru/Theo Rizky
Seorang pengurus sapi untuk kurban tengah memberi makan sapi-sapinya yang ditempatkan di sebidang tanah, Jalan Soekarno Hatta Pekanbaru, Senin (13/8/2018). (TRIBUN PEKANBARU/THEO RIZKY) 

Mula Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih menyimpulkan.

“Intinya ini masalah khilafiyah: menurut Imam Malik dan Syafi’i disunahkan tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban, sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku ataupun rambutnya sebelum penyembelihan dihukumi makruh. Sementara Abu Hanifah berpendapat memotong kuku dan rambut itu hanyalah mubah (boleh), tidak makruh jika dipotong, dan tidak sunah pula bila tidak dipotong. Adapun Imam Ahmad mengharamkannya.

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan, hikmah dari kesunahan ini ialah agar seluruh tubuh di akhirat kelak diselamatkan dari api neraka.

Sebab sebagaimana diketahui, ibadah kurban dapat menyelamatkan orang dari siksa api neraka.

Sementara argumen kedua yang menyatakan larangan berlaku untuk memotong bulu dan kuku hewan kurban beralasan karena bulu, kuku dan kulit hewan tersebut akan menjadi saksi di hari akhirat kelak.

Pandangan ini sebetulnya tidak populer dalam kitab fikih, terutama fikih klasik.

Maka dari itu, Mula Al-Qari menyebut ini pendapat gharib (aneh/unik/asing).

Ia mengatakan dalam Mirqatul Mafatih.

Artinya, “Ada pendapat gharib dari Ibnul Malak. Menurutnya, hadits tersebut berarti tidak boleh mengambil (memotong) bulu dan kuku hewan yang dikurbankan.”

Pendapat yang dikatakan asing oleh Mula Al-Qari ini, belakangan dikuatkan oleh Kiai Ali Mustafa Yaqub.

Dalam kitabnya At-Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah, Kiai Ali mengatakan, hadits ini perlu dikomparasikan dengan hadits lain.

Pemahaman matan hadits tidak akan sempurna jika hanya memahami satu hadits.

Sebab itu, almarhum sering menegaskan Al-hadits yufassiru ba’dhuhu ba’dhan (hadits saling menafsirkan antara satu dengan lainnya).

Dalam disiplin pemahaman hadits (fiqhul hadits atau turuqu fahmil hadits) dikenal istilah wihdatul mawdhu’iyah fil hadits (kesatuan tema hadits).

Teori ini digunakan untuk menelusuri ‘illat atau maksud satu hadits.

Baca: Idul Adha 2018 - Mulai dari Gemuk hingga Tidak Buta, Ini Syarat Hewan yang Layak Dikurbankan

Baca: Live Streaming Asian Games 2018, Timnas U-23 Indonesia vs Hongkong Malam Ini 19.00 WIB

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved