Selundupkan Pimpinan Papua Merdeka di Forum HAM PBB, Indonesia Protes Keras pada Vanuatu
Negara Kepulauan Vanuatu menyelundupkan Benny Wenda dalam delegasinya ke pertemuan HAM PBB.
Penulis: rinaldi | Editor: rinaldi
TRIBUNPEKANBARU.COM- Pemerintah Indonesia melayangkan nota protes keras kepada negara kepulauan Vanuatu, yang terus mengusik kedaulatan NKRI.
Protes keras ini dilayangkan terkait tindakan Vanuatu yang menyelundupkan Benny Wenda sebagai delegasinya, untuk menyampaikan isu referendum Papua Barat ke hadapan PBB.
"Kita sudah melayangkan nota protes yang keras pada Vanuatu. Bahwa dalam hubungan diplomatik, sekali lagi rasa saling menghormati itu harus dijunjung tinggi," kata Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (31/1).
Benny Wenda adalah pimpinan Liberation Movement of West Papua (ULMWP), yang menyusup bersama delegasi Vanuatu ke Universal Periodic Review (UPR). UPR diselenggarakan Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Jenewa.
Retno menuturkan, saat diselenggarakan UPR, Vanuatu mendapat giliran untuk memaparkan penyelenggaraan HAM di negaranya.
Namun dalam kelompok delegasi yang dibawa Vanuatu, terselip Benny Wenda yang muncul memaparkan visi kemerdekaan Papua Barat. Benny mengklaim telah mengantungi 1,8 juta petisi dan mendorong PBB menggelar referendum Papua Barat.
Retno pun menyebut Vanuatu memiliki niat buruk dengan menyelundupkan Benny Wenda. Retno pun mengaku sudah berkoordinasi dengan Komisi Tinggi (KT) HAM PBB. Menurut Retno, KT HAM PBB pun terkejut dengan kehadiran Wenda di forum tersebut.
"Kenyataannya bahwa Vanuatu tidak memiliki good intention dengan memasukkan Benny wenda di dalam (kelompok delegasi)," kata Retno.
Retno sendiri mengaku tidak terkejut dengan upaya yang dilakukan Benny Wenda.
Menurutnya, Wenda kerap melayangkan upaya propaganda memerdekakan Papua Barat dengan cara manipulatif dan klaim.
Hal ini, kata Retno, telah dilakukan berulang kali oleh Benny Wenda.
Terkait klaim 1,8 juta petisi yang dibawa Wenda, Retno pun memprediksikan bahwa petisi tersebut tidak akan ditanggapi KT PBB.
Pasalnya, kata dia, klaim tersebut dipandang kurang rasional bila melihat perbandingan populasi total Papua.
Retno menambahkan, permasalahan ini sudah disampaikan ke Komisi I DPR RI.
Ia mengklaim, DPR RI memberikan dukungan penuh pada Kemenlu untuk melakukan upaya menjaga kedaulatan RI.
"Jadi saya ingin menegaskan, bahwa kita tidak pernah akan mundur apabila ini sudah menyangkut mengenai sovereignity, kedaulatan, integritas wilayah Indonesia," tegas Retno.
Serahkan Petisi
Presiden Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Benny Wenda difasilitasi oleh perwakilan Pemerintah Vanuatu dalam kunjungan negara itu ke kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (KTHAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Jumat (25/1/2019).
Dalam pertemuan itu Benny Wanda menyerahkan menyerahkan petisi berisikan 1,8 juta tandatangan kepada Direktur Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet.
"Kami sedang mempelajari segala kemungkinan, tapi kami sudah melayangkan nota protes yang keras pada Vanuatu," ujar Menteri Luar Negeri Retno Marsudi seusai Rapat Kerja dengan Komisi I di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/1/2019).
Baca: Selundupkan Pimpinan Papua Merdeka di Forum HAM PBB, Indoneia Protes Keras pada Vanuatu
Dalam pertemuan tersebut, kata Retno, Benny sempat menyampaikan beberapa hal terkait situasi di Papua.
Sementara, dari pertemuan dengan Perwakilan Tetap RI di Jenewa diketahui pihak KTHAM terkejut dengan kehadiran Benny yang tidak tercatat sebagai delegasi resmi Vanuatu.
Di sisi lain, kunjungan kehormatan delegasi Vanuatu ke kantor KTHAM bertujuan membahas pelaksanaan Universal Periodic Review (UPR) HAM Vanuatu.
KTHAM bahkan menyatakan pihaknya sangat terkejut mengingat pertemuan semata-mata dimaksudkan untuk membahas UPR Vanuatu.
Retno menilai, Vanuatu tidak memiliki iktikad baik terkait penghormatan atas kedaulatan wilayah negara Indonesia dengan memfasilitasi Benny Wenda.
Ia menegaskan, rasa saling menghormati kedaulatan wilayah suatu negara harus dijunjung tinggi dalam sebuah hubungan diplomatik.
"Karena kita ingat, salah satu prinsip yang harus dihormati semua negara adalah prinsip menghormati kedaulatan negara lain," kata Retno.
Retno menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mundur dalam mempertahankan kedaulatan wilayah negara Indonesia.
"Jadi saya ingin menegaskan bahwa kita tidak pernah akan mundur apabila ini sudah menyangkut mengenai sovereignity, kedaulatan, dan integritas wilayah Indonesia," ujar Retno saat ditemui seusai Rapat Kerja dengan Komisi I di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/1/2019).
Melansir dw indonesia, Presiden Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Benny Wenda menyerahkan petisi berisikan 1,8 juta tandatangan kepada Direktur Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, pekan lalu.
Petisi tersebut berisikan tuntutan kemerdekaan dan permohonan kepada PBB untuk mengirimkan misi pencari fakta terkait dugaan pelanggaran HAM oleh Indonesia.

Menurut Benny Wenda, Ketua ULMWP, "hari ini (Jumat) adalah hari bersejarah buat saya dan rakyat Papua," kata dia. "Saya menyerahkan apa yang saya sebut tulang belulang rakyat Papua Barat, karena terlalu banyak warga tak berdosa yang telah tewas terbunuh."
Wenda mengklaim penduduk Papua Barat tidak menikmati kebebasan berpendapat atau berkumpul, seperti yang dimiliki penduduk Indonesia lainnya. Petisi itu pun menjadi satu-satunya jalan untuk mengundang perhatian," kata dia. "Beratnya mencapai 40 kg. Ini seperti buku paling besar di dunia."
Benny mengaku sempat kesulitan mengumpulkan tandatangan lantaran laman petisi di internet diblokir pemerintah Indonesia. Akhirnya dokumen petisi tersebut "diselundupkan dari satu ujung ke ujung lain Papua," kisahnya kepada Guardian.
Baca: Istri Serong dengan Brondong, Suami Tikam Perut Selingkuhan Sang Istri, Organ Dalam Sampai Kelihatan
Wenda mengklaim penduduk Papua Barat tidak menikmati kebebasan berpendapat atau berkumpul, seperti yang dimiliki penduduk Indonesia lainnya. Petisi itu pun menjadi satu-satunya jalan untuk mengundang perhatian," kata dia.
Sebanyak dua pertiga penduduk Papua yang berjumlah 2.5 juta orang diklaim ikut mendukung langkah tersebut.
Wenda mengatakan sempat berbicara dengan Bachelet untuk membahas situasi di Kabupaten Nduga yang sejauh ini telah menewaskan 11 penduduk dan memaksa sebagian lain untuk mengungsi menyusul operasi militer TNI dan Polri.
Menurut ULMWP, sebanyak 22.000 orang melarikan diri ke hutan dan gunung buat mencari perlindungan.
Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (KTHAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengklaim Pemerintah Indonesia setuju membuka akses bagi tim pemantau ke Kabupaten Nduga, Papua.
Sikap Indonesia dipastikan oleh Komisioner OHCHR, Michelle Bachelet, kepada harian Inggris The Guardian pada Rabu (30/1/2019).
Baca: Delapan Orang Ditetapkan KPU Sebagai Panelis Debat Kedua Pilpres 2019, Ini Dia Namanya
Seperti yang dilaporkan, Bachelet sudah berkomunikasi dengan pemerintah Indonesia ihwal "situasi hak asasi manusia" di Papua Barat. Dia lalu meminta akses menuju kawasan konflik di Nduga.
"Secara prinsip Indonesia setuju untuk mengizinkan kantor komisi mengakses Papua dan kami sedang menunggu konfirmasi dari pemerintah Indonesia," kata Jurubicara OHCHR, Ravina Shamdasandi, kepada The Guardian.
Dia sebelumnya sempat menuding kebijakan pemerintah Indonesia tidak mengatasi akar masalah separatisme di Papua.
Juru Bicara Kodam XVII Cendrawasih Kolonel Inf. Muhammad Aidi, menilai tudingan Wenda tidak beralasan. Menurutnya narasi yang digunakan ULMWP bertentangan dengan fakta di lapangan.
"Dia tidak bisa menunjukkan bukti dari yang dituduhkan," kata dia kepada Reuters.
"Justru Organisasi Papua Merdeka yang membunuh warga sipil tak berdosa."
Aidi merujuk pada peristiwa pembunuhan 16 pekerja konstruksi dan serdadu yang membantu peroyek pembangunan jalan dan jembatan di kabupaten Nduga.
PM berkilah para pekerja merupakan serdadu yang menyamar dan sebabnya tidak tergolong penduduk sipil.
Anggota Komisi I DPR Meutya Hafid mengatakan pihaknya menunggu respons Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (KTHAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait petisi referendum yang disebut-sebut telah diserahkan tokoh pembebasan Papua Barat Benny Wenda.
Baca: Ini Daftar 49 Nama Caleg Mantan Koruptor di Pemilu 2019 dan Asal Parpolnya, Ada dari Riau?
Meutya meragukan penyerahan petisi referendum itu dilakukan secara resmi.
Politisi Partai Golkar ini yakin PBB tidak akan menindaklanjuti petisi referendum tersebut.
"Kalau misalnya ada penerimaan (petisi referendum) dari PBB, kita yakin PBB dapat dan amat menghormati kedaulatan NKRI. Tentu kami yakin tidak akan terlalu ditindak lebih lanjut karena ada etika penghormatan negara-negara anggota di PBB," ujar Meutya di Kompleks Parlemen, Kamis (31/1/2019).
Meutya mengatakan ini bukan pertama kalinya Benny Wenda menjalankan aksi. Beberapa bulan lalu dia juga pernah berupaya menyerahkan petisi. Belakangan PBB menyebut petisi tersebut bukan diserahkan secara resmi.
Meutya juga tidak yakin dengan klaim Benny bahwa ada 1,8 juta orang yang menandatangani petisi itu kini.
Pemerintah Indonesia diminta menunggu konfirmasi langsung dari PBB.
Namun, pemerintah tetap harus waspada mengenai hal ini.
"Saya rasa tidak perlu ada respons yang terlalu berlebihan. Kita masih menunggu pernyataan dari PBB dan kita masih menunggu kesahihan informasi mengenai petisi referendum itu dari pihak PBB," ujar Meutya. (*)