Utang Perdana Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf di 2019, Kemenkeu Lelang Sukuk Rp 7 Triliun Pekan Depan!
India dan Indonesia menjadi negara yang paling rentan mengalami penurunan kapasitas pembayaran kembali utang korporasi.
India dan Indonesia menjadi negara yang paling rentan mengalami penurunan kapasitas pembayaran kembali utang korporasi.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Pemerintah akan kembali melakukan lelang surat utang untuk mendapatkan dana dalam rangka menambal anggaran di APBN 2019 pada pekan depan.
Lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk kembali dipilih Kementerian Keuangan dengan target indikatif sebesar Rp 7 triliun.
"Untuk memenuhi sebagian dari target pembiayaan dalam APBN 2019," seperti dikutip dari siaran pers Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan dalam siaran persnya, Jakarta, Sabtu (26/10/2019).
Lelang sukuk akan dilakukan pada Selasa, 29 Oktober 2019.
Kali ini lelang sukuk terdiri dari 5 seri surat utang yang terdiri dari satu Surat Perbendaharaan Negara - Syariah (SPN-S) dan empat Project Based Sukuk (PSB).
Waktu jatuh tempo mulai dari 2 April 2020 hingga yang paling lama yakni 15 Juli 2047.
Adapun imbalan kaya mulai dari diskonto, hingga 8,62 persen.
Lelang sukuk ini akan menjadi yang pertama di periode kedua kepimpinan Jokowi sebagai Presiden.
Lelang sukuk akan dilaksanakan dengan menggunakan sistem pelelangan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagai agen lelang SBSN.
Lelang bersifat terbuka dan menggunakan metode harga beragam.
Semua pihak, baik investor individu maupun institusi, dapat menyampaikan penawaran pembelian dalam lelang.
Namun dalam pelaksanaannya, penyampaian penawaran pembelian harus melalui 21 peserta lelang yang telah mendapat persetujuan dari Kementerian Keuangan.
Sementara itu, pelemahan ekonomi global menimbulkan risiko gagal bayar (default) utang bagi korporasi di kawasan Asia Pasifik (APAC).
Perusahaan- perusahaan di Indonesia menjadi salah satu yang disoroti lantaran memiliki risiko ketidakmampuan membayar utang yang cukup tinggi.
Hasil stress-test Moody’s Investors Service dalam laporan terbarunya, Senin (30/9/2019), mengungkap, India dan Indonesia menjadi negara yang paling rentan mengalami penurunan kapasitas pembayaran kembali utang korporasi.
Asisten Wakil Presiden Rebaca Tan menyebut, penilaian itu berdasarkan hasil simulasi pendapatan sebelum pajak, bunga, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) di perusahaan-perusahaan mengalami penurunan sebesar 25 persen.
“Dengan kondisi itu, rasio utang terhadap EBITDA di kedua negara akan melebihi 4 dengan Interest Coverage Ratio (ICR) di bawah 1,” ujar Rebaca dalam laporan berjudul “Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen”.
Semakin besar nilai rasio utang terhadap EBITDA, artinya proporsi utang lebih besar dibandingkan pendapatan perusahaan.
Sebaliknya, semakin kecil ICR, maka semakin rendah kemampuan perusahaan. menutupi beban biaya bunga utangnya.
Moody’s mencatat, sebesar 53 persen dari total utang korporasi di Indonesia memiliki rasio utang terhadap EBITDA di atas 4.
Sementara 40 persen dari perusahaan Indonesia memiliki ICR di bawah 2.
Dalam konteks Indonesia, Moody’s memandang, risiko meningkat akibat potensi pendapatan perusahaan yang melemah, terutama pada perusahaan di sektor komoditas.
Selain turunnya permintaan akibat pelemahan ekonomi global, pendapatan perusahaan pertambangan juga tertekan akibat tren harga yang landai dan tingkat suplai yang tinggi, seperti pada komoditas CPO.
Di saat yang sama, kapasitas pembayaran kembali utang korporasi Indonesia juga makin terancam jika porsi utang berdenominasi valas lebih besar dan perlindungan terhadap risiko kurs (hedging) tidak memadai.
"Pinjaman korporasi berdenominasi valas tercatat mencapai 18 persen dari total pinjaman perbankan per Mei 2019 lalu," tulis Moody’s.
Kabar baiknya, Moody’s menilai perbankan di kawasan APAC memiliki penyangga (buffer) yang cukup kuat yaitu dalam bentuk loan-loss reserves atau cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) untuk mengantisipasi penurunan tajam kualitas aset.
Meski rasio permodalan perbankan di kawasan Asia Pasifik diproyeksi menurun sekitar 1 persen-4 persen, kemampuan buffer bank dinilai tetap memadai.
"Dampak paling signifikan akan dialami oleh perbankan di India, Indonesia, Korea, dan Thailand. Tapi, Indonesia, Korea, dan Thailand memiliki bantalan rasio permodalan yang cukup tinggi," tutur Rebaca.(*)