Iuran Naik 100 Persen, Insentif Petinggi BPJS Disebut Miliaran, DPR: Apakah Masih Punya Hati Nurani?
DPR menyebut Insentif yang diterima direksi dan Dewas BPJS mencapai miliaran rupiah, sementara kenaikan iuran memberatkan peserta BPJS
TRIBUNPEKANBARU.COM - Isu defisitnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang mencuat beberapa waktu belakangan ini menjadi isu nasional.
Badan penyelenggara tersebut terus menjadi sorotan publik pasca naiknya iuran Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja hingga 100 persen.
Meroketnya iuran BPJS tersebut pun sontak menuai protes dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat yang diharuskan menjadi peserta BPJS hingga legislatif.
Namun, di balik mencuatnya kabar defisit dan meroketnya iuran, BPJS kembali menjadi buah bibir masyarakat Indonesia setelah ramai dibahas soal jumlah gaji direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial itu oleh DPR.
Duit yang dinikmati para petinggi BPJS dinilai sangat fantastis oleh kalangan legislatif.
Tak tanggung-tanggung, DPR mengungkap anggaran yang dikeluarkan untuk menggaji para direksi BPJS mencapai puluhan miliar rupiah.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Dewi Asmara, saat menggelar rapat dengar pendapat, Senin (20/1/2020) mengatakan, merujuk pada Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2019, BPJS Kesehatan menganggarkan insentif untuk direksi sebesar Rp 32,88 miliar.
"Jika dibagi ke delapan anggota direksi, maka setiap anggota direksi mendapatkan insentif Rp 4,11 miliar per orang. Dengan kata lain, seluruh direksi menikmati insentif Rp 342,56 juta per bulan," ujarnya.
Kemudian, untuk insentif kepada tujuh anggota Dewan Pengawas rata-rata sebesar Rp 2,55 miliar.
"Jika dalam 12 bulan, insentif yang diterima Dewas adalah Rp 211,14 juta per bulan. Dengan kata lain, kalau kita berbicara mengenai suatu badan yang rugi, mbok yo ada hati juga untuk mengadakan penghematan," ucap Dewi.
Begitu pula anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Kurniasih Mufidayati, yang ikut emosional membahas BPJS Kesehatan.
Sebab, kata dia, Komisi IX berulang kali melakukan pertemuan yang sama dengan BPJS Kesehatan, tetapi tak kunjung menuai kesepakatan. Kekecewaan mereka ditumpahkan karena rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan dilakukan sepihak.
"Apakah pemerintah memiliki iktikad baik untuk membela rakyat kecil? Apakah masih punya hati nurani? Pada saat masa reses masyarakat yang menjual pisang goreng mereka tidak bisa masuk dalam PBI (Penerima Bantuan Iuran)," ujarnya.
"Kalau apa yang dipaparkan oleh pemerintah yang hadir di forum ini mengenai iuran BPJS yang sama persis lebih baik ditutup saja karena kita sudah beberapa kali mendapatkan bahan presentasi," ucapnya.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay, juga berpendapat senada dengan anggota lainnya.
Dia mempertanyakan sikap BPJS yang tidak memberikan solusi atas masalah itu. Yang membuat geram para jajaran legislatif ini adalah mereka dituding tidak membela masyarakat, termasuk para buruh.
"Hari ini buruh tadi datang ke sini. Perwakilannya tadi diterima oleh Komisi IX. Mereka mempertanyakan sikap kami terkait BPJS. Mereka sangat merasakan langsung dampak dari ini. Karena itu pimpinan, saya tidak meminta ketegasan. Ini soal komitmen. Saya sudah capek ini bolak balik rapat BPJS tidak ada solusinya. Mohon pimpinan dari semua partai, enggak ada kubu pemerintah ataupun yang lain, yang ada hanya rakyat di sini," ujarnya.
Merespons pernyataan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Dewi Asmara yang mengatakan bahwa BPJS Kesehatan harus melakukan efisiensi operasional dengan mengurangi jumlah gaji dan insentif direksi dan Dewan Pengawas ( Dewas), Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan jika sampai saat ini belum ada pemberian insentif untuk direksi dan Dewas BPJS.
“Saya klarifikasi terkait kalkulasi salah satu anggota Komisi IX DPR RI hari ini tentang insentif yang diterima Direksi dan Dewas BPJS Kesehatan dalam kenyataannya sampai saat ini belum pernah ada pemberian insentif untuk Direksi maupun Dewan Pengawas BPJS Kesehatan seperti yang disampaikan oleh anggota dewan tersebut,” kata Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf.
Iqbal menyebutkan, penetapan insentif bagi Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan mengacu regulasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2013 tentang Gaji atau Upah dan Manfaat Tambahan Lainnya serta Insentif bagi Anggota Dewas dan Anggota Direksi BPJS.
“Namun, sampai dengan saat ini belum diatur tata cara pemberian insentif tersebut,” tambah Iqbal.
Sementara untuk gaji Direksi dan Dewas BPJS Kesehatan, sebut dia, mengikuti norma kewajaran yang berlaku dan sesuai tata kelola yang baik.
Selain itu, terdapat pengawasan dari pihak internal dan eksternal sesuai ketentuan yang berlaku.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100 persen pada Kamis (24/10/2019).
Kenaikan iuran itu berlaku bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja.
Adapun aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
"Untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan perlu dilakukan penyesuaian beberapa ketentuan dalam Peraturan presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan," ujar Jokowi dalam Perpres No.75 Tahun 2019.
Kemudian, penjelasan mengenai kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen terangkum dalam Pasal 34 Perpres Nomor 75 Tahun 2019.
Tarif kenaikan Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa besar iuran yang harus dibayarkan sebesar Rp 42.000 per bulan untuk kelas III, sebesar Rp 110.000 per bulan untuk kelas II, dan sebesar Rp 160.000 per bulan untuk kelas I.
(*)