New Normal di Riau
New Normal Tunggu Petunjuk Pemerintah Pusat, PSBB di Bengkalis Tidak Diperpanjang, Herd Immunity?
Kita saat ini masih menunggu bagaimana mekanisme penerapannya dari pemerintah pusat. Mudah mudahan dalam pekan ini keluar dalam bentuk Inpres
Penulis: Muhammad Natsir | Editor: Nolpitos Hendri
TRIBUNPEKANBARU.COM, BENGKALIS - Evaluasi pelaksanaan PSBB Bengkalis menunjukkan hasil yang signifikan, sejak tanggal 20 Mei sudah tidak diterjadi penambahan kasus positif Covid 19 di Bengkalis.
Bahkan curva kasus positif Bengkalis sudah mendatar tidak terjadi penambahan.
Hal ini diungkap Plh Bupati Bengkalis Bustami HY usai rapat evaluasi bersama Forkompinda dan video confence bersama Gubernur Riau, Kamis (28/5) siang.
Menurut dia meskipun tidak ada penambahan kasus baru jumlah pasien yang masih di rawat saat ini sebanyak delapan orang.
"Delapan orang ini tinggal menunggu hasil swabnya mudah-mudahan hasilnya negatif," terang Bustami.
Dari hasil evaluasi ini, disampai ketingkat provinsi.
Memang hampir seluruh kabupaten dan kota yang melaksanakan PSBB menunjukkan angka penurunan kasus positif.
Dengan demikian tidak ada penambahan perpanjangan pemberlakuan PSBB termasuk Bengkalis.
"Kita tetap harus berhati-hati terhadap kemungkinan akan adanya kasus baru yang masuk dari luar. Untuk itu meskipun tidak ada lagi PSBB kita minta masyarakat tetap waspada menjalankan protap kesehatan," terang Bustami.
Sementara itu, untuk pemberlakuan new normal pemerintah Bengkalis masih menunggu petunjuk dari pemerintah pusat.
Mudah mudahan dalam minggu ini sudah ada petunjuk penerapan new normal dari pemerintah pusat.
"Kita saat ini masih menunggu bagaimana mekanisme penerapannya dari pemerintah pusat. Mudah mudahan dalam pekan ini keluar dalam bentuk Inpres ataupun dalam bentuk lainnya kita tunggu saja," terang Bustami.
"Namun kita akan tetap bahas nanti bersama tim gugus tugas apa yang harus kita persiapkan memberlakukan new normal ini," tambah Bustami.
Enam Daerah Diminta Siap-Siap Laksanakan New Normal
Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar memutuskan untuk tidak memperpanjang pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di enam kabupaten kota di Riau.
Sebelumnya ada enam kabupaten kota di Riau yang melaksanakan PSBB, yakni Kota Pekanbaru, Dumai, Bengkalis, Pelalawan, Kampar dan Bengkalis.
PSBB di enam kabupaten kota di Riau berakhir, Kamis (28/5/2020) hari ini.
"Setelah melihat adanya penurunan kasus di masing-masing kota dan dukungan kedisiplinan masyarakat di masing-masing daerah, maka kami memutuskan seluruh kabupaten kota yang sebelumnya melaksanakan PSBB tidak diperpanjang lagi," kata Gubernur Riau (Gubri), Syamsuar, Kamis (28/5/2020).
Keputusan ini disampaikan Gubri usai dirinya mengelar rapat dengan walikota dan bupati di Riau melalui video conference.
Dalam rapat ini juga dihadiri oleh Kapolda Riau dan perwakilan dari Forkopimda Riau.
"Kami berharap, mudah-mudahan kasus di Riau terus menurun dan tidak ada penambahan kasus baru lagi," ujarnya.
Dengan berakhirnya PSBB ini, Gubri kembali mengingatkan kepada enam daerah di Riau untuk bersiap melaksanakan new normal.
Jika new normal sudah diberlakukan, maka seluruh aktifitas masyarakat kembali dibuka. Mulai dari rumah ibadah, sekolah serta perkantoran dan fasilitas umum lainya.
"Kabupaten Kota kami minta untuk mempersiapkan new normal. Misalnya sekolah nanti harus sisiapkan tempat cuci tanganya, ruang kelasnya juga harus dibatasi jaraknya," katanya.
Kemudian tempat wisata, rumah ibadah dan perkantoran serta fasilitas umum lainya, Gubri juga mengingatkan agar tetap menjalankan protokol kesehatan.
Pihaknya meminta kepada pengelola tempat pariwisata, rumah ibadan dan fasilitas umum agar mulai melakukan sosialisasi terkait pemberlakuan new normal ini.
"Nanti akan ada pengecekan, dan kami minta semua protokol kesehatan itu bisa dipatuhi. Supaya kita aman, dan pergerakan ekonomi bisa berjalan," katanya.
Bupati Pelalawan Riau Tolak Perpanjang PSBB
Bupati Pelalawan Riau, HM Harris, menolak untuk memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berakhir hari ini Kamis (28/5/2020).
Penolahan itu disampaikan saat mengikuti rapat telekonfrence bersama Gubernur Riau (Gubri), H Syamsuar, pada Kamis (28/5/2020).
Rapat virtual itu membahas kelanjutan PSBB yang diterapkan di Pelalawan dan hari ini akan berakhir.
Bupati Harris yang didampingi unsur Forkopimda Pelalawan mendapat giliran untuk memaparkan kondisi Corona Virud Disease 2019 (Covid-19) terkini.
Kemudian menyampaikan hasil evaluasi pelaksanaan PSBB yang digelar selama 14 hari, 10 hari sosialisai dan 4 hari penindakan.
Bupati Harris memilih tidak memperpanjang PSBB dan mempersiapkan penerapan New normal atau normal yang baru.
Hal itu tegas disampaikan Harris kepada Gubri Syamsuar dalam perbincangan rapat telekonfrensce.
"Kami meminta kalau PSBB tidak diperpanjang, tetapi menerapkan New normal seperti yang diminta pemerintah pusat," terang Harris kepada Gubri, Kamis (28/5/2020).
Harris menyebutkan, pemda menunggu kajian dan petunjuk dari pusat maupun provinsi terkait new normal yang dilaksanakan nanti.
Pada dasarnya, pemda siap untuk menerapkan era baru yang membuka keran aktivitas masyarakat yang selama ini dibatasi.
Namun dengan menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat, khsusunya di lokasi keramaian.
"Kami menunggu kebijakan selanjutnya terkait New normal ini," tandas Harris.
Herd Immunity Diterapkan di Indonesia Demi Kapitalisme?
Sejak munculnya wabah Covid-19 di Indonesia dan puncaknya saat kasus Covid-19 di Indonesia mencapai rekor Asia Tenggara, Herd Immunity menjadi pembicaraan banyak pihak.
Selain itu, Herd Immunity juga banyak dibicarakan di media sosial oleh masyarakat bawah hingga masyarakat kelas atas, bahkan politikus.
Pesan singkat beserta penjelasan mengenai Herd Immunity bersiliweran di whatsapp, status FB dan twitter.
Bagaimana dengan Pemerintah Indonesia, akan menerapkan Herd Immunity?
Dilansir dari Tribunwow.com, Herd Immunity disebut-sebut menjadi satu solusi untuk menghentikan penyebaran wabah.
Meski begitu, Herd Immunity disebut sebagai cara yang tidak manusiawi.
Berikut adalah penjelasan mengenai Herd Immunity dan dampaknya bagi masyarakat.
Penyakit yang disebabkan oleh virus bisa hilang saat lebih banyak masyarakat yang kebal dan individu beresiko terlindungi oleh masyarakat yang kebal, sehingga virus akan sulit untuk mendapatkan inang untuk hidup dan berkembang biak, situasi ini disebut Herd Immunity.
Kondisi ini menimbulkan dampak tidak langsung (indirect effect), yaitu membuat masyarakat lain turut terlindungi.
Jadi, apabila kelompok yang rentan seperti bayi dan balita terlindungi melalui imunisasi atau vaksin, maka penularan penyakit di masyarakat pun akan terkendali, tapi untuk virus corona vaksinnya belum ada.
Kelompok usia yang lebih dewasa pun ikut terlindungi karena transmisi penyakit menjadi rendah.
Kondisi tersebut hanya akan berhasil jika cakupan imunisasi dapat terlaksana secara merata di kalangan masyarakat, taoi sekali lagi vaksin untuk virus corona belum ada.
Sementara itu, dikutip dari nationalgeographic.com, strategi Herd Immunity ini sempat menjadi rencana medis untuk menekan korban Virus Corona.
Herd Immunity ini dianggap dapat membantu mengurangi menambah kekebalan imunitas pada populasi masyarakat.
Herd Immunity diharapkan membuat efek dari penyakit menular akibat virus dapat berkurang, seperti pada kasus penyakit campak.
Dikutip dari gavi.org, penyakit tersebut menginfeksi 18 orang dan 95% orang lainnya kebal terhadap penyakit ini karena memiliki Herd Immunity.
Penelitian sejauh ini menunjukkan bahwa coronavirus memiliki tingkat infeksi yang lebih rendah daripada campak.
Begitu juga dengan virus Covid-19 ini, rata-rata setiap orang terinfeksi menularkan kepada dua atau tiga orang baru, dan akan menghasilkan Herd Immunity sebesar 60% kepada populasi dan akan menjadikan masyarakat kebal terhadap Covid-19.
Untuk mencapai kekebalan kelompok, mayoritas populasi harus sembuh dari infeksi patogen agar sel memori imun merekam ciri-ciri patogen penyebab penyakit.
Caranya bisa ditempuh dengan vaksinasi atau membiarkan tubuh mendapat paparan penyakit secara alami, namun untuk virus corona belum ada vaksinnya.
Ketika pandemik flu 1918 atau familiar disebut flu spanyol, dunia pernah dengan terpaksa menjalani langkah alami membentuk herd immunity.
Penyakit ini dipicu oleh infeksi virus influenza, terjadi dari Maret 1918 hingga Juni 1920.
Sekitar 500 juta orang atau sepertiga populasi dunia terinfeksi virus ini.
CDC memperkirakan jumlah kematian mencapai 50 juta di seluruh dunia.
“Tak ada vaksin, upaya pengendalian terbatas pada isolasi, karantina, menjaga kebersihan, memakai disinfektan, dan pembatasan. Itu pun tidak merata,” tulis CDC.
Kekebalan kelompok dari infeksi alami berisiko menimbulkan sakit parah bahkan kematian.
American Heart Association bahkan mengatakan pemulihan infeksinya memakan waktu lama hingga hitungan bulan bahkan tahunan.
Bayangkan berapa banyak negara harus menanggung kerugian dengan menempuh cara ini.
“Penyebaran infeksi ke kelompok berisiko tinggi tak bisa dibatasi. Beberapa orang yang terinfeksi akan mengembangkan penyakit sangat parah, dan sebagian akan mati,” ungkap Paul Hunter, seorang profesor kedokteran dari Universitas East Anglia, Inggris.
Sebaliknya vaksin meminimalisir risiko tersebut karena patogen telah dilemahkan, diuji coba, dan terjamin aman.
Vaksinasi, penyebaran infeksi kepada kelompok berisiko bisa ditekan dengan memilih kelompok kuat untuk dijadikan populasi kebal.
Namun perlakuan ini nampaknya belum bisa diterapkan untuk kasus COVID-19 karena vaksinnya belum ditemukan.
New Normal - Tribunpekanbaru.com / Muhammad Natsir.