Vladimir Putin Sangat Mungkin Pimpin Rusia Selama 36 Tahun Jika Referendum Ini Terlaksana, Diktator?
Pada usianya yang mencapai 67 tahun, Putin tidak menampik dirinya akan kembali ikut pemilihan presiden setelah 2024, saat masa jabatannya saat ini
Apa rencana Putin?

Warga Rusia yang lahir pada abad ke-21 praktis hanya mengenal Vladimir Putin sebagai pemimpin.
Putin telah berganti jabatan beberapa kali, dari perdana menteri (1999), menjadi presiden (2000-2008), kembali sebagai perdana menteri (2008-2012), dan jadi presiden lagi (2012).
Walaupun Putin belum menegaskan dirinya ingin kembali bersaing dalam pilpres, dia juga tidak menyanggahnya. Karena itu, sejumlah kalangan menuding dia ingin kembali berkuasa seumur hidup, atau setidaknya sampai 2036.
Salah satu pendukung kuat Putin, mantan kosmonaut Soviet dan anggota parlemen, Valentina Tereshkova, telah mengusulkan agar masa jabatan presiden "kembali ke nol" sehingga Putin bisa berkuasa lagi.
Dukungan rakyat Rusia diperkirakan masih kuat. Terakhir kali bersaing dalam pilpres pada 2018 lalu, Putin mendulang lebih dari 76 persen suara.
Kali ini "dia berusaha terlihat enggan menerima usulan ini, dengan membingkainya sebagai tuntutan 'dari bawah'." kata koresponden BBC di Moskow, Sarah Rainsford.
Dia juga memberi pertanda bahwa Rusia belum cukup berkembang untuk menerima perubahan sosok presiden.
"Banyak orang tidak punya masalah soal itu. Jika mereka sesungguhnya tidak suka Putin, mereka juga tidak terlalu keberatan pada dirinya. Banyak orang memandang dia sebagai pemimpin kuat yang bisa berhadapan dengan barat. Percakapan yang menyebut tidak ada sosok lain juga jamak terjadi," jelas Rainsford.
Bagaimana Putin bisa menjadi sosok tak tergantikan?
Hari-hari berakhirnya Perang Dingin antara Komunisme dan Barat adalah masa tumbuh kembang Putin.
Revolusi 1989 terjadi ketika dia bertugas sebagai petugas rendahan KGB di Dresden, yang saat itu masih berada di Jerman Timur.
Saat itu dia tak berdaya menentang perubahan, tapi ada dua kesan kuat yang timbul dalam benaknya. Pertama, ketakutan pada pemberontakan massal—setelah menyaksikan protes besar-besaran yang berujung pada runtuhnya Tembok Berlin dan Tirai Besi. Kedua, kemuakan pada kekosongan kekuasaan di Moskow setelah Uni Soviet ambruk.
Putin menjelaskan sendiri bagaimana dirinya meminta bantuan ketika markas KGB di Dresden diamuk massa pada Desember 1989, namun Moskow, di bawah Mikhail Gorbachev, "terdiam".
Dia mengambil inisiatif untuk menghancurkan dokumen-dokumen yang bakal memojokkan Rusia di kemudian hari. "Kami membakar sedemikian banyaknya sampai tungku meledak," sebut Putin dalam buku berisi kumpulan wawancara berjudul First Person.