Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Amril Minta Rp10 per Kilogram, JPU KPK: Pembuktian Gratifikasi Rp 23.6 M Via Kasmarni Sudah Maksimal

Pertama terkait suap proyek Jalan Duri - Sei Pakning senilai Rp5,2 miliar, kedua terkait gratifikasi dari dua orang pengusaha sawit senilai Rp23,6 m

Penulis: Rizky Armanda | Editor: Nolpitos Hendri
Tribun Pekanbaru/Ilustrasi/Nolpitos Hendri
Amril Minta Rp10 per Kilogram, JPU KPK: Pembuktian Gratifikasi Rp 23.6 M Via Kasmarni Sudah Maksimal 

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meyakini semua alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan kasus dugaan korupsi Amril Mukminin, sudah maksimal.

Bupati Bengkalis Nonaktif Amril Mukminin ini dijerat dengan dua dakwaan.

Pertama terkait suap proyek Jalan Duri - Sei Pakning senilai Rp5,2 miliar, kedua terkait gratifikasi dari dua orang pengusaha sawit senilai Rp23,6 miliar.

Untuk gratifikasi berupa uang puluhan miliar itu, diketahui diterima oleh Kasmarni, istri Amril Mukminin.

Baik lewat transfer maupun tunai.

Disebutkan salah seorang dari tim JPU KPK, Takdir Suhan, saat diwawancarai usai sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi, Kamis (27/8/2020) kemarin, pihaknya optimis dengan sejumlah alat bukti yang sudah dikantongi, dalam rangka pembuktian di persidangan.

"Kami sebagai tim JPU yakin, semua alat bukti sejak awal sidang khususnya pembuktian saksi sampai dengan minggu depan jika tidak ada kendala, itu kami yakini kami sudah maksimal dalam melakukan pembuktian dalam kasus ini," ungkapnya.

Amril Minta Rp10 per Kilogram, JPU KPK: Pembuktian Gratifikasi Rp 23.6 M Via Kasmarni Sudah Maksimal
Amril Minta Rp10 per Kilogram, JPU KPK: Pembuktian Gratifikasi Rp 23.6 M Via Kasmarni Sudah Maksimal (Tribun Pekanbaru/Ilustrasi/Nolpitos Hendri)

"Apalagi, banyak yang, mohon maaf bukan menyimpulkan.

Terkait perjanjian, dokumen yang kami tampilkan pun, bagi kami sudah bagian kuat dalam pembuktian untuk terdakwa amril, khususnya pasal gratifikasi yang kami buktikan," sambung dia.

Disinggung soal potensi temuan baru lainnya terkait kasus ini yang bisa diungkap, dia memaparkan, pihaknya akan fokus terlebih dahulu dalam penanganan perkara yang sekarang bergulir.

"Bagaimana pun fakta-fakta sidang yang muncul, nanti kita gabungan, kita analisa dalam tuntutan.

Finalnya nanti diputusan.

Sama-sama kita simak sampai putusan.

Kami yakini fakta sidang yang sudah kami tampilkan bisa meyakinkan majelis hakim," tegasnya.

Dia mengungkapkan, nantinya jika sudah ada putusan, maka itu bisa menjadi alat bukti bagi KPK.

"Saat ini kita fokus dulu dalam pembuktian suap dan gratifikasi, tidak menutup kemungkinan ke depan apabila ada data, ada alat bukti, misalnya salah satu putusan pengadilan, tidak tertutup kemungkinan ada hal lain yang bisa kami ungkap lagi, tidak sebatas ini," tuturnya.

Sementara itu, spesifik soal dugaan gratifikasi yang nilainya cukup fenomenal kata Suhan, pihaknya punya alat bukti yang cukup untuk dibuktikan di persidangan.

Karena sempat beredar di beberapa media, uang puluhan miliar itu menurut terdakwa lewat penasehat hukumnya, merupakan murni bisnis.

Amril Minta Rp10 per Kilogram, JPU KPK: Pembuktian Gratifikasi Rp 23.6 M Via Kasmarni Sudah Maksimal. Foto: Sidang lanjutan Amril Mukminin
Amril Minta Rp10 per Kilogram, JPU KPK: Pembuktian Gratifikasi Rp 23.6 M Via Kasmarni Sudah Maksimal. Foto: Sidang lanjutan Amril Mukminin (Tribunpekanbaru.com/Rizky Armanda)

Uang itu katanya juga sudah dilaporkan ke KPK sebagai bagian dari hasil kerja pribadi.

"Jadi alibi-alibi itu, jika memang ada buktinya disampaikan di depan sidang. Jadi jangan hanya sebatas wacana.

Bagaimana pun ya kalau punya data, disajikan di depan sidang.

Hukum itu pembuktiannya valid atau tidak di sidang. Penegasannya itu," paparnya.

Dua orang pengusaha sawit yang memberikan uang diduga gratifikasi untuk Amril Mukminin senilai miliaran rupiah, bersaksi di persidangan, Kamis (27/8/2020).

Mereka adalah Jhony Tjoa selaku Direktur Utama dan pemilik perusahaan sawit PT Mustika Agung Sawit Sejahtera, serta Adyanto selaku Direktur dan pemilik PT Sawit Anugrah Sejahtera.

Keduanya bersaksi lewat skema video conference.

Di ruang sidang hanya ada majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan tim Penasehat Hukum terdakwa.

Tak tanggung-tanggung, dalam dakwaan yang dibacakan JPU KPK saat sidang perdana beberapa pekan lalu, total uang yang diberikan kepada Amril dari dua pengusaha sawit itu mencapai Rp23,6 miliar.

Dengan rincian, dari Jhony Tjoa sebesar Rp12.770.330.650 dan dari Adyanto sebesar Rp10.907.412.755.

Sidang ini, dipimpin oleh majelis hakim Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, dengan diketuai Lilin Herlina.

Saksi Jhony Tjoa menyampaikan, sebelum dia memberikan uang setiap bulannya sesuai perjanjian atau kesepakatan dengan Amril Mukminin, di tempat usahanya selalu terjadi gangguan.

Salah satunya terkait keamanan.

Sehingga bisnisnya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Jhony kemudian bertemu dengan Amril.

Saat itu ia pun membicarakan permasalahan yang dialaminya tersebut.

Termasuk supaya terdakwa Amril memfasilitasi buah sawit masyarakat untuk masuk ke pabrik miliknya yang berada di Kabupaten Bengkalis.

Dengan kesepakatan, Amril Mukminin menerima fee sebesar Rp5 perkilogram dari sawit yang masuk ke pabriknya.

"Apakah ada nego-nego sebelumnya untuk perkilonya terkait penentuan angka itu?," tanya JPU KPK, Takdir Suhan.

"Ada. Awalnya Rp10 diusulkan dari beliau. Akhirnya jadi Rp5," sebut Jhony.

Penyetoran uang kepada Amril Mukminin, dilakukan lewat skema transfer ke rekening bank CIMB Niaga atas nama Kasmarni, istri Amril Mukminin.

Hal ini sesuai dengan arahan dari Amril.

Transfer uang berjalan dari tahun 2013 sampai 2019, dengan total sekitar Rp12 miliar lebih.

"Pernah ketemu dengan Kasmarni? Kapan dan di mana?," tanya JPU Suhan lagi.

"Pernah, tapi jarang. Pertama kali dikenalkan oleh Pak Amril.

Saat membuat perjanjian, seingat saya di restoran di Pekanbaru.

Pertemuan kedua saat tandatangan (perjanjian) di Bengkalis," urai Jhony.

Setelah itu, Jhony mengaku jarang bertemu Kasmarni.

Dia mengaku lupa kapan pastinya.

Pengakuan Jhony, dia punya 2 pabrik pengolahan kelapa sawit di Bengkalis.

Untuk pabrik kedua, pada dasarnya kata Jhony, mekanisme perjanjiannya sama, mengikuti perjanjian untuk pabrik sebelumnya. Selisihnya sekitar 2 tahun.

"Siapa yang menjadi pengamanan di sana?," tanya JPU.

"Di pabrik kita itu yang mengamankan ya orang-orang dekat beliau.

Orang-orang beliau, siapa-siapanya saja tidak tahu," tutur Jhony.

Diakui Jhony, dalam sekali transfer, nilainya berbeda.

Antara puluhan juta sampai ratusan juta.

Tergantung berapa banyak jumlah buah sawit yang masuk.

Menariknya, Jhony mengaku ada satu poin kesepakatan dengan Amril.

Isi klausul itu, perjanjian akan berhenti apabila salah satu dari mereka meninggal dunia.

Sementara itu, saksi lainnya yang juga pengusaha sawit, Adyanto juga memberikan keterangannya perihal perkara yang menjerat Amril.

Berbeda dengan Jhony Tjoa, Adyanto memberikan uang kepada Amril dalam bentuk kes atau tunai.

Hal ini berlangsung dari tahun 2014 sampai 2018.

"Setiap bulan kasih cash. Saya antar ke rumah," jelasnya.

Diterangkan Adyanto, uang dalam bentuk tunai itu, diminta langsung oleh Amril Mukminin.

"Kata Pak Amril nggak usah susah-susah, tunai aja," beber Adyanto.

Hitungan uang untuk Amril, yaitu Rp5 perkilogram sawit.

Awalnya, Amril meminta Rp10, namun setelah negosiasi, disepakati Rp5.

"Uang cash Rp100 ribu. Ambil dari bank. Saya telfon apakah ada ibu (Kasmarni) di rumah. Saya bilang juga ke Pak Amril. Uangnya disimpan dalam kantong plastik di tas tangan. Langsung setor aja (saat ketemu Kasmarni)," urainya.

Beberapa kali kesempatan kata Adyanto, saat dia mengantar uang, Amril juga ada di rumah.

Namun diungkapkan Adyanto, perjanjian dia dengan Amril soal pemberian fee itu, baru terlaksana pada tahun 2018.

Tepatnya pada 11 Januari 2018.

"Memang waktu itu saya sudah minta dibuatkan (perjanjian) kepada Pak Amril, tapi dia bilang jangan dulu. Anak saya belum dewasa jadi saksi," urainya.

Amril Mukminin diduga menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp23,6 miliar lebih dari dua orang pengusaha sawit.

Uang diterima baik secara tunai, maupun dalam bentuk transfer.

Uang miliaran rupiah juga mengalir ke rekening istri Amril, Kasmarni, dengan cara ditransfer.

Dalam surat dakwan kedua yang dibacakan JPU KPK, Tonny Frengky saat awal persidangan terungkap, terdakwa Amril Mukminin selaku anggota DPRD Kabupaten Bengkalis 2014 -2019, dan Bupati Bengkalis 2016-2021 telah menerima gratifikasi berupa uang setiap bulannya dari kedua pengusaha sawit itu.

Uang diterima terdakwa secara tunai maupun ditransfer ke rekening bank atas nama Karmarni (istri terdakwa) pada Bank CIMB Niaga Syariah nomor rekening 4660113216180 dan nomor rekening 702114976200.

Pada 2013 lalu, Jonny Tjoa selaku Dirut dan pemilik perusahaan sawit PT Mustika Agung Sawit Sejahtera meminta bantuan Amril, untuk mengajak masyarakat setempat agar memasukkan buah sawit ke perusahaan tersebut dan mengamankan kelancaran operasional produksi perusahaan.

Atas bantuan tersebut, Jonny Tjoa memberikan kompensasi berupa uang kepada terdakwa sebesar Rp5 per kilogram TBS dari total buah sawit yang masuk ke dalam pabrik. 

Terhitung sejak Juli 2013 dikirimkan uang setiap bulannya dengan cara ditransfer ke rekening atas nama Kasmarni.

Pemberian uang itu, terus berlanjut hingga terdakwa dilantik menjadi Bupati Bengkalis pada 2016 lalu. 

Tak hanya dari Jonny Tjoa, Amril Mukminim juga menerima uang dari Adyanto selaku direktur dan pemilik PT Sawit Anugrah Sejahtera, saat masih menjabat sebagai anggota DPRD Bengkalis terhadap bantuan mengamankan kelancaran operasional pabrik. 

"Atas bantuan tersebut, Adyanto memberikan kompensasi berupa uang kepada Terdakwa dari prosentase keuntungan yaitu sebesar Rp5 per kilogram TBS dari total buah sawit yang masuk ke dalam pabrik.

Uang tersebut diberikan setiap bulannya sejak awal tahun 2014 yang diserahkan secara tunai kepada Kasmarni (istri terdakwa) di rumah kediaman terdakwa.

Uang yang telah diterima terdakwa dari Adyanto seluruhnya sebesar Rp10.907.412.755," ungkap JPU Tonny kala itu.

Penerimaan uang yang merupakan gratifikasi tersebut, tidak pernah dilaporkan oleh terdakwa kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari kerja. 

Hal ini, sebagaimana dipersyaratkan dalam undang-undang dan merupakan pemberian suap karena berhubungan dengan jabatan terdakwa selaku anggota DPRD Kabupaten Bengkalis 2014-2019 dan selaku Bupati Bengkalis 2016-2021.

"Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP," tandas JPU. (Tribunpekanbaru.com/Rizky Armanda)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved