Keinginan Jokowi yang Terkabul, Ini Kerugian yang Dialami Buruh Usai Sahnya Omnibus Law Cipta Kerja
Semua kerugian itu meliputi masifnya kerja kontrak, outsourcing pada semua jenis pekerjaan, dan jam lembur yang kian eksploitatif.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Keinginan Presiden Jokowi untuk memiliki Omnibus Law UU Cipta Kerja akhirnya terwujud juga.
Presiden dalam pidato kenegaraannya usai dilantik sebagai presiden untuk periode kedua pada 20 Oktober 2019 lalu, pernah berharap agar Indonesia memiliki Omnibus Law yang dapat merevisi banyak undang-undang sekaligus.
DPR akhirnya mengabulkan keinginan Presiden Jokowi dengan mengesahkan UU tersebut pada Senin (5/10/2020) malam lalu.
Namun, keinginan Presiden Jokowi menuai kemurkaan para kaum buruh.
Kalangan buruh menilai banyak kerugian yang bakal mereka alami pasca sahnya UU Cipta Kerja.
Kerugian tersebut terdapat dalam klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja.
Ada delapan poin UU Cipta Kerja yang rugikan buruh menurut Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP).
Semua kerugian itu meliputi masifnya kerja kontrak, outsourcing pada semua jenis pekerjaan, dan jam lembur yang kian eksploitatif.
Selanjutnya, menghapus hak istirahat dan cuti, tidak diwajibkannya gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota, dan peran negara dalam mengawasi praktik PHK sepihak diminimalisasi.
Kemudian, berkurangnya hak pesangon, dan perusahaan semakin mudah melakukan PHK sepihak.
"Setelah membaca undang-undang nir-partisipasi tersebut, kami menemukan setidaknya delapan bentuk serangan terhadap hak-hak buruh yang dilegitimasi secara hukum," ujar Ketua Umum FBLP Jumisih dalam keterangannya kepada Kompas.com, Selasa (6/10/2020).
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyoroti tumpang tindihnya regulasi yang menghambat investasi serta pertumbuhan lapangan pekerjaan.
Oleh karena itu, Presiden mengajak DPR untuk menyusun omnibus law, sebuah UU sapu jagat yang bisa merevisi banyak UU.
Proses pembahasan RUU ini pun terbilang cepat.
Hanya butuh waktu sekitar tujuh bulan bagi DPR untuk menyelesaikan pembahasan RUU yang diserahkan drafnya oleh pemerintah pada Februari lalu.
Padahal, pada saat yang sama, banyak aktivitas masyarakat yang diminta pemerintah untuk dikurangi mengingat tengah menghadapi situasi pandemi Covid-19.
Pembahasan RUU itu, khususnya terkait klaster ketenagakerjaan, sempat ditunda oleh Presiden setelah serikat buruh mengancam akan mogok nasional pada akhir April 2020.
Meski demikian, penundaan tak berlangsung lama.
Pemerintah akhirnya melanjutkan kembali pembahasannya.
Bahkan, DPR mengakui proses pembahasan memakan waktu 7x24 jam hingga menggunakan masa reses mereka.
Berpotensi Dibatalkan MK
Omnibus Law UU Cipta Kerja telah disahkan DPR pada Senin (5/10/2020).
Sahnya UU tersebut memicu kemarahan di sejumlah elemen masyarakat.
Sebab, UU ini tak hanya berdampak pada buruh saja, melainkan sektor lainnya.
Namun ada kabar baik di tengah demo dan aksi mogok saat ini.
Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) dapat membatalkan seluruh isi dari Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.
"Omnibus law itu, otomatis jelas melanggar kontstitusi karena prinsipnya dalam negara demokrasi itu, merampas hak undang-undang, itu tidak boleh," kata Fahri dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (7/10/2020).
"Pembuatan undang-undang harus mengacu pada tata cara pembuatan undang-undang, bukan hanya soal sosialiasi, tapi harusnya pakai Perppu dan diuji di DPR," sambung Fahri.
Menurut, UU Cipta Kerja bukan undang-undang hasil revisi atau amandemen, melainkan undang-undang baru yang dibuat dengan menerobos banyak undang-undang.
Selain melangggar konstitusi, kata Fahri, UU Cipta Kerja juga merampas hak publik dan rakyat, sehingga jelas-jelas melanggar HAM.
"Ini bukan open policy, tapi legal policy. Undang-Undang Cipta Kerja dianggap oleh publik dan konstitusi merampas hak publik dan rakyat, sehingga berpotensi dibatalkan secara keseluruhan oleh MK. Bisa dibatalkan total oleh Mahkamah Konstitusi," papar Fahri.
Mantan Wakil Ketua DPR Periode 2014-209 itu mengaku, tidak habis pikir dengan bisikan para penasihat hukum dan tata negara Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang lebih mendorong pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang, daripada mengajukan Perppu atau melakukan sinkronisasi aturan teknis.
"Mohon maaf, penasehat hukum dan tata negaranya Pak Jokowi kurang pintar. Pak Jokowi itu bukan lawyer atau ahli hukum, mestinya ahli hukum yang harus dengar Pak Jokowi," ucap Fahri.
"Ini Pak Jokowi-nya yang nggak mau dengar ahli hukum atau ahli hukumnya yang tidak mau dengerin Pak Jokowi. Tapi kelihatanya ada pedagang yang didengar oleh Pak Jokowi daripada ahli hukumnya," ujarnya.
Fahri berpendapat apabila UU Cipta Kerja nantinya dibatalkan secara keseluruhan oleh MK, maka bisa menimbulkan kekacauan pada aturan lain yang terkait.
Sebab, Omnibus Law ini bukan tradisi Indonesia dalam membuat regulasi, sehingga akan sulit diterapkan.
Oleh sebab itu, Fahri berharap Presiden Jokowi tidak otoriter dalam menerapkan UU Cipta Kerja.
Tetapi harus mengumpulkan semua pihak duduk satu meja dan berbicara mengenai undang-undang itu, agar publik bisa memililiki pemahaman yang sama dengan pemerintah.
"Tidak perlu otoriter, ajak semua ngobrol agar memahami kepentingan untuk akselerasi kita. Saya kira semua akan ikut mendukung," papar Fahri.
Fahri pun menyebut, pemeritah seharusya tidak perlu melibatkan DPR sejak awal dalam menuntaskan permasalahan Omnibus Law.
Cukup panggil seluruh stakeholder terkait, selesaikan secara sepihak di internal pemerintah, dan tidak perlu menerebos banyak undang-undang.
"Omnibus Law itu nanti akan dihajar terus karena bertentangan dengan publik dan buruh. Kasihan Pak Jokowi nanti diakhir jabatannya," ucap Fahri.
(*)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "[POPULER NASIONAL] UU Cipta Kerja, Keinginan Jokowi yang Jadi Nyata | 8 Poin Merugikan Pekerja di UU Cipta Kerja".