Kalah Perang dari Azerbaijan, Rakyat Armenia Frustasi Tuntut Pashinyan Mundur Diganti Pemimpin Baru
Duka cita dan rasa frustrasi ditumpahkan rakyat Armenia ke jalanan ibukota di Yerevan,menyusul pengumuman penandatanganan perdamaian dengan Azerbaijan
TRIBUNPEKANBARU.COM - Berakhirnya perang Armenia- Azerbaijan usai penandatanganan kesepakatan damai membuat rakyat Armenia tidak puas.
Mereka melakukan aksi protes dan turun ke jalan-jalan utama negara itu dan meneriakkan berbagai tuntutan.
Aksi protes dilakukan usai Perdana Menteri Nikol Pashinyan menandatangani perjanjian untuk mengakhiri konflik di Nagorno-Karabakh.
Beberapa menit setelah penandatanganan perjanjian damai itu, Armenia masuk ke jurang krisis.
Baca juga: Siti Nurbaya Ajak Kader Nasdem Jadi Jembatan Rakyat dan Pemerintah
Baca juga: Harga Khusus untuk Deluxe Room dan Deluxe Elite dalam Promo November di Labersa
Baca juga: Sukses Ikuti Diklat Wasit Nasional di Bali, Ini Target Andrio Loka Untuk Taekwondo Riau
Duka cita dan rasa frustrasi ditumpahkan rakyat Armenia ke jalanan ibu kota di Yerevan, menyusul pengumuman mengejutkan itu pada Selasa (10/11/2020).
Kesepakatan damai yang diteken itu meliputi konsesi teritorial yang menguntungkan Azerbaijan, dan kehadiran pasukan penjaga perdamaian dari Rusia setidaknya sampai lima tahun ke depan.
Para demonstran menyerbu parlemen dan kantor-kantor pemerintahan, disusul aksi protes dari partai-partai oposisi sehari setelahnya.
Mereka menuntut Pashinyan mundur dan diganti pemimpin baru.
Aksi yang dimulai di Teater Opera itu diwarnai cacian kepada PM Armenia.
Massa berteriak, "Nikol, pengkhianat!" lalu menuju gedung parlemen untuk menyerukan pemakzulan Pashinyan.
Diberitakan Al Jazeera pada Kamis (12/11/2020), polisi antihuru-hara dikerahkan untuk mengendalikan massa, dan mereka melakukan beberapa penangkapan.
Anna Mkrtchyan (26) seorang pengacara dari Yerevan, ditangkap karena melakukan protes di dekat Teater Opera.
Dia dibawa ke kantor polisi tapi dibebaskan beberapa jam kemudian.
"Saya protes untuk melindungi tanah saya, tanah yang sekarang diberikan oleh Pashinyan ke Azerbaijan, tempat ribuan orang Armenia terbunuh."
"Kami berjuang untuk Tanah Air kami dan hak-hak orang yang tinggal di Artsakh," lanjutnya merujuk pada istilah Armenia untuk menyebut Nagorno-Karabakh.
Wilayah sengketa itu terletak di dalam Azerbaijan tetapi dihuni etnis Armenia.
Penguasaannya diperdebatkan sejak 1980-an.
Banyak orang di Yerevan percaya Nagorno-Karabakh termasuk bagian negara mereka.
Selama pertempuran terbaru yang berlangsung lebih dari sebulan, tak kurang dari 1.000 orang tewas termasuk puluhan warga sipil di kedua pihak.
Banyak etnis Armenia di Nagorno-Karabakh melarikan diri dari wilayah itu, sedangkan warga Azerbaijan di daerah yang dihantam rudal juga mengungsi ke tempat lain.
"Saya bekerja dengan anak-anak terlantar dan saya harus menemui mereka hari ini untuk memberitahu bahwa mereka tidak akan pernah bisa pulang, karena PM mereka telah menyerahkannya," kata seorang pengunjuk rasa yang tidak disebut namanya.
"Jika negara kita akan diserahkan, itu bisa dilakukan 44 hari yang lalu dan kita tidak akan kehilangan ribuan nyawa."
Banyak yang merasa ditipu karena mereka baru tahu perjanjian damai itu saat sudah diberlakukan.
Kata mereka, penandatanganan tersebut tidak demokratis tanpa keterlibatan rakyat.
Terlepas dari maraknya aksi protes di jalan, Richard Giragosian direktur lembaga konsultan Regional Studies Center di Yerevan mengemukakan, demo itu tidak cukup kuat untuk mendesak Pashinyan mundur.
"Dia tidak punya saingan atau alternatif yang bisa dipercaya... Namun demikian, rasa frustrasi itu nyata, kekecewaan itu benar adanya."
Pemerintah dan militer Armenia juga membantah klaim kekalahan telak, seperti kehilangan kota strategis Shushi, atau Shusha dalam istilah Azerbaijan.
Perancis, AS, dan Turki Bersama Rusia akan Kawal Implementasi Perjanjian Gencatan Senjata
Perancis dan Amerika Serikat segera kirim dilegasi ke Moskwa untuk membahas peran dalam upaya mengamankan gencatan senjata antara Armenia dan Azerbaijan.
Setelah Rusia kirim pasukan penjaga perdamaian di Nagorno-Karabakh.
Kedatangan pasukan penjaga perdamaian Rusia pada Selasa (10/11/2020) untuk di daerah kantong itu memperluas jejak militer negaranya di antara bekas republik Soviet yang dipandangnya sebagai halaman belakang strategis.
Moskwa menjadi ketua bersama kelompok internasional yang mengawasi perselisihan Nagorno-Karabakh dengan Washington dan Paris.
Namun AS dan Perancis tidak terlibat dalam kesepakatan yang ditandatangani oleh Rusia, Armenia dan Azerbaijan untuk mengakhiri enam pekan pertempuran di daerah kantong tersebut, yang mulai meledak pada 27 September.
"Kami sama sekali tidak ingin menjauhkan diri dari rekan-rekan Amerika dan Perancis kami," kata Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov seperti yang dilansir dari Reuters pada Kamis (12/11/2020).
“Apalagi kami sudah mengundang mereka ke Moskwa. Mereka akan tiba dalam beberapa hari ke depan untuk membahas bagaimana mereka dapat berkontribusi pada implementasi kesepakatan yang dicapai.”
Kesepakatan itu, yang mengunci keuntungan teritorial oleh pasukan Azeri melawan pasukan etnis Armenia di Nagorno-Karabakh.
Alhasil, memicu protes di Armenia yang menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Nikol Pashinyan ketika kesepakatan diumumkan pada Selasa pagi.
Ratusan demonstran berunjuk rasa untuk hari ketiga di ibukota Armenia Yerevan pada Kamis, meneriakkan, "Nikol adalah pengkhianat!"
Mereka kemudian berbaris ke markas Dinas Keamanan untuk menuntut pembebasan beberapa pemimpin oposisi dan aktivis yang ditahan pada Rabu (11/11/2020).
Pashinyan terpilih pada 2018 setelah adanya protes jalanan terhadap dugaan korupsi mantan elit politik.
Ia mengataan pada Kamis bahwa telah menandatangani perjanjian untuk mengamankan perdamaian dan menyelamatkan nyawa.
Turki, yang telah mendukung Azerbaijan atas konflik tersebut, menandatangani protokol dengan Rusia pada Rabu untuk mendirikan pusat pemantauan bersama.
Tujuannya, mengkoordinasikan upaya-upaya untuk memantau kesepakatan perdamaian.
Turki menyetujui kesepakatan terkahir itu, setelah 3 upaya gencatan senjata sebelumnya dengan cepat gagal.
Rincian pemantauan belum dikerjakan dan Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu mengatakan pada Kamis bahwa para pejabat Rusia akan berada di Ankara pada Jumat untuk membahas itu.
Nagorno-Karabakh secara internasional diakui sebagai bagian dari Azerbaijan, yang sekarang bergabung dengan 8 negara bekas republik Soviet lainnya di mana Rusia memiliki kehadiran militer.
Moskwa memiliki pangkalan militer di 5 negara tetangga serta pasukan di wilayah yang memisahkan diri dari 3 negara lainnya.
Merasa sia-sia Warga Armenia yang tinggal lebih dekat ke Nagorno-Karabakh, dilaporkan telah menanggung banyak kekalahan yang mengorbankan lebih dari 1.300 pejuangnya.
Saat Pashinyan mengumumkan kesepakatan itu, para warga Armenia di sana memiliki perasaan campur aduk.
Satu sisi mereka menyambut baik pasukan kecil penjaga perdamaian Rusia yang menuju ke daerah kantong pada Kamis.
"Kami senang pasukan penjaga perdamaian datang, tetapi pada saat yang sama kami sedih karena kami menyerahkan wilayah itu," kata Armen Manjoyan.
Seorang pengemudi berusia 45 tahun, di luar desa Yelpin Armenia antara Yerevan dan perbatasan Azeri, mengatakan di sisi lain ia sedih dengan kesepakatan itu.
“Kami semua berjuang untuk itu (mengukuhkan wilayah), tapi ternyata sia-sia. Saya pikir itu bukan keputusan yang tepat,” ujarnya.
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perancis, AS, dan Turki Bersama Rusia Akan Kawal Implementasi Perjanjian Gencatan Senjata Armenia-Azerbaijan"
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kalah Perang dari Azerbaijan, Armenia Alami Krisis"
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/rakyat-armenia-protes-usai-kalah-perang-dengan-azerbaijan.jpg)