2 Insiden Dramatis Pesawat Jatuh di Sungai di Bulan Januari, Penumpangnya Selamat
Dua insiden dramatis kecelakaan pesawat terbang terjadi di bulan Januari puluhan tahun lalu. Dalam 2 insiden ini penumpangnya ada yang selamat.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Dua peristiwa kecelakaan pesawat penumpang yang terjadi puluhan tahun lalu terjadi di bulan Januari.
Yang pertama adalah insiden pesawat Air Florida berjenis Boeing 737-222 jatuh di Sungai Potomac, Washington DC pada 13 Januari 1982.
Dan yang kedua pada 16 Januari 2002, pesawat B737-300 Garuda Indonesia penerbangan GA421 ditching atau mendarat di anak sungai Bengawan Solo.
Dua insiden ini tergolong dramatis, karena penumpangnya ada yang selamat.
Dilansir dari Kompas.com, kecelakaan pesawat Air Florida berjenis Boeing 737-222 jatuh di Sungai Potomac, Washington DC ini menewaskan 81 orang.
Baca juga: VIDEO: Jadi Korban Kecelakaan Sriwijaya Air, Sampel DNA Orangtua Putri Wahyuni Dikirim Ke Jakarta
Baca juga: Jasad Pramugara Sriwijaya Air SJ 182 Teridentifikasi, Sang Istri: Allah Maha Baik Temuin Aku sm Kamu
Pesawat itu jatuh karena cuaca buruk. Adapun, lokasi kejadian hanya berjarak dua mil dari Gedung Putih.
Melansir History, pesawat Air Florida terbang dari Bandara Washington di Arlington, Virginia.
Pesawat telah terbang di Washington dari Miami pada sore hari dan dijadwalkan kembali ke Ft. Lauderdale, Florida, setelah berhenti sebentar.
Namun, salju di Washington membuat bandara tutup sementara.
Penyebab jatuhnya pesawat
Saat bandara telah dibuka kembali, pesawat dihilangkan lapisan esnya dengan bahan kimia anti beku.
Akan tetapi, pesawat tersebut masih mengalami kesulitan untuk bergerak akibat es.
Ketika akhirnya tiba di landasan pacu, pesawat terpaksa harus menunggu 45 menit untuk lepas landas.
Karena tidak ingin menunda penerbangan lebih lama, pilot pesawat saat itu, Larry Wheaton, tidak melakukan penghilangan lapisan es kembali.
Lebih buruk lagi, ia gagal untuk menghidupkan sistem penghilangan lapisan es pesawat.
Selama menunggu, es telah menumpuk di sayap pesawat.
Saat pesawat mencapai ujung landasan, ia mampu mencapai ketinggian hanya beberapa ratus kaki saja.
Tiga puluh detik setelah lepas landas, pesawat menabrak jembatan di atas Sungai Potomac, kurang dari satu mil dari landasan pacu.
Baca juga: Wanita Ini Masuk dalam Daftar Korban Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 Jatuh, Tapi Dia Masih Hidup
Baca juga: Pasangan Kekasih Penumpang Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 Gunakan KTP Orang Lain, Sarah Beatrice Kaget
Pesawat tersebut jatuh pada pukul 15.45 waktu setempat.
Saat itu, para pekerja, termasuk pegawai negeri, tengah dalam perjalanan pulang kerja.
Mereka pulang lebih awal karena badai salju yang melanda wilayah tersebut. Dan jembatan di atas Sungai Potomac ini merupakan jalur utama antara Washington-Virginia.
Akibat kejadian ini, tujuh kendaraan yang sedang berjalan di jembatan tertabrak oleh pesawat Boeing 737-222 ini.
Sementara, pesawat jatuh ke dalam air yang membeku.
Empat penumpang dan satu kru kabin selamat dari kecelakaan ini.
Empat pengendara mobil di atas jembatan ikut tewas dalam kecelakaan tersebut.
Disusul kecelakaan kereta
Melansir Harian Kompas, 15 Januari 1982, musibah besar ini kemudian disusul oleh kecelakaan kereta api bawah tanah.
Kereta ini keluar dari relnya di kota Washington. Kecelakaan tersebut menewaskan tiga orang.
Sementara, 15 orang lainnya mengalami luka parah. Penyelamatan para korban kecelakaan kereta api pun tertunda.
Sebab, para petugas penyelamat tengah sibuk menangani musibah pesawat terbang yang terjadi 30 menit sebelumnya.
Hambatan penyelamatan
Setelah pesawat jatuh, sejumlah helikopter dan perahu dikerahkan untuk menyelamatkan para korban yang masih hidup di dalam sungai.
Sementara itu, sejumlah mobil pemadam kebakaran dan ambulans meluncur menuju tempat kecelakaan.
Saat itu, seluruh rumah sakit di Washington siaga menerima para korban.
Jembatan ditutup sementara karena digunakan sebagai pangkalan operasi penyelamatan para korban.
Gumpalan-gumpalan es di Sungai Potomac menjadi hambatan dalam operasi penyelamatan yang dilakukan.
Kasus penerbangan serius pertama
Musibah ini menjadi musibah penerbangan pertama yang serius di Washington.
Lapangan Terbang Nasional Washington sendiri dibangun pada 1941 setelah Presiden Franklin Roosevelt bermimpi buruk tentang suatu kecelakaan pesawat terbang di pelabuhan udara yang lama.
Landasan pacu bandara ini dibangun hanya untuk pesawat terbang biasa, bukan untuk pesawat jet yang membutuhkan area lebih luas untuk lepas landas dan mendarat.
Namun, bandara ini menjadi salah satu yang teramai di AS. Hampir setiap jam, tempat ini menampung 50 pesawat, mulai dari pukul tujuh pagi hingga sepuluh malam.
Hingga sebelum terjadinya musibah pesawat Air Florida, baru tercatat satu kali kecelakaan pesawat terbang di bandara tersebut, yaitu pada tahun 1949.
Pesawat Garuda Menembus Badai Es dan Mendarat di Bengawan Solo
Dilansir dari Kompas.com, 19 tahun yang lalu, tepatnya pada 16 Januari 2002, pesawat B737-300 Garuda Indonesia penerbangan GA421 ditching atau mendarat di anak sungai Bengawan Solo.
Penyebabnya, kedua mesin pesawat mati saat terbang akibat menembus badai hujan dan es. Pesawat rute Lombok - Yogyakarta itu membawa 54 penumpang dan 6 kru.
Seluruh penumpang selamat, tetapi seorang kru awak kabin ditemukan tewas, diduga akibat benturan saat pesawat mendarat.
Peristiwa itu menghasilkan salah satu masukan yang penting untuk dunia penerbangan, khususnya pabrikan mesin pesawat berdasar investigasi yang dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Namun sebelum melompat ke kesimpulan hasil investigasi dan rekomendasi KNKT, mari mengulas kembali kisah keajaiban yang terjadi 15 tahun yang lalu itu.
GA421 dijadwalkan terbang dari Selaparang, Mataram, pada pukul 15.00 WITA. Pesawat B737-300 registrasi PK-GWA yang dipiloti oleh Kapten Abdul Rozak itu kemudian menuju ketinggian jelajah 31.000 kaki.
Pesawat dijadwalkan tiba di Yogyakarta sekitar pukul 17.30 WIB.
Namun saat meninggalkan ketinggian jelajah untuk turun ke bandara Adisutjipto, di atas wilayah Rembang, kapten penerbangan memutuskan untuk sedikit menyimpang dari rute seharusnya, atas izin ATC.
Hal itu dilakukan karena di depan terdapat awan yang mengandung hujan dan petir. Kru pesawat mencoba untuk terbang di antara dua sel awan badai.
Sekitar 90 detik setelah memasuki awan yang berisi hujan, saat pesawat turun ke ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi mesin dalam posisi idle, kedua mesin tiba-tiba mati dan kehilangan daya dorong (thrust).
Pilot dan kopilot pun saat itu mencoba untuk menghidupkan unit daya cadangan (auxiliary power unit/APU) untuk membantu menyalakan mesin utama, tetapi tidak berhasil.
Penyelidikan yang dilakukan menyebut bahwa kru kokpit mencoba menyalakan mesin dengan interval setiap satu menit.
Manual B737 yang dikeluarkan Boeing menyebut APU mesti dinyalakan dalam interval 3 menit sekali.
Ketika pesawat sampai di ketinggian 8.000 kaki, dan kedua mesin belum berhasil di-restart, pilot melihat alur anak sungai Bengawan Solo dan memutuskan untuk melakukan pendaratan di sana.
Pesawat pun melakukan ditching tanpa mengeluarkan roda pendaratan maupun flaps (menjulurkan sayap).
Hidung pesawat B737-300 Garuda Indonesia yang babak belur setelah menerobos hujan es.
Saran untuk industri mesin pesawat
Penyelidikan yang dilakukan oleh KNKT menyimpulkan bahwa pelatihan yang diberikan maskapai Garuda Indonesia kepada pilot-pilotnya dalam hal interpretasi radar cuaca tidak sebagaimana mestinya dilakukan, hanya diberikan secara tidak formal.
Jika kru mengubah sudut radar cuaca pesawat ke bawah sebelum meninggalkan ketinggian jelajah, maka kemungkinan mereka akan melihat jalur awan di depan dengan lebih baik.
Dari rekaman suara kokpit dan melihat kerusakan di hidung dan mesin pesawat, disimpulkan awan badai yang ditembus GA421 kala itu bukan hanya berisi hujan saja, melainkan juga butiran-butiran es.
Laporan menyebut air dan es tersebut memiliki kepadatan yang tidak bisa ditoleransi lagi oleh mesin saat kondisi idle, sehingga tidak bisa dinyalakan ulang.
Berdasar temuan tersebut, maka diterbitkan rekomendasi kepada pabrikan mesin pesawat.
Mereka diminta untuk membuat prosedur bagaimana meningkatkan kemampuan mesin saat menghadapi situasi hujan badai dan es, yakni dengan meningkatkan RPM minimum menjadi 45 persen dan melarang penggunaan autothrust dalam kondisi presipitasi tinggi.
Selain itu, KNKT juga memberikan rekomendasi untuk memperbaiki metode pelatihan awak pesawat dalam membaca citra radar cuaca, pabrikan radar cuaca harus meningkatkan sistem radar cuacanya agar bisa lebih baik mengidentifikasi awan, serta perbaikan dalam prosedur pemeliharaan baterai pesawat untuk maskapai.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Hari Ini dalam Sejarah: Boeing 737 Air Florida Jatuh di Sungai Potomac, Washington",dan telah tayang di Kompas.com dengan judul "18 Tahun Lalu, Pesawat Garuda Menembus Badai Es dan Mendarat di Bengawan Solo",
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/air-florida-jatuh1.jpg)