Simpanan Bapak 'Diembat' Anak, Mataram Pun Banjir Darah Gara-gara Wanita
Ketika sang kakek ini mengetahui sebab-sebab sakitnya sang cucu, ia segera mengambil tindakan tegas namun gegabah.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Jangan anggap sepele masalah asmara. Sebab, masalah asmara bisa menimbulkan 'banjir darah'.
Perang karena wanita sudah sering terjadi di masa silam.
Peperangan Troy dan Sparta misalnya. Gara-gara memeperebutkan Helen dari Troy, Sparta dan Troy berperag habis-habisan.
Kisah yang nyaris sama juga terjadi di tanah Jawa. Namun, perebutan wanita terjadi antara ayah dan anak.
Tragedi banjir darah tersebut terjadi pada Kerajaan Mataram.
Kala itu Sang Raja dan Putra Mahkota mencintai seorang wanita yang sama.
Putra Mahkota menikahi seorang wanita yang selama ini 'disimpan' oleh sang Raja untuk kelak dia nikahi saat sang wanita sudah dewasa.
Tak ayal Raja Mataram pun murka. Semua pihak yang membantu dihabisi, bahkan sang gadis pujaan pun binasa.
Kisah berikut ini terjadi pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I (1645- 1677) sebagai mana dapat kita baca dalam Kitab Babad Tanah Jawi.
Disebutkan bahwa, setelah Surabaya dapat ditundukkan oleh Sultan Agung maka Adipati Surabaya, Pangeran Pekik, tidak dihukum karena Sultan sadar bahwa Surabaya memiliki potensi terbesar sebagai penunjang kekuatan Mataram.
Pangeran Pekik malah dikawinkan dengan adinda Sultan, Ratu dan Pandansari, kedudukannya pun sebagai Adipati Surabaya tidak dicabut.
Namun karena ia diminta tetap tinggal di Mataram, maka Pangeran Pekik menunjuk Ngabehi Mangunjaya sebagai wakilnya untuk menjalankan pemerintahan di Surabaya.
Ikatan Mataram— Surabaya dalam perkawinan itu semakin dipererat ketika Putera Mahkota (yang kelak menggantikan Sultan Agung sebagai Sunan Amangkurat I) dikawinkan dengan Puteri Pangeran Pekik.
Setelah Amangkurat I naik tahta, maka putera dari hasil perkawinannya dengan Puteri Pangeran Pekik dijadikan Putera Mahkota (dan kelak menjadi Sunan Amangkurat II).
Sang Putera Mahkota ini tinggal bersama kakeknya, Pangeran Pekik.
Diceriterakan selanjutnya bahwa Sunan Amangkurat I menginginkan seorang selir baru.
Secara kebetulan pilihan jatuh pada Rara Oyi, Puteri Ngabehi Mangunjaya.
Namun karena sang Puteri masih belum akil balik maka di Mataram ia dititipkan di rumah Ngabehi Wirareja dengan perintah agar kelak bila telah dewasa, Rara Oyi segera diserahkan ke istana.
Secara kebetulan Putera Mahkota singgah di kediaman Ngabehi Wirareja dan beradu pandang dengan Rara Oyi.
Putera Mahkota jatuh cinta namun betapa sakit hatinya setelah mengetahui bahwa Rara Oyi adalah simpanan ayahandanya sendiri.
Ketika sang kakek ini mengetahui sebab-sebab sakitnya sang cucu, ia segera mengambil tindakan tegas namun gegabah.
Rara Oyi diambilnya dan diserahkan untuk diperisteri Putera Mahkota.
Pada waktu Sunan mengetahui segala kejadian itu, jatuhlah putusannya yang mengerikan.
Pangeran Pekik beserta seluruh keluarganya yang terdiri dari 40 orang dibunuh.
Ngabehi Wirareja beserta anak isterinya diasingkan ke Ponorogo dan di tempat pembuangannya itu merekapun akhirnya dibunuh.
Putera Mahkota diperintahkan membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.
Sang Putera Mahkota ini kemudian memangku isterinya di hadapan Sunan dan menikam dada isterinya sampai tewas. Selanjutnya Putera Mahkota diasingkan ke tempat lain.
Seluruh kompleks kediaman Pangeran Pekik, Ngabehi Wirareja dan Putera Mahkota dihancurkan dan dibakar serta harta bendanya dirampas.
Meskipun akhirnya Putera Mahkota memperoleh pengampunan dari Sunan dan dipanggil lagi ke Mataram, namun sukar kita membayangkan bahwa peristiwa pembantaian itu benar-benar pernah terjadi.
*(Ditulis oleh A.S. Wibowo. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1977)
(*)
Sumber: Intisari-Online.com
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pekanbaru/foto/bank/originals/sunan-amangkurat-i-penguasa-mataram.jpg)