Kim Jong Un Menggila! 4 Warganya Ketahuan Sebar Film Drakor, Ditembak Mati di Depan Umum
Korea Utara, di bawah diktator Kim Jong Un menolak hampir semua yang 'berbau' Korea Selatan.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Kim Jong Un makin hari makin menunjukkan kediktatorannya.
Dikabarkan, Kim Jong Un mengeksekusi mati 4 warga Korea Utara baru-baru ini.
Alasannya sungguh bikin tak masuk akal dan agaknya tak manusiawi.
Dikutip Tribunmedan.com dari Tribunnews.com, Kim Jong Un mengeksekusi 4 warga Korea Utara itu hanya karena menyebarkan film Korea Selatan alias drama korea ( drakor).
Keempat warga itu diekesekusi dengan keji.
Di depan umum di Kota Pyongyang, ibu kota Korea Utara.
Memang diketahui, meski serumpun Korea Selatan dan Korea Utara, kedua negara ini tidak akur.
Korea Utara, di bawah diktator Kim Jong Un menolak hampir semua yang 'berbau' Korea Selatan.

Empat warga Korea Utara dieksekusi di depan umum di Pyongyang karena mendistribusikan materi video ilegal.
Seorang sumber yang mengetahui insiden itu mengatakan kepada Daily NK bahwa eksekusi berlangsung pada 2 Maret.
Proses eksekusi dilakukan di Lapangan Tembak Daewon-ri di Distrik Sadong, Pyongyang.
Keempat orang itu terdiri dari tiga pria dan satu wanita, dieksekusi regu tembak di depan warga setempat dan inminban (pengawas lingkungan).
Semua yang dieksekusi adalah penduduk Hadang-dong, daerah di Distrik Hyongjae, Pyongyang.

Kelompok beranggotakan 4 orang ini dituduh menyimpan film, acara hiburan, dan program musik Korea Selatan dalam sebuah kartu SD dan mendistribusikannya ke seluruh negeri.
Kelompok itu dipimpin seorang pria 50 tahunan dan istrinya berusia sekitar 40 tahun.
Menurut laporan Daily NK, kejadian ini berkaitan dengan banyaknya orang di Hadang-dong yang membuat rokok palsu yang disebut gadaegidambae.
Pasutri ini satu diantara yang bekerja sebagai pembuat rokok palsu.
Mereka membeli bahan baku dari pabrik rokok setempat dan mengimpor kertas rokok dari perbatasan Sino-Korea Utara.
Kemasan rokok palsu itu mirip aslinya, namun harganya setengah dari yang asli.
Sejak Agustus tahun lalu, pasangan itu menarik perhatian warga setempat karena membeli rumah orang lain untuk memperluas tempat tinggal mereka.
Pasangan ini juga membuat pabrik mini yang lengkap dengan peralatan produksi di dekat rumah mereka dengan 30 hingga 40 orang karyawan.

Namun tetangga pasutri itu curiga lantaran keduanya mendadak kaya, padahal keuntungan produksi rokok palsu tidak terlalu besar.
Selain itu, tetangga juga merasa aneh karena mereka menambahkan kotak ekstra saat mengirim rokok-rokok tersebut.
Pada Januari lalu, karyawan pabrik rokok memeriksa salah satu kotak itu.
Mereka menemukan banyak kartu SD berisi konten-konten Korea Selatan di bawah dua bungkus rokok di dalam kotaknya.
Pasutri itu langsung dilaporkan ke Kementerian Keamanan Negara.
"Kasus pasutri itu dikirim dari Kementerian Keamanan Negara ke pusat komando Pyongyang, dan kemudian dua karyawan berusia 30-an yang dibayar oleh pasangan itu untuk menyalin kartu SD ditangkap," kata sumber ini.
Pihak berwenang dilaporkan menemukan sejumlah besar kartu SD buatan China di rumah pasangan itu.
Aparat menanyakan asal muasal kartu SD itu, namun pasutri tersebut mengaku dua kali menerima kotak berisi beberapa USB saat mengimpor kertas rokok dan tidak tahu siapa yang menempatkannya di dalam kotak.

Pasangan itu mengaku ada video yang belum pernah mereka lihat sebelumnya di USB itu dan percaya bahwa menjual video tersebut akan menghasilkan uang.
Mereka kemudian menempatkan video tersebut pada kartu SD dan menjualnya di Pasar Hadong dan menemukan bahwa video tersebut populer hingga akhirnya mendistribusikan ke seluruh negeri.
"Kasus itu dilaporkan ke Kim Jong Un dan mereka diperintahkan untuk dieksekusi sebagai pengkhianat bangsa," kata sumber itu.
"Pemeriksaan pendahuluan biasanya memakan waktu sekitar enam bulan, tetapi pasangan itu dieksekusi di depan umum dengan cepat untuk menjadikannya contoh," tambah sumber ini.
Pasal 27 undang-undang pemikiran anti-reaksioner mengatakan, siapapun yang kedapatan mengimpor atau mendistribusikan film, musik, atau karya terbitan Korea Selatan akan menghadapi kerja paksa atau eksekusi seumur hidup.(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)
Setelah Berhasil Kabur dari Korut, Wanita Ini Mengaku Baru Tahu Apa Itu ATM, Kini Mengaku Trauma
Istilah 'rumput tetangga terlihat lebih hijau' rasanya tepat diberikan kepada para pembelot Korea Utara yang menyeberang ke Korea Selatan.
Korea Utara terkenal dengan kemiskinan dan aturan yang kejam, juga aneh, dari pemimpinnya, Kim Jong-Un.
Sementara, negara tetangganya, Korea Selatan, terlihat penuh dengan gemerlap kesuksesan dan kebebasan nan demokratis.
Namun, faktanya, membelot ke Korea Selatan pada akhirnya bukanlah sesuatu yang bisa secara otomatis memberi warga Korea Utara kebahagiaan.
Beberapa merasa sangat kesulitan untuk beradaptasi. Tidak sedikit bahkan sampai mengalami trauma ekstrem yang bisa memicu bunuh diri.
Hal ini salah satunya disampaikan oleh Kim Ji-young yang tiba di Korea Selatan pada usia 31 tahun setelah pelarian yang sulit dari Korea Utara terasa "seperti mimpi".

Namun kegembiraannya saat tiba di Korsel bersama ibu dan tiga orang sepupunya pada Maret 2013 lalu segera memudar seiring dengan masa penyesuaian yang sulit.
Setiap hari membawa tantangan baru dan keluarga itu tidak mengenal siapa pun. "Ada banyak perbedaan budaya... kami harus memulai dari awal lagi," katanya.
Kim adalah satu dari ribuan pembelot yang berhasil melarikan diri dari kehidupan terisolasi di bawah kepemimpinan diktator. Tetapi bagi mereka yang telah melarikan diri, memulai hidup baru di Korsel hanyalah langkah pertama.
Banyak dari mereka yang harus mempelajari hal-hal mendasar dalam kehidupan di tengah masyarakat berteknologi tinggi dan demokratis - mulai dari menggunakan kartu bank hingga memahami cara kerja perwakilan pemerintah.
Apa yang terjadi ketika mereka tiba?
Awalnya, para pembelot menjalani masa penyelidikan dan tanya jawab dengan dinas intelijen.
"Lalu ada tiga bulan di sebuah lembaga bernama Hanawon, sebuah fasilitas pendidikan pemukiman kembali yang dijalankan oleh pemerintah Korea Selatan," kata Sokeel Park, direktur Korea Selatan untuk Kebebasan di Korea Utara.
"Ini adalah sekolah berdurasi tiga bulan. Dalam masa itu mereka mempelajari berbagai hal tentang masyarakat Korea Selatan: cara menggunakan mesin ATM dan infrastruktur transportasi modern Korea Selatan, dan cara mendapatkan pekerjaan. Mereka mempelajari berbagai hal tentang kewarganegaraan Korea Selatan, demokrasi, dan perbedaan."
Ada juga pusat-pusat komunitas yang menyediakan sumber daya bagi pengungsi yang dimukimkan kembali.
Mereka cenderung fokus pada periode transisi ini, yaitu dengan membantu para pembelot mendapatkan ponsel dan rekening bank serta berkenalan dengan komunitas lokal mereka.
Setelah Hanawon, para pembelot diberi rumah sewa umum. Kim diberikan satu kardus berisi makanan - ramen, nasi, minyak dan bumbu-bumbu - untuk bertahan selama beberapa hari pertamanya.
Seorang konselor atau pembelot yang sudah menetap membantu membersihkan rumah dan memberikan dukungan tambahan.
"Kemudian mereka harus menjalani hidup mereka sendiri," katanya.

Siapa yang mengawasi mereka?
Seorang petugas polisi ditugaskan untuk mengawasi warga Korea Utara yang menetap di Korea Selatan. "Anda bisa menganggapnya sebagai penugasan seorang kawan ramah setempat yang sesekali mengunjungi mereka," kata Park.
"Kadang-kadang mereka menjadi teman. Mereka biasanya perwira yang lebih tua, lebih seperti figur ayah. Perannya adalah untuk mendatangi mereka - hampir seperti layanan sosial."
Para petugas terkadang bekerja bersama-sama dengan asosiasi atau gereja.
Terkait dukungan kesehatan mental, Park mengatakan bahwa ada beberapa layanan konseling yang tersedia, tetapi memang bagian itu masih memerlukan perbaikan.
Masalah ini menjadi sorotan pada tahun 2019 ketika pembelot Han Sung-ok dan putranya ditemukan tewas di sebuah apartemen di Seoul. Mereka diyakini mati kelaparan. Tetangga menggambarkannya sebagai orang yang terganggu dan cemas.
Banyak pembelot akan mengalami trauma ekstrem, tetapi mereka kemungkinan tidak akan mencari bantuan atau mengetahui di mana bisa menemukan bantuan itu.
Menurut survei soal pengungsi Korea Utara di Korea Selatan, sekitar 15 persen mengaku memiliki pikiran untuk bunuh diri—10 persen lebih tinggi dari rata-rata orang Korea Selatan.
"Kesehatan mental membutuhkan perubahan dan kesadaran sosial sehingga orang dapat mengidentifikasi hal-hal ini dan mencari pertolongan dan berpikir bahwa tidak apa-apa untuk mencari pertolongan," katanya.
Fyodor Tertitsky, seorang analis asal Korea Utara, mengatakan bahwa kehidupan di Korea Selatan dapat membuat para pembelot merasa terisolasi, dan bukan hanya karena mereka telah memasuki masyarakat yang sangat berbeda. Mereka dipandang oleh banyak orang sebagai "yang lain".
"Anda tidak bisa pulang karena Anda dianggap pengkhianat dan Anda terasingkan dari keluarga atau teman dan lingkungan Anda," kata Tertitsky. "Ini adalah pengalaman yang traumatis terutama jika Anda (terpaksa) melarikan diri."
Ya, faktanya rumput tetangga yang terlihat lebih hijau belum tentu bisa benar-benar dinikmati, bisa jadi malah 'beracun'.
Sumber: Intisari Online
Artikel ini sudah tayang di Tribunnews dengan judul: 4 Warga Korea Utara Ditembak di Depan Umum karena Sebarkan Film Korsel, Kim Jong Un Minta Eksekusi