Ini Yang Membuat Ahmadiyah Dinilai Menyimpang, Ma'ruf Amin: Ada Nabi Sesudah Nabi Muhammad

Sosok yang diyakini Ahmadiyah sebagai nabi penerus setelah Nabi Muhammad SAW adalah Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah.

Istimewa
Masjid Ahmadiyah di Sintang dirusak massa 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Aktifitas Ahmadiyah kembali membuat resah warga. Kali ini, aliran yang dinilai menyimpang itu membuat warga di Sintang, Kalimantan Barat marah.

Warga yang marah lantas mendatangi masjid di komplek penganut Ahmadiyah dan merusak tempat ibadah mereka pada Jumat (3/9/2021).

Massa diperkirakan sebanyak 200 orang.

Kabid Humas Polda Kalimantan Barat Kombes Donny Charles membenarkan peristiwa tersebut.

"Benar terjadi peristiwa itu, ada bangunan yang dirusak dan dibakar oleh massa berjumlah 200 orang tidak ada korban jiwa," kata Donny kepada wartawan, Jumat (3/9/2021).

Akibat penyerangan ini, kata Donny, bangunan masjid tersebut rusak lantaran dilempar dan dibakar oleh massa.

"Ada bangunan yang dirusak dan dibakar. Untuk masjidnya sendiri ada yang rusak karena dilempar. Sedangkan yang sempat terbakar adalah bangunan di belakang masjid," ujarnya.

Namun demikian, ia menyebutkan pihaknya telah menurunkan ratusan personel untuk berjaga.

Termasuk, mengamankan jamaah Ahmadiyah di sekitar lokasi.

"Saat ini personil gabungan TNI dan Polri berjumlah lebih dari 300 personel sudah berada di TKP.  Kita fokus mengamankan Jamaah Ahmadiyah yang berjumlah 72 orang atau 20 KK dan bangunan masjid. Situasi sudah terkendali, massa sudah kembali," tukasnya.

Penyimpangan Ahmadiyah

Saat masih menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma'ruf Amin mengatakan, hal prinsip yang membedakan antara Islam dengan Ahmadiyah adalah masalah kenabian.

''Karena Ahmadiyah menganggap ada nabi setelah Nabi Muhammad. Itu suatu pendapat yang tidak boleh dipersoalkan lagi," kata Ma'ruf Amin kepada BBC Indonesia pada 2018 silam.

Sosok yang diyakini Ahmadiyah sebagai nabi penerus setelah Nabi Muhammad SAW adalah Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah.

Diimbuhkan oleh Ma'ruf Amin bahwa perbedaan prinsip ini tidak lagi dalam wilayah yang dapat ditoleransi.

"Dalam kesepakatan seluruh umat Islam di dunia, tajdid (pembaruan) itu boleh tapi gerakan sifatnya. Tapi kalau tajdid itu kemudian mengatakan ada nabi sesudah Nabi Muhammad, itu menyimpang.

"Itu melampaui batas pengertian tajdid. Ketika terjadi penyimpangan, harus diluruskan. Kecuali dia tidak membawa nama Islam."

Peneliti Ahmadiyah dari FISIP Universitas Merdeka Malang dan penulis buku Marginalisasi dan Keberadaban Masyarakat, Catur Wahyudi mencatat ada tiga aspek yang menjadikan Ahmadiyah kontroversial dan dinilai menyimpang dari Islam arus utama:

"Ahmadiyah dinilai tidak memiliki konsistensi dalam syahadat Islam, akibat keyakinannya terhadap sosok Mirza Ghulam Ahmad yang diposisikannya sebagai nabi, padahal Islam mainstream memandang Muhammad SAW adalah khatamul nabiiyin (nabi mutakhir)," jelas Catur Wahyudi, dosen FISIP Universitas Merdeka Malang.

Kendati demikian, tambahnya, Ahmadiyah memposisikan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai nabi penerus yang tidak membawa risalah, dan wahyu yang diterimanya dimaknai sebagai penjelasan dari risalah Nabi Muhammad.

Dalam penelitiannya, Catur Wahyudi mencatat dalam bersyahadat, "pernyataan yang dikumandangkan sama dengan golongan Islam arus utama, demikian pula kumandang saat Adzan dan termasuk pula dalam bacaan sholat menyangkut kesaksian/syahadah."

Alasan kedua mengapa Ahmadiyah dianggap kontroversial, menurut Catur Wahyudi, "Fakta dimana Mirza Ghulam Ahmad mendakwahkan diri sebagai Imam Mahdi dan al Masih al Mau'ud (Imam Mahdi yang dijanjikan) juga menjadi bagian perdebatan dan menjadi perbedaan yang mendasar dengan Islam mainstream yang pada umumnya masih menunggu kehadiran Imam Mahdi dan al Masih al Mau'ud, yang dipahaminya sebagai sosok dari Isa AS."

Hal yang sama juga diakui oleh Fareed Ahmad, Sekjen Nasional Hubungan Masyarakat Jemaah Muslim Ahmadiyah Inggris, organisasi induk Ahmadiyah internasional.

Menurutnya, Mirza Ghulam Ahmad merupakan nabi penerus dan Imam Mahdi.

Faktor ketiga mungkin timbul akibat pemahaman yang keliru.

Kumpulan wahyu yang disebutkan diterima oleh Mirza Ghulam Ahmad oleh penganutnya dibukukan setelah beliau wafat ke dalam Tadhkirah atau kadang ditulis Tazdkirah.

Sebagian umat Islam menganggapnya sebagai kitab suci Ahmadiyah, jelas Catur Wahyudi.

Juru bicara JAI, Yendra Budiandra, menepis pandangan bahwa Tazdkirah adalah kitab suci bagi Ahmadi.

"Alquran adalah kitab suci komunitas Muslim Ahmadiyah yang wajib dibaca dan menjadi pegangan hidup, sementara Tazdkirah sifatnya seperti buku-buku Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as lainnya yang dianjurkan dibaca, tetapi bukan kitab suci seperti dalam konteks kitab suci agama-agama," tegasnya.

Oleh karenanya, menurut Yendra Budiandra, Muslim Ahmadi tidak diwajibkan memiliki atau membacanya setiap hari, berbeda dengan Alquran.

(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved