Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Saldo Rekening Ratri Langsung Isi Rp 13,5 Miliar, Bonus Medali Paralimpiade Tokyo dari Presiden

Saldo rekening Ratri langsung berisi Rp. 13,5 miliar, bonus medali dari presiden yang diraihnya pada Paralimpiade Tokyo 2021

Penulis: Fernando Sihombing | Editor: Ariestia
ISTIMEWA
Saldo rekening Ratri langsung berisi Rp. 13,5 miliar, bonus medali dari presiden yang diraihnya pada Paralimpiade Tokyo 2021. FOTO: Atlet asal Riau Leani Ratri Oktila mendapatkan bonus atas prestasi medali pada Paralimpiade Tokyo 2021. 

TRIBUNPEKANBARU.COM, KAMPAR - Saldo rekening Ratri langsung berisi Rp. 13,5 miliar, bonus medali dari presiden yang diraihnya pada Paralimpiade Tokyo 2021.

Ini adalah catatan transaksi pertama pada buku rekening, atlet bernama lengkap Leani Ratri Oktila itu.

Buku rekening BRI berisi belasan miliar itu diterima Ratri, Jumat (17/9/2021).

"Baru diterima di istana tadi pagi," ungkap Ratri menjawab Tribunpekanbaru.com saat ditanya bonus yang diberikan Presiden Joko Widodo.

Atlet Parabadminton kelahiran Desa Siabu, Kecamatan Salo Kabupaten Kampar ini meraih dua medali emas dan satu medali perak di ajang olahraga bagi kaum difabel level tertinggi dunia itu.

Bonus yang diberikan Rp. 5,5 miliar untuk satu medali emas. Dari medali emas, Ratri menerima bonus Rp. 11 miliar. Ditambah Rp. 2,5 miliar bonus untuk satu medali perak. Sehingga totalnya Rp. 13,5 miliar.

"Luar biasa Pak Presiden. Terima kasih Pak Presiden," kata Ratri.

Kisah Leani Ratri Menuju Juara Dunia Parabadminton, Sempat Berniat Gantung Raket Setelah Kecelakaan

Kisah Leani Ratri Oktila menuju juara unia parabadminton, ternyata sempat berniat untuk gantung raket setelah kecelakaan.

Juara Dunia Parabadminton, Leani Ratri Oktila pernah mengalami peristiwa menyakitkan di awal kiprahnya saat menapaki ajang nasional paling bergengsi.

Ia mengalami kecelakaan lalu lintas hingga membuatnya cacat permanen tahun 2010 silam.

Dua tahun lagi, Ratri akan menjajal Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII Riau tahun 2012.

Kecelakaan itu nyaris mengubur impian Ratri menjadi atlet berkelas dunia.

Cidera patah kaki dan tangan sempat membuatnya akan gantung raket.

Tetapi ia akhirnya bangkit dan menjadi atlet Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) Riau 2012.

"Saya sempat hilang harapan. Nggak mau latihan lagi. Tapi papa terus menyemangati saya," ujar Ratri kepada Tribunpekanbaru.com, Kamis (2/5/2019) lalu.

Ayah dan ibu foto bersama foto Ratri dan koleksi medali Ratri di rumahnya di Desa Siabu Kecamatan Salo, Senin (5/9/2021).
Ayah dan ibu foto bersama foto Ratri dan koleksi medali Ratri di rumahnya di Desa Siabu Kecamatan Salo, Senin (5/9/2021). (Istimewa)

Kakak Ratri, Nofive Maria Oktila menceritakan kisah pahit Ratri kepada Tribunpekanbaru.com, Senin (5/9/2021).

Kecelakaan itu saat Ratri mengendarai sepeda motor menuju Pekanbaru.

Ratri akan berangkat ke Pekanbaru untuk mengikuti pelatihan daerah persiapan PON Riau.

Kecelakaan itu terjadi di Jalan Lintas Riau-Sumatera Barat, sekitaran Markas Batalyon Infanteri 132/Bima Sakti, Salo.

Belum jauh dari rumah orangtuanya, kampung halamannya, Desa Siabu Kecamatan Salo.

Ratri bertabrakan dengan mobil yang akan belok ke sebuah rumah makan.

"Kaki dan tangan adek Atri patah," katanya mengisahkan.

Ratri kemudian dibawa ke rumah dan dirawat sendiri oleh ayah dan ibunya, F. Mujiran dan Gina Oktila beserta keluarga.

Menurut Maria, kebetulan ayahnya bisa mengobati penderita patah tulang.

Mujiran mengobati Ratri dengan tangannya dan tidak ingin membiarkan putri keduanya itu berobat secara medis.

"Papa sambil nangis mengurut Atri. Antara tega dan tidak tega," kata Maria.

Selama tujuh bulan lamanya, Ratri hanya berdiam di rumah tanpa aktivitas.

Sampai Ratri benar-benar pulih. Tetapi menyisakan cacat permanen.

Musibah ini sangat mengejutkan dan menyakitkan.

Betapa tidak, Ratri mestinya menjadi atlet PON.

Kiprahnya sebagai atlet badminton sudah dijajakinya sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Ayah dan ibu Ratri juga sangat terpukul.

Impian menjadi kontingen PON untuk cabang olahraga Bulu Tangkis kala itu sirna.

Lanjut Maria, suatu ketika datang orang menawarkan Ratri masuk kategori difabel.

"Papa sempat nggak terima. Tapi Ratri bilang semoga musibah membawa berkah. Akhirnya papa dukung," tutur Maria. Sejak saat itu, Ratri terus berlatih giat dan jadilah Paralimpian seperti sekarang.

Sosok Leani Ratri Oktila

Sosok Leani Ratri Oktila, peraih tiga medali cabang olahraga parabadminton di Paralimpiade Tokyo, yaitu dua medali emas dan satu medali perak.

Dua medali emas yang berhasil diraih oleh Leani Ratri Oktila merupakan hasil juara kategori ganda putri yang ia dapatkan bersama Khalimatus Sadiyah.

Sementara satu medali emas lainnya diraih Leani Ratri Oktila yang berpasangan dengan Hary Susanto pada nomor ganda campuran.

Selain itu, Leani Ratri Oktila berhasil meraih medali perak pada kategori tunggal putri.

Atas capaian prestasi yang ditorehkan oleh Leani Ratri Oktila, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan pujian dan apresiasi melalui akun Instagram miliknya @jokowi.

"Tak ada yang bisa menghentikan Leani Ratri Oktila mendulang medali untuk Indonesia di Paralimpiade Tokyo. Kemarin, ia mempersembahkan medali emas dari bulutangkis ganda putri. Hari ini, dua medali ia raih di dua final," tulis Jokowi pada Minggu (5/9/2021).

Jokowi menambahkan keterangan raihan prestasi Leani Ratri Oktila.

"Medali emas direbutnya dari ganda campuran bersama Hary Susanto. Lalu di pertandingan sebelumnya Leani Ratri Oktila meraih medali perak di tunggal putri.

"Dengan demikian Leani sudah menyumbang dua medali emas dan satu perak untuk Indonesia," lanjut tulisan caption Jokowi.

Pada bagian terakhir, Jokowi memberikan selamat kepada atlet peraih medali emas, Leani Ratri Oktila dan Hary Susanto.

"Sekali lagi selamat kepada Leani Ratri Oktila dan Hary Susanto," lanjutnya.

Sore Ini Leani Ratri main 3 nomor di final APG 2018.
 Leani Ratri Oktila. (Tribun Pekanbaru/Rino Syahril)

Dilansir dari laman resmi Kemenpora, Leani Ratri Oktila layak menyandang ratu para-badminton Indonesia.

Perempuan yang berhasil menyumbangkan dua medali emas dan satu medali perak pada Paralimpiade Tokyo 2020 tersebut berasal dari Siabu, Bangkinang, Kampar, Provinsi Riau.

Leani Ratri Oktila lahir di Kampar Riau pada 6 Mei 1991.

Atlet Indonesia tersebut merupakan juara dunia para badminton di tiga nomor.

Tiga nomor yang dipertandingkan Leani Ratri yakni tunggal putri, ganda putri, dan ganda campuran.

Debut prestasi Leani Ratri mampu diraih selama dua tahun berturut-turut 2018 dan 2019 sebagai atlet Para Badminton putri terbaik oleh Federasi Badminton Dunia (BWF).

Untuk sampai di puncak prestasi tidaklah mudah.

Leani Ratri Oktila memulai karir badminton sejak usia 8 tahun.

Awalnya, Leani Ratri Oktila terlahir normal.

Namun, pada Februari 2011, Leani Ratri mengalami kecelakaan motor.

Kecelakaan itu menyebabkan kaki kiri dan tangan kanannya patah.

Ia divonis mengalami gangguan permanen.

Kaki kirinya sekarang lebih pendek 11 sentimeter daripada kaki kanannya.

Kondisi itulah membuat Leani Ratri masuk kategori SL4.

Diketahui, ternyata setiap pertandingan, Leani Ratri selalu membawa bendera Merah Putih di dalam tasnya.

Hal tersebut dilakukan sebagai motivasi untuk dirinya agar mampu mengibarkan bendera Merah Putih di podium tertinggi pertandingan yang diikutinya.

Ternyata kebiasaan membawa bendera sang Merah Putih diajarkan oleh ayahnya sejak kecil.

Dengan dorongan dari sang Ayah, bernama F.Mujiran, Leani Ratri menjadi atlet yang disiplin dan pekerja keras.

Hal tersebut dibuktikan saat latihan yang selalu datang tepat waktu dan sering menambah porsi latihannya sendiri.

Ayah Kenang Raket Pertama hingga Rumah Ambruk 

Bupati Kampar video call dengan Leani Ratri Oktila saat mengunjungi kediaman orang tua sang atlet. Ayah Ratri minta dibangunkan lapangan badminton.
Kolase orangtua Leani Ratri Oktila dan Bupati Kampar. (Istimewa)

Leani Ratri Oktila lahir dari keluarga sangat sederhana.

Ratri demikian sapaan akrabnya, lahir di Desa Siabu, Kecamatan Salo, Kabupaten Kampar Riau.

Tribunpekanbaru.com sempat berbincang dengan ayah dan ibu Ratri saat berkunjung ke kediaman mereka pada Senin (5/9/2021).

Fransiskus Mujiran dan Gina Oktila, ayah dan ibu Ratri menyambut hangat kala ditemui di rumah.

Rumah masa kecil Ratri memiliki pekarangan yang ditanami pepohonan cukup rindang. Suasana desa sangat kental di sekitar rumah ini.

Rasa bangga tak terhingga tampak di wajah Mujiran dan Gina dengan capaian Ratri.

"Nggak nyangka, anak sampai ke tingkat dunia. Waktu Ratri menelepon (meraih medali emas), saya nangis," tutur Mujiran dengan haru bangganya.

Pria 68 tahun ini kemudian menunjukkan raket pertama Ratri. Raket itu dipajang di ruang tamu.

Mujiran berkisah dibeli seharga Rp 650.000. Senilai Rp 500.000 yang didapat Ratri dari Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN).

Ditambah Rp 150.000 dari gaji Mujiran. "Daripada beli beras, mendingan beli raket ini," kata Mujiran.

Ratri mengikuti O2SN tahun 2003 di tingkat provinsi dan 2004 di tingkat nasional saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).

"Makanya mau dibeli berapapun, nggak akan saya jual," kata Mujiran.

Di rumah itu, terpajang sangat banyak medali. Koleksi Ratri sendiri dan saudara-saudara kandungnya. Medali pertama mereka sampai yang diraih Ratri di ajang internasional dikumpulkan di rumah ini.

Tersohor adalah tiga medali emas milik Ratri dari ASEAN Paragames di Singapura tahun 2015. Ada dua medali emas dari Asian Paragames di Indonesia tahun 2018.

Bahkan ada medali dari ajang internasional lain seperti di Jepang, Korea, Dubai dan sebagainya.

Mujiran menunjukkan satu medali yang sangat bersejarah bagi Ratri.

Medali emas itu diraih pada Peparnas XVI Riau tahun 2012. Di ajang ini, Ratri menjadi paralimpian pertama sekali setelah bangkit dari kecelakaan lalu lintas 2011 silam.

Medali itu juga menyimpan kisah tentang bonus Peparnas. Mujiran sempat pesimis Ratri bakal mendapat bonus dari prestasi di Peparnas itu karena pergantian kepala daerah.

"Saya kira nggak keluar bonus karena presiden ganti. Ternyata keluar jugaRp 170 juta. Dapat rumah lagi," ucap Mujiran dengan penuh semangat.

Kecelakaan itu memang sempat membuat Mujiran dan Gina patah semangat. Ia takut Ratri berhenti dari dunia badminton.

Kecelakaan itu terjadi setahun jelang Pekan Olahraga Nasional XXVIII Riau 2012.

Ia menyembuhkan Ratri dengan tangannya sendiri. Ia mengurut luka patah kaki dan tangan putri keduanya itu.

Amat bersyukurnya Mujiran, ternyata musibah itu membawa berkah yang sangat luar biasa.

"Tuhan berkata lain. Anak saya bilang, musibah membawa berkah. Syukurlah Ndhuk (bahasa Jawa : panggilan untuk anak perempuan), kalau kamu berpikiran begitu," ujar Mujiran.

Musibah yang dialami Ratri hanyalah satu dari beragam kesulitan dilalui keluarga ini. Walau hidup di dalam kesederhanaan, tetapi dari keluarga ini pula para atlet badminton lahir.

Mujiran dan Gina membangun keluarga bahagia dengan segudang prestasi.

Sembari menunjuk ke arah Nofive Maria Oktila, kakaknya Ratri, putri pertama mereka.

Maria juga memiliki koleksi medali dari ajang tingkat kabupaten hingga provinsi yang juga dipajang di rumah itu.

Pasangan Mujiran dan Gina memiliki 10 anak, yaitu:

1. Nofive Maria Oktila

2. Leani Ratri Oktila

3. Neni Martian Oktila

4. Anonim Martila

5. Siska Minami Oktila

6. Riska Narijum

7. Ninik Nuryani

8. Angel Songo Songo

9. Awit Setiaji

10. Usi Okneti

Adik laki-laki Ratri yang mulai bersinar adalah Angel Songo Songo.

Angel didapuk sebagai kontingen atlet bulutangkis dari Riau ke PON Papua tahun ini.

Mujiran punya cerita tentang keluarga badminton ini. Sebenarnya ia semula lebih hobi sepak bola.

Tetapi kecelakaan sepeda motor mengurungkan niatnya meneruskan kiprah sebagai pesepak bola.

Ia sungkan meminjam raket dari teman. Mujiran takut juka raket yang dia pinjam patah dan tidak mempunyai uang untuk menggantinya.

Mujiran merantau ke Desa Siabu tahun 1986 silam. Dua tahun kemudian, ia menikahi Gina Oktila yang terpaut usia 12 tahun lebih muda darinya.

Perkawinan mereka dikaruniai 10 orang anak. Delapan putri dan dua putra.

Mujiran dan Gina membangun keluarga sangat sederhana dan tinggal di sebuah rumah kayu. Delapan anak mereka lahir di rumah itu. Sampai akhirnya ambruk diterjang badai pada 2017.

Keduanya masih ingat betul letak di mana delapan putra putrinya itu lahir. Mujiran menunjuk satu titik lahan kosong tanpa sisa bangunan, tepat posisi kamar Gina bersalin.

Dua anak mereka yang terakhir, lahir di rumah beton. Letaknya di rumah pertama.

Rumah beton bercat oranye itu sebenarnya mulai dibangun sejak 1992 itu, baru ditempati setelah rumah kayu ambruk.

Mujiran berkisah, Maria dan Ratri memang sudah menyukai banminton sejak anak-anak. Ia awalnya tidak begitu memaksa anak-anaknya itu bermain badminton.

Tetapi ia melihat Ratri memiliki bibit setelah berhasil menembus O2SN tingkat nasional di Jakarta tahun 2004.

"Baru adik-adiknya ikut. Kakak bisa naik pesawat (ke Jakarta)," kata Mujiran. Ratri memang hanya masuk delapan besar di O2SN Jakarta. Tetapi Mujiran melihat ada bibit atlet tertanam di diri Ratri.

"Saya lihat Ratri ada bibit. Baru saya paksa latihan. Ada teman-temannya cowok datang, saya suruh tanding. Ratri merasa pasti kalah lawan cowok. Tapi saya bilang, kalau kalah, kamu lari sampai kuburan," ujar Mujiran.

Ratri memberanikan diri. Takut dihukum berlari sampai ke kuburuan di desa itu, Ratri berjuang mengalahkan lawan berlatihnya.

"Bagi saya, teman-temannya Ratri itulah gurunya. Saya hanya mengarahkan saja," kata Mujiran. Ia menujukkan tempat latihan mereka sekeluarga di halaman rumahnya. Tempat itu dicor, tetapi sudah retak-retak.

Mujiran menerima banyak bantuan dari teman-temannya warga sekitar saat membuat tempat latihan. Ada yang menyumbang 9 sak semen, batu dan pasir.

Hingga kini, Mujiran tetap melatih putra putri Siabu bermain badminton di lapangan tempat lain yang dibuat baru. Ia memungut biaya latihan hanya Rp 50.000 per bulan untuk membayar listrik dan membeli shuttlecock.

Kakek dua cucu ini berharap Siabu akan melahirkan atlet badminton seperti Ratri. Ia mengakui, kebanyakan anak didiknya mundur dari badminton setelah SMA.

Menurut Mujiran, kunci prestasi adalah tau, mampu dan mau. Tetapi kunci utamanya adalah mau berlatih. Jika sudah tau, kemampuan akan terpupuk selama berlatih.

Gina Oktila, ibu Ratri, berharap yang sama. Tak mesti dari keluarga besarnya, misalnya adik-adik keponakan Ratri. "Kami juga mau anak-anak di sini juga penerus Ratri," katanya.

Wanita 54 tahun ini selalu mendukung kegiatan badminton di Siabu. Bersama sang suami, ia semampunya memfasilitasi kebutuhan berlatih. (Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com)

(Tribunpekanbaru.com/Fernando Sihombing)

Berita Leani Ratri Oktila

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved