SBY Curhat Lagi, Kini Yusril Ihza Mahendra Ikut Membantu Kubu Moeldoko Gugat AD/ART Demokrat
residen RI ke-6 Ini lewat akun Twitternya @SBYudhoyono mencuitkan soal penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Kisruh antara Partai Demokrat dan penantangnya belum juga usai.
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali curhat di media sosial.
Presiden RI ke-6 Ini lewat akun Twitternya @SBYudhoyono mencuitkan soal penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
Cuitan ini muncul setelah ramai 4 kader Partai Demokrat menggugat AD/ART Demokrat ke Mahkamah Agung (MA).
Empat orang mantan kader yang tergabung dalam kubu Moeldoko itu mengajukan judicial review terhadap AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020
Keempat kader yang berada di kubu KLB Moeldoko ini dibantu oleh pengacara kawakan Yusril Ihza Mahendra.
Nama Yusril Ihza Mahendra pun makin ramai dibicarakan karena kepiawaiannya di bidang hukum dan tata negara.
Banyak memprediksi gugatan tersebut akan dimenangkan. Kader demokrat pun langsung menyerang Yusril Ihza Mahendra
Dalam artikel dilansir Kompas.com menyebutkan SBY: Mungkin Hukum Bisa Dibeli, tapi Tidak untuk Keadilan
Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkapkan perumpamaan bahwa uang dapat membeli banyak hal, tetapi tidak seluruhnya.
"Money can buy many things, but not everything. Mungkin hukum bisa dibeli, tapi tidak untuk keadilan," kata SBY dalam akun Twitternya, Senin (27/9/2021).
Adapun Kompas.com telah mendapat izin dari DPP Partai Demokrat untuk mengutip cuitan SBY tersebut.
Lebih lanjut, SBY dalam cuitan yang sama juga mengungkapkan bahwa dirinya masih percaya pada integritas para penegak hukum.
"Berjuanglah agar hukum tidak berjarak dengan keadilan," tulis Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu.
Pernyataan SBY dalam akun Twitter itu berhenti sampai di situ. Tak ada lanjutan pernyataan yang dituliskan SBY untuk menjelaskan apa maksud dari cuitan tersebut.
Tanggapan Kubu KLB
Juru Bicara kubu Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang Muhammad Rahmad mengaku sependapat dengan Presiden keenam RI, SBY yang berbicara soal hukum dan keadilan melalui akun Twitter miliknya.
Rahmad mengatakan, judicial review atas AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung (MA) merupakan bentuk upaya kubu KLB dalam menegakkan hukum dan keadilan.
"Kami sangat setuju dengan cuitan Pak SBY bahwa hukum harus ditegakkan dan keadilan juga harus ditegakkan, hukum dan keadilan tidak boleh ada jarak," kata Rahmad dalam keterangan tertulis, Senin (27/9/2021).
"Langkah yang dilakukan kader kader Demokrat bersama kuasa hukum mereka, Pak Yusril Ihza Mahendra adalah dalam upaya menegakkan hukum dan menegakkan keadilan," ujar Rahmad.
Ia mengatakan, upaya tersebut ditempuh agar AD/ART sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Partai Politik.
Upaya mengajukan JR ke MA, kata Rahmad, juga agar Partai Demokrat dikembalikan kepemilikannya kepada rakyat Indonesia sebagaimana cita-cita pendiri.
Oleh karena itu, Rahmad meminta semua pihak, termasuk SBY dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk menghormati lembaga Mahkamah Agung.
"Siapa pun tidak boleh membangun narasi menyesatkan, apalagi mengarahkan tuduhan seakan akan hukum dan keadilan berada ditempat yang berbeda. Itu adalah narasi sesat dan pikiran sesat," kata Rahmad.
Yusril Bantu Judicial Review AD/ART Demokrat
Sebelumnya, Yusril membenarkan bahwa kantor hukum mereka IHZA&IHZA LAW FIRM SCBD-BALI OFFICE mewakili kepentingan hukum empat orang anggota Partai Demokrat mengajukan judicial review ke MA.
Judicial Review dimaksud meliputi pengujian formil dan materil terhadap AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 yang telah disahkan Menkumham tanggal 18 Mei 2020.
Oleh karena AD/ART sebuah parpol baru dinyatakan sah dan belaku setelah disahkan Menkumham, maka Termohon dalam perkara pengujian AD/ART Partai Demokrat Menteri Hukum dan HAM.
Yusril mengatakan, bahwa langkah menguji formil dan materil AD/ART Parpol merupakan hal baru dalam hukum Indonesia.
Keduanya mendalilkan bahwa MA berwenang untuk menguji AD/ART Parpol karena AD/ART dibuat oleh sebuah parpol atas perintah undang-undang dan delegasi yang diberikan Undang-Undang Partai Politik.
"Nah, kalau AD/ART Parpol itu ternyata prosedur pembentukannya dan materi pengaturannya ternyata bertentangan dengan undang-undang, bahkan bertentangan dengan UUD 1945, maka lembaga apa yang berwenang untuk menguji dan membatalkannya?," kata Yusril dalam keterangannya, Kamis (23/9/2021).
Yusril mengatakan bahwa ada kevakuman hukum untuk menyelesaikan persoalan di atas.
Mahkamah Partai yang merupakan quasi peradilan internal partai, tidak berwenang menguji AD/ARD.
Begitu juga Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perselisihan internal parpol yang tidak dapat diselesaikan oleh Mahkamah Partai, tidak berwenang menguji AD/ART.
Pengadilan TUN juga tidak berwenang mengadili hal itu karena kewenangannya hanya untuk mengadili sengketa atas putusan tata usaha negara.
"Karena itu saya menyusun argumen yang Insya Allah cukup meyakinkan dan dikuatkan dengan pendapat para ahli antara lain Dr Hamid Awaludin, Prof Dr Abdul Gani Abdullah dan Dr Fahry Bachmid, bahwa harus ada lembaga yang berwenang menguji AD/ART untuk memastikan apakah prosedur pembentukannya dan materi muatannya sesuai dengan undang-undang atau tidak," ucapnya.
"Sebab penyusunan AD/ART tidaklah sembarangan karena dia dibentuk atas dasar perintah dan pendelegasian wewenang yang diberikan oleh undang-undang," lanjutnya.
Yusril dan Yuri mengatakan bahwa kedudukan Parpol sangatlah mendasar dalam kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan negara.
Dia menyebut ada enam kali kata partai politik disebutkan di dalam UUD 1945. Ada puluhan kali partai politik disebut di dalam undang-undang, bahkan ada undang-undang khusus yang mengatur partai politik, seperti yang sekarang berlaku yakni UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dengan perubahan-perubahannya.
Lembaga-lembaga seperti Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi malah tidak satu kalipun disebut di dalam UUD 1945.
Yusril menjelaskan, di dalam UUD 1945 disebutkan antara lain bahwa hanya partai politik yang boleh ikut dalam Pemilu Legislatif (Pileg), hanya partai politik yang boleh mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.
Usai Pemilu, fraksi-fraksi partai politik memainkan peranan besar dalam mengajukan dan membahas RUU, membahas calon duta besar, Panglima TNI dan Kapolri, Gubernur BI, BPK, KPK dan seterusnya.
Di daerah, sebelum ada calon independen, hanya partai politik yang bisa mencalonkan Kepala Daerah dan Wakilnya. Begitu partai politik didirikan dan disahkan, partai tersebut tidak bisa dibubarkan oleh siapapun, termasuk oleh Presiden. Partai politik hanya bisa dibubarkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.
"Nah, mengingat peran partai yang begitu besar dalam kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan negara, bisakah sebuah partai sesuka hatinya membuat AD/ART? Apakah kita harus membiarkan sebuah partai bercorak oligarkis dan monolitik, bahkan cenderung diktator, padahal partai adalah instrumen penting dalam penyelenggaraan negara dan demokrasi?," ucapnya.
"Jangan pula dilupakan bahwa partai-partai yang punya wakil di DPR RI itu juga mendapat bantuan keuangan yang berasal dari APBN yang berarti dibiayai dengan uang rakyat. Saya berpendapat jangan ada partai yang dibentuk dan dikelola suka-suka oleh para pendiri atau tokoh-tokoh penting di dalamnya yang dilegitimasi oleh AD/ARTnya yang ternyata bertentangan dengan undang-undang dan bahkan UUD 1945," lanjutnya.
Yusril melanjutkan, MA harus melakukan terobosan hukum untuk memeriksa, mengadili dan pemutus apakah AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 bertentangan dengan undang-undang atau tidak.
Apakah perubahan AD/ART dan pembentukan AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 telah sesuai dengan prosedur yang diatur oleh undang-undang atau tidak.
Apakah materi pengaturannya, seperti kewenangan Majelis Tinggi yang begitu besar dalam Partai Demokrat, sesuai tidak dengan asas kedaulatan anggota sebagaimana diatur dalam UU Partai Politik?
"Apakah wewenang Mahkamah Partai dalam AD/ART yang putusannya hanya bersifat rekomendasi, bukan putusan yang final dan mengikat sesuai tidak dengan UU Partai Politik? Apakah keinginan 2/3 cabang Partai Demokrat yang meminta supaya dilaksanakan KLB baru bisa dilaksanakan jika Majelis Tinggi setuju, sesuai dengan asas kedaulatan anggota dan demokrasi yang diatur oleh UU Parpol atau tidak? Demikian seterusnya sebagaimana kami kemukakan dalam permohonan uji formil dan materil ke Mahkamah Agung," ujarnya.
Yusril mengatakan Menteri Hukum dan HAM memang diberi kewenangan untuk mensahkan AD/ART partai politik ketika partai itu didirikan dan mengesahkan perubahan-perubahannya.
Namun sebagai pejabat yang hanya bertugas untuk mengesahkan, Menteri Hukum dan HAM biasanya dalam posisi tidak enak untuk memeriksa terlalu jauh materi pengaturan AD/ART partai politik yang diajukan kepadanya.
Apalagi menteri tersebut juga berasal dari partai politik tertentu.
Menurutnya, Menkumham tidak boleh punya kepentingan terhadap AD/ART sebuah partai yang diminta untuk disahkan.
Jadi urusan prosedur pembentukan dan materi pengaturannya memang lebih baik diuji formil dan materil oleh Mahkamah Agung.
Sehingga jika seandainya MAmemutuskan AD/ART itu bertentangan dengan UU, maka Menkumham sebagai Termohon tinggal melaksanakan saja amar putusan MA, dengan mencabut Keputusan Pengesahan AD/ART partai tersebut.
"Kami berpendapat bahwa pengujian AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung ini sangat penting dalam membangun demokrasi yang sehat di negara kita. Bisa saja esok lusa akan ada anggota partai lain yang tidak puas dengan AD/ARTnya yang mengajukan uji formil dan materil ke Mahkamah Agung. Silahkan saja," ucapnya.
"Sebagai advokat, kami bekerja secara profesional sebagai salah satu unsur penegak hukum di negara ini sesuai ketentuan UU Advokat. Bahwa ada kubu-kubu tertentu di Partai Demokrat yang sedang bertikai, kami tidak mencampuri urusan itu. Urusan politik adalah urusan internal Partai Demokrat. Kami fokus kepada persoalan hukum yang dibawa kepada kami untuk ditangani," tandasnya.
Partai Demokrat Menyayangkan Keputusan Yusril Bantu Kubu Moeldoko
Elite Partai Demokrat Rachland Nashidik menyoroti pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang mengaku netral dalam polemik AD/ART Partai Demokrat yang bakal digugat kubu Moeldoko ke Mahkamah Agung.
"Skandal hina pengambilalihan paksa Partai Demokrat oleh unsur Istana, yang pada kenyataannya dibiarkan saja oleh Presiden."
"Pada hakikatnya adalah sebuah krisis moral politik, dan orang yang mengambil sikap netral dalam sebuah krisis moral, sebenarnya sedang memihak pada si kuat dan si penindas," katanya dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Jumat (24/9/2021).
Politikus Partai Demokrat Andi Arief mengatakan, Yusril Ihza Mahendra sedang membangun fiksi terhadap SK Menteri Hukum dan HAM terkait beberapa pasal AD/ART Demokrat dan menyebut Yusril inkonsisten.
"Bukan terobosan hukum, tetapi Prof @Yusrilihza_Mhd sedang membangun fiksi terhadap SK Menkumham soal beberapa pasal AD/ART yang sudah disahkan resmi oleh negara.
Dalam waktu dekat tim hukum Partai Demokrat akan menjawab dan siap menghadapi," kata Andi Arief lewat akun twitternya @Andiarief_, dikutip Jumat (24/9/2021).
Yusril melalui Juru Bicaranya, Jurhum Lantong meresponsnya.
Jurhum menyebut para Elit Demokrat tersebut justru terkesan takut terkait persoalan AD/ART yang akan digugat.
"Entah apa yang membuat elit Partai Demokrat terkesan seolah begitu dibuat ketakutan alias ‘paranoid’ ketika Yusril Ihza Mahendra merilis judicial review Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga atau AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung sesuai mandat yang telah diberikan 4 orang anggota Partai Demokrat melalui firma hukum miliknya," ujarnya dalam keterangan yang diterima, Minggu (26/9/2021).
"Pertanyaannya, bukannya judicial review yang baru saja diajukan masih dalam proses, belum ada putusan. Bukankah belum tentu judicial review Yusril juga dimenangkan? Kenapa takut duluan sih, ini jelas paranoid."
"Jangan-jangan mereka memang takut karena memang di AD/ART Demokrat memuat indikasi yang diulas Yusril cenderung oligarkis, monolitik dan cenderung represif, sehingga tidak menyediakan ruang demokratis bagi sirkulasi elit di dalamnya, jangan-jangan kekhawatiran yang disampaikan Yusril memang termuat di dalam AD/ART mereka?" ujar Jurhum Lantong.
Jurhum juga menyinggung terkait kemungkinan pertemuan Yusril dengan Moeldoko di 2021 hingga membuatnya berubah sikap.
Jurhum menilai, adalah hal yang wajar saat Yusril bertemu siapa pun yang meminta nasihat hukum.
"Andi mestinya paham, bukannya dengan siapa saja ia boleh bertemu, apalagi dengan klien misalnya, jika benar Moeldoko sebagai klien yang meminta nasihat hukum, atau dengan Andi sekali pun boleh saja Yusril bertemu, toh itu itu tak akan merubah sikap dan pandangan hukumnya," kata Jurhum.
"Andi mestinya fokus mempersiapkan argumen perlawanan hukum, biar judicial review ini perang argumen hukum yang mampu membuat rakyat cerdas, bukan berakrobat kata apalagi menyerang pribadi Yusril," tambahnya.
Sementara soal netralitas yang diperkarakan, Jurhum mempertanyakan dalam posisi dan pengertian apa netral yang dimaksud.
"Yusril bukan hakim yang memutuskan perkara, apalagi menjabat posisi tertentu di pemerintahan yang menangani masalah hukum, sebagai pengacara yang professional bukankah Yusril punya kewajiban mengakomodir hak-hak politik kliennya secara etika profesi yang dipegangnya?"
"Tentu dengan cara memberikan alternatif langkah hukum yang masuk akal, terlebih klien yang diwakilinya juga punya legal standing untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Agung? Lalu dimana letak netralitas yang dimaksud Rachland?" ujar Jurhum.
Oleh karena itu, menurutnya, wajar saja, jika Yusril merasa kritik-kritik itu bernada penyerangan terhadap dirinya selaku pribadi.
Kritik-kritik itu tidak menyasar substansi perkara yang tengah dia advokasi, yakni AD/ART PD.
"Kalau Yusril bilang itu jurus mabuk, saya mau bilang itu jurus asal bunyi, alias asbun," tambah Jurhum.
Artikel ini telah tayang di TribunManado.co.id dengan judul Yusril Ihza Mahendra Bantu Kubu Moeldoko Gugat AD/ART Demokrat, SBY Curhat Lagi, https://manado.tribunnews.com/2021/09/28/yusril-ihza-mahendra-bantu-kubu-moeldoko-gugat-adart-demokrat-sby-curhat-lagi?page=all