Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Harga Sawit Meroket Tapi Pupuk Dibanderol Selangit Bikin Petani Menjerit, Anggota DPR RI Meradang

Di tengah kenaikan harga sawit pekan ini yang meroket, di sisi lain pupuk dibanderol selangit, petani menjerit bikin anggota DPR RI Achmad meradang

Penulis: Nasuha Nasution | Editor: Nurul Qomariah
TRIBUNPEKANBARU.COM/NASUHA NASUTION
Anggota DPR RI asal Riau, Drs H Achmad MSi soroti harga pupuk yang selangit meski harga TBS sawit meroket. 

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Di tengah kenaikan harga sawit pekan ini yang meroket pekan ini, yang mencapai Rp 3.114,41 per Kg, di sisi lain pupuk dibanderol selangit, petani menjerit bikin anggota DPR RI Achmad meradang.

Anggota DPR RI Dapil Riau Achmad mengatakan, rasio kenaikan harga pupuk sudah di atas ambang normal, bahkan kenaikan harga pupuk sudah sangat tidak terkontrol.

Petani sawit mengeluhkan dan kelabakan dengan tingginya harga pupuk sepanjang enam bulan terakhir.

Akibatnya, biaya produksi ikut membengkak, kendati harga TBS sawit sedang naik namun petani tidak bisa merasakannya.

"Laporan dari petani sawit di 26 provinsi penghasil sawit yang saya terima, kenaikan harga pupuk ini merata baik NPK dan tunggal. Kalau harga pupuk tidak terkendali, biaya produksi dipastikan naik signifikan,"ujar Achmad.

Menurut Achmad, penjualan pupuk tidak hanya terkait keketersediaan tapi juga keterjangkauan dan berharap Pupuk Indonesia (BUMN) menjadi penyeimbang bukan malah pemicu naiknya pupuk secara nasional.

Faktanya pupuk dari produsen BUMN ini lebih tinggi kenaikannya dibandingkan non-BUMN.

"Saya selaku Anggota DPR RI dari Riau, yang merupakan provinsi terluas sawitnya, yaitu 4,172 juta hektare dari 16,381 juta hektare se-Indonesia prihatin dengan kondisi miris dan tak beraturan ini,"ujar Achmad.

Dengan kondisi ini, lanjut Achmad, diharapkan pemerintah harus mengevaluasi harga pupuk yang tidak beraturan kenaikan harganya, ujar Politisi Demokrat ini berharap.

"Kenaikan harga pupuk sebaiknya seimbang dengan kenaikan harga TBS, jangan pula melampaui rasio kenaikan harga TBS saat ini,” urainya.

“Pupuk itu sangat penting bagi petani jangan malah menjadi beban karena pupuk itu pemicu produksi bukan penghambat produksi,"imbuh Achmad.

Kenaikan ini terjadi untuk harga pupuk loco gudang seperti terjadi di Riau.

Contohnya, harga pupuk NPK Pelangi Pupuk Kaltim (BUMN) naik 72% dari Rp5490/kg menjadi Rp7.500/kg.

Pupuk NPK Mahkota Wilmar naik sekitar 69% dari Rp5.400/kg menjadi Rp7.790/kg. Data ini menggambarkan kenaikan pupuk lebih tinggi di BUMN.

Achmad menjelaskan pupuk berkontribusi 55-60% bagi komponen biaya produksi petani. Kalau terus naik, petani akan bangkrut.

Walaupun, harga TBS sawit sedang tinggi.

"Dari informasi kami kumpulkan, harga pupuk naik sudah dari produsen bukan dimainkan distributor,” ujarnya.

“Alasan mereka terjadi kenaikan harga bahan baku yang sebagian besar diimpor. Pertanyaan kami, bahan baku apa yang naik?" imbuh Achmad dengan nada bertanya.

Tidak hanya di Riau, di daerah lain seperti laporan petani Sumut, harga pupuk NPK naik menjadi Rp11.000/kg.

Di Mukomuko, Bengkulu, harga KCL semula tertinggi Rp 280 ribu per sak, sekarang sudah mencapai Rp 490 ribu per sak dan pupuk urea sudah mencapai Rp 390 ribu per saknya.

Sementara itu di Kalimantan Selatan, harga pupuk NPK formula 15-15-15 juga naik antara Rp7.500-Rp8.500/kg.

Achmad menjelaskan kenaikan harga pupuk tentunya meningkatkan biaya produksi (HPP).

Biaya pemupukan ini di perkebunan kelapa sawit menyerap 60% dari total rata-rata biaya produksi. Berat memang.

Kenaikan pupuk ini, sudah terjadi sejak Februari 2021, trendnya cenderung selalu naik setiap bulan.

Achmad juga menyampaikan, terkait persoalan tersebut, ia akan mempertanyakan ke beberapa produsen pupuk terkhusus ke BUMN.

Meskipun dari informasi yang beredar bahwa, seperti dari produsen pupuk Wilmar/Sentana (Pupuk Mahkota), Pupuk Kaltim dan Petrokimia, semua mengatakan kenaikan harga dikarenakan naiknya harga bahan baku dari luar negeri.

"Pupuk kimia yang mereka produksi sekarang bahan bakunya sebagian besar berasal dari impor. Pertanyaannya apakah demikian? Apakah Dollar naik,"ujarnya.

Dari pantauannya di lapangan, memang kenaikan harga TBS bulan Juli sangat tidak berarti bagi petani sawit, sekalipun harga TBS naik secara signifikan.

Di mana setiap kenaikan harga TBS Rp.100/Kg, maka kenaikan itu akan di ikuti oleh naiknya harga pupuk sebesar Rp 75/kg.

Selama bulan Juli di Riau, kenaikan harga TBS rata-rata Rp 300/Kg.

Artinya kenaikan itu hanya menyisakan Rp.75/kg ke petani.

Achmad mengungkapkan, kenaikan harga pupuk ini juga berlangsung di semua provinsi.

"Kami meminta pemerintah dapat segera turun tangan untuk membantu kendalikan harga pupuk non subdisi khususnya kepada petani sawit. Sebab, petani sawit tidak pernah mendapatkan alokasi pupuk bersubsidi. Dalam arti, harus berjuang dengan biaya sendiri untuk memperoleh pupuk berkualitas bagus,"ujarnya.

Tingginya harga TBS sebenarnya momentum bagi petani untuk meningkatkan kualitas produksi dan kesejahteraannya.

"Kalau harga pupuk terus meroket. Ya tentunya petani tidak akan dapat menikmati kenaikan harga TBS tersebut. Dan ini berpotensi akan membuat petani sawit bangkrut.”ujarnya.

( Tribunpekanbaru.com / Nasuha Nasution )

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved