Video Berita
VIDEO: Intip Kehebatan Pesawat Tempur Prancis Dassault Rafale yang Diborong Indonesia
Belanja Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) TNI menjadikan Indonesia patut disegani di ASEAN. Sejumlah Pesawat Tempur dan persenjataan canggih
TRIBUNPEKANBARU.COM - Belanja Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) TNI menjadikan Indonesia patut disegani di ASEAN.
Sejumlah Pesawat Tempur dan persenjataan canggih lain dibeli untuk memperkuat kedaulatan RI.
Indonesia memutuskan berbelanja alutsista berupa jet tempur buatan Prancis, Dassault Rafale.
Pesawat tempur generasi 4.5 itu akan digunakan TNI AU untuk menggantikan sejumlah jet tempur yang sudah uzur.
Keputusan itu diambil salah satunya karena dinamika situasi pertahanan dan keamanan di kawasan Asia Pasifik.
Hal itu menjadi salah satu faktor Indonesia menggenjot modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Menariknya, dalam waktu bersamaan, pemerintah Amerika Serikat mengumumkan menyetujui penjualan 36 unit jet tempur F-15 dan berbagai peralatan militer lainnya senilai hampir 14 miliar dollar AS atau sekitar Rp 200 triliun kepada Indonesia.
Persetujuan penjualan F-15 tersebut terjadi ketika AS terus berupaya untuk menahan pengaruh China di kawasan Indo-Pasifik.
Jika terwujud, Indonesia menjadi negara kedua di Asia Tenggara yang memiliki F-15 setelah Singapura.
F-15 adalah jet tempur multiperan buatan Boeing yang berbasis di AS.
Dalam situs resminya, Boeing menyebutkan bahwa F-15 generasi terbaru menawarkan berbagai teknologi termutakhir termasuk kokpit canggih, radar AESA, perangkat peperangan elektronik digital, komputer misi cepat, dan sensor modern.
Sejauh ini, hanya ada tujuh negara yang mengoperasikan F-15. Ketujuh negara tersebut adalah AS, Jepang, Israel, Korea Selatan, Arab Saudi, Singapura, dan Qatar.
Di Asia Tenggara, baru Singapura yang mengoperasikan F-15.
Flight Global melaporkan, Singapura mempunyai 100 unit F-15.
Dari jumlah tersebut, 40 unit adalah varian F-15SG sedangkan 60 unit adalah varian F-16C/D.
Sedangkan untuk Indonesia, varian yang disetujui AS untuk dijual kepada Jakarta adalah F-15ID.
Kendati telah mengumumkan potensi penjualan 36 unit F-15ID ke Indonesia, keputusan tersebut bukan berarti negosiasi telah rampung.
Keseimbangan kekuatan di ASEAN
Apa pun itu, jika pembelian Rafale dan F-15 terwujud, keseimbangan kekuatan di ASEAN dipastikan berubah.
Beberapa negara regional akan jauh di depan dalam kekuatan angkatan udara mereka sementara beberapa negara lain tetap tertinggal.
Saat ini, selain Singapura, kekuatan udara negara-negara di Asia Tenggara masih relatif seimbang.
Sebut saja Malaysia yang agak "terseok" dengan hanya mengandalkan segelintir Sukhoi 30, Mig 29, dan F-18 Hornet yang jumlahnya tidak banyak dan bermasalah dengan kesiapan tempurnya.
Atau, misalnya, kekuatan udara Thailand yang hanya bertumpu pada F-16A/B seri awal dan Gripen buatan Swedia.
Meski tergolong agak baru, pesawat bermesin tunggal ini dinilai sebagian pengamat tidak sekuat F-15 maupun Rafale.
Kini, beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Thailand juga berusaha menyeimbangkan kekuatan.
Kementerian Thailand telah menyetujui untuk mengalokasikan dana USD 413,7 juta untuk membeli empat jet tempur F-35 Joint Strike Fighter.
Sedangkan Malaysia, semakin tertinggal di belakang.
Penggantian jet tempur mereka baru akan dilakukan Malaysia pada tahun 2035 dan 2040.
Pembelian Rafale dan rencana akuisisi F-15 memang menimbulkan pro dan kontra.
Bahkan ada yang mempertanyakan kenapa uangnya tidak dibelikan obat dan vaksin.
Termasuk ada yang menyatakan bahwa saat ini Indonesia tidak dalam situasi akan berperang, apalagi kini tengah pandemi.
Padahal jika memotret perkembangan global, kita bisa melihat kejadian penting terkait keamanan dunia terjadi justru saat pandemi.
Sebut saja perang Azerbaijan Vs Armenia dan potensi perang di perbatasan Ukraina dan Rusia.
Itu belum jika kita menambahkan sikap agresif China di Laut Natuna.
Pengamat: Tak bisa hanya lewat diplomasi
Langkah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menambah kekuatan pertahanan dengan memboyong 42 Jet Tempur Rafale produksi Prancis menuai apresiasi.
Kebijakan tersebut dianggap menambah daya gentar (detterent) di kawasan Asia Tenggara, terutama dalam mengawasi wilayah udara RI yang sangat luas dan menghadapi ketegangan di Laut China Selatan (LCS).
"Situasi di Natuna Utara solusinya memang dengan modernisasi senjata, tidak bisa hanya dengan diplomasi saja. Dengan menunjukkan kita punya persenjataan itu, China pasti jadi pikir-pikir untuk berurusan," ujar pengamat militer, Beni Sukadis saat dihubungi di Jakarta, Jumat (11/2/2022).
"Kita jadi semakin disegani. Apalagi, setahu saya, Pak Prabowo pesan ini berikut senjatanya karena selama ini kita tidak punya senjata," imbuh dia.
Beni menilai, kehadiran Rafale di Angkatan Udara (AU) Indonesia sudah cukup untuk mengejar ketertinggalan selama ini. Dari sisi kemampuan mesin, lanjut dia, sama-sama double engine dan punya kemampuan multiroles.
"Artinya, tidak hanya bisa difungsikan sebagai pesawat tempur saja, tapi bisa juga bomber dan memiliki kemampuan jammer dari pesawat lain. Kecanggihan perang elektroniknya sudah lengkap," ujarnya.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia tertinggal dari Singapura dalam jumlah pesawat tempur. Berdasarkan data Global Fire Power 2021, Singapura memiliki 100 pesawat tempur, sedangkan Indonesia hanya 41 unit.
Beni menambahkan, pertahanan Indonesia bakal semakin menguat seiring adanya rencana Indonesia mengakuisisi dua kapal selam (kasel) Scorpene dari Naval Group, yang juga perusahaan berbasis di Prancis.
Keputusan Indonesia memboyong alutsista asal Prancis juga dianggap tepat dalam menghadapi situasi geopolitik saat ini.
Alasannya, "Negeri Mode" secara teknologi dan strategis merupakan mitra yang tepat dalam upaya pengadaan alutsista Tanah Air.
"Prancis dikenal sebagai negara yang memiliki kemandirian dalam hal produksi alutisista dan mereka mau bekerja sama dalam skema offset (timbal balik dagang dalam pembuatan spare part pesawat atau kerja sama lainnya)," jelasnya.
"Dan yang lebih penting lagi, Prancis walaupun negara NATO, tapi (kebijakan) polugri (politik luar negeri) lebih netral dalam isu-isu sensitif, seperti menolak invasi AS di Irak dan lainnya," tandas Beni.