Banyak Utang dan Suka Impor, Sri Lanka Akhirnya Bangkrut, PM Mengundurkan Diri
Inflasi tinggi terjadi karena negara itu mengimpor sebagian besar barang-barang penting yang menjadi kebutuhan rakyatnya.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Sri Lanka mengalami krisis ekonomi yang sangat parah. Negara itu tak mampu membayar utang sebesar 5 miliar dolar atau sekitar Rp 732 triliun.
Krisis ekonomi terjadi karena negara itu tak mampu mengendalikan inflasi yang tinggi.
Inflasi tinggi terjadi karena negara itu mengimpor sebagian besar barang-barang penting yang menjadi kebutuhan rakyatnya.
Selain itu mereka juga ketergantungan dengan hasil ekspor yang saat ini semakin menurun.
Di saat kacaunya kondisi perekonomian, rakyat Sri Lanka pun mendesak pemerintahan Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa mundur.
Mahinda Rajapaksa yang juga abang dari Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa pun mundur.
Pria berusia 76 tahun itu mengatakan kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya tampaknya tidak memuaskan kubu oposisi.
Pengunduran diri, menurut Rajapaksa, diniatkan untuk mendorong terbentuknya pemerintahan yang terdiri dari semua partai demi menuntun negara itu keluar dari krisis ekonomi.
Sri Lanka mengalami krisis ekonomi terburuk sejak meraih kemerdekaan dari Inggris pada 1948.
Pemerintah bahkan meminta warganya yang berada di luar negeri untuk mengirimkan uang ke dalam negeri demi memenuhi kebutuhan bahan pangan dan bahan bakar.
Cadangan devisa Sri Lanka telah habis dan tidak lagi bisa menopang kebutuhan rakyat, seperti makanan pokok, obat-obatan, dan bahan bakar.
Para dokter di Sri Lanka mengatakan sudah banyak rumah sakit kehabisan obat-obatan dan persediaan penting karena krisis ekonomi negara itu memburuk.
Kondisi ini membuat berang sebagian masyarakat mengingat kebutuhan hidup sehari-hari tak lagi terjangkau.
Pemerintah menyalahkan pandemi Covid yang mematikan sektor pariwisata.
Namun, sejumlah pakar menilai pemerintah salah kelola ekonomi.
(*)
