MANTAN Kepala Badan Intelijen Strategis TNI: Bukan Polisi Tembak Polisi, tetapi Polisi Lawan Mafia
Soleman Ponto menduga ada sesuatu hal yang masih ditutup-tutupi dalam kasus kematian Brigadir Yosua tersebut.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais TNI), Soleman Ponto menjelaskan soal pemeriksaan Ferdy Sambo.
Menurutnya, seharusnya Ferdy Sambo diputuskan dulu soal pidananya baru masuk ke pelanggaran etik.
"Bagaimana memutuskan pelanggaran etik sedangkan pidananya aja belum ada?"tanya dia heran.
Menurutnya, pelanggaran etik itu di bawah peraturan kapolri (Perkap) atau peraturan pemerintah. Sedangkan pidana itu menurut Undang-undang. Maka sebaikanya Ferdy Sambo diselesaikan dulu soal dugaan pidananya baru masuk ke etik.
"Kenapa tidak langsung dipidana?" pungkasnya.
Soleman Ponto menduga ada sesuatu hal yang masih ditutup-tutupi dalam kasus kematian Brigadir Yosua tersebut.
Melalui channel Youtube Refly Harun, Soleman Ponto juga m emberikan pandangannya atas tewasnya Brigadir J.
Menurut Dia, peristiwa ini bukan lagi Polisi tembak Polisi, tetapi Polisi lawan mafia.
Hal itu dikatakan Ponto menanggapi beredarnya kebohongan dan hilangnya barang bukti serta alibi yang sengaja dibuat.
"Polisi melawan Mafia, bukan lagi polisi lawan polisi di rumah polisi," kata Soleman Ponto, Senin (8/8/2022).
Ia menyebut beberapa alasan adanya indikasi mafia dalam peristiwa tewasnya Brigadir J di rumah Ferdy Sambo. "Setelah membunuh orang, TKP dibersihkan. Lalu barang bukti dihilangkan, TKP 3 hari dibersihkan," jelas Ponto.
Ia juga mengakui belum adanya barang bukti seperti baju terakhir yang dipakai Brigadir J, HP, senjata yang dipakai untuk menembak, serta CCTV.
Soleman juga mengatakan bahwa adanya alibi Ferdy Sambo sedang PCR di luar, sebagai alibi yang disiapkan layaknya proses kerja mafia.
"Mereka membuat alibi, bapak Sambo PCR di luar rumah. Lalu ada berita bohong, Kompolnas mengatakan adanya tembak-menembak, karena bela diri, lalu Bharada E disebut ahli tembak. Ada juga cerita menembak dari atas tangga makanya dia tidak kena," papar Ponto.
Padahal Polisi bilang itu bukan bela diri, sehingga pernyataan bela diri yang diungkap ke publik sebagai berita bohong.
Dikatakan juga bahwa Bharada E ahli menembak, padahal LPSK bilang bukan ahli, bahkan pistolnya baru diberikan bulan November 2021. Lalu katanya tembakan mengenai sasaran karena posisi lebih tinggi, dari atas tangga.
Tapi Komnas HAM merilis bahwa saat ada tembakan ada yang bersembunyi di balik kulkas.
Jadi pada peristiwa tersebut jelas tidak ada bela diri, tak ada tembak-menembak mungkin malah ditembak.
Bharada E bukan jago tembak, juga bukan ajudan, tapi sopir.
"Jadi 4 persyaratan mafia terpenuhi, makanya kita harus membantu Polisi membersihkan mafia dalam tubuh Polisi," kata Ponto.
Menanggapi unggahan tersebut pengacara Brigadir J meminta Panglima TNI untuk membantu menyelesaikan kasus di Kepolisian.
"Mohon kepada yth. Panglima TNI untuk melibatkan TNI AD, TNI AL & TNI AU untuk membantu Polri guna melawan Mafia itu," kata Kamaruddin Simanjuntak.
Alasan Bharada E Menembak Brigadir Yosua
Pengacara Bhayangkara Dua Richard Eliezer atau Bharada E, Deolipa Yumara, mengungkapkan alasan kenapa kliennya tidak menolak saat diperintahkan atasannya untuk menembak Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Menurut dia, di kepolisian, Bharada E sebagai bawahan harus patuh terhadap perintah atasannya.
"Ya namanya kepolisian, dia harus patuh perintah sama atasan. Kita juga kalau jadi karyawan patuh perintah sama pimpinan kita kan, sama sajalah," ujar Deolipa, Senin (8/8/2022) malam.
Deolipa menjelaskan, aturan bahwa bawahan harus patuh terhadap atasan tertuang dalam Peraturan Polri (Perpol).
Dalam aturan itu disebutkan, di kepolisian, bawahan bekerja atas perintah atasan.
"Ada peraturan kepolisian yang bekerja dari bawahan menerima perintah dari atasan," ucapnya.
Pengacara Bharada E lainnya, Muhammad Boerhanuddin, sebelumnya menyebutkan bahwa atasan langsung dari Bharada E ada di lokasi kejadian saat Brigadir J tewas ditembak.
"Ada di lokasi memang," ujar Boerhanuddin, Senin (8/8/2022).
Boerhanuddin ogah menjelaskan secara gamblang siapa atasan Bharada E yang dimaksud.
Namun yang pasti, kata Boerhanuddin, atasan itu adalah atasan di mana Bharada E bertugas.
"Atasannya kan kita sudah bisa reka-reka siapa atasannya. Atasan kedinasan, yang di tempat lokasinya," tuturnya.
Boerhanuddin mengatakan, Bharada E mendapat tekanan untuk menembak Brigadir J.
Dia kembali enggan menyebutkan nama dari atasan Bharada E.
"Iya betul (ada perintah). Disuruh tembak. 'Tembak, tembak, tembak'. Begitu," ucap Boerhanuddin.
Proses Kasus Irjen Ferdy Sambo Dosorot Mantan Kabais TNI
Di sisi lain, Isteri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, untuk pertama kalinya muncul di depan publik sejak kasus tewasnya Brigadir Yoshua, atau Brigadir J muncul ke media.
Pada Minggu (7/8) sore, Putri Candrawathi mengunjungi sang suami, Irjen Ferdy Sambo di Mako Brimob Depok.
Meksipun tidak diizinkan masuk dan bertemu sang suami, tapi Putri Sambo menyebut dirinya akan terus mendukung sang suami, dan ikhlas menghadapi situasi saat ini.
Sebagaimana diketahui, Mantan Kadiv Propam, Irjen Ferdy Sambo, sejak Sabtu 6 Agustus 2022 lalu menjalani pemeriksaan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, dan ditahan selama 30 hari ke depan.
Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo menyampaikan, Irjen Ferdy Sambo diduga melanggar etik, terkait olah TKP kasus kematian Brigadir Yoshua, atau Brigadir J.
Sementara, Menko Polhukam Mahfud Md ikut berkomentar mengenai status Irjen Ferdy Sambo, yang menjalani pemeriksaan di Mako Brimob.
Mahfud menyebut Sambo tidak hanya melanggar etik terkait penanganan TKP, tapi juga terkait hukum pidana, karena termasuk menghalangi penegakan hukum, atau obstruction of justice.

 
			
 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											 
											