Solidaritas Golkar untuk Setya Novanto yang Baru Bebas dari Penjara
Pada April 2018, Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 15 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan uang pengganti.
TRIBUNPEKANBARU.COM - Keputusan pembebasan bersyarat Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI yang terjerat kasus korupsi e-KTP, kembali menjadi pusat perdebatan publik.
Setya Novanto dikenal sebagai politikus senior dari Partai Golongan Karya (Golkar) yang memiliki karier panjang dan sering kali menjadi sorotan publik.
Sebelum terjun ke dunia politik, Setya Novanto juga dikenal sebagai pengusaha.
Ia membangun karier bisnis di berbagai bidang, termasuk peternakan, logistik, kontraktor bangunan, hingga perhotelan.
Di satu sisi, para pegiat antikorupsi dan akademisi melontarkan kritik keras, menganggap langkah ini mencederai semangat pemberantasan korupsi.
Di sisi lain, Partai Golkar justru pasang badan, membela mati-matian mantan ketua umum mereka.
Sikap kontras ini menunjukkan bagaimana kasus Setya Novanto masih terus membelah opini, bahkan di internal partai yang menaunginya.
"Jadi bukan soal pantas atau tidak pantas. Tapi, memang itu hak yang memang dimiliki yang dia lakukan.
Dia menjalankan haknya saja," ujar Wakil Ketua Umum Golkar, Ahmad Doli Kurnia, saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (18/8/2025).
Ia menegaskan bahwa Golkar tidak mengintervensi proses hukum.
“Kami hanya menghormati keputusan hukum yang berlaku. Kalau sudah diputuskan oleh lembaga resmi, ya kami terima,” katanya.
Baca juga: Lamborghini Hancur di Tol Kunciran: Pengemudi Ugal-ugalan Diduga Jadi Biang Kerok
Baca juga: Kini Sudah Bebas, INILAH Kontroversi Setya Novanto: Bebas Keluar Masuk Sel, Benjolan Bakpao
Setya Novanto atau Setnov merupakan terpidana kasus korupsi proyek e-KTP Kemendagri tahun anggaran 2011–2013, yang merugikan negara Rp2,3 triliun dari total anggaran Rp5,9 triliun.
Ia menerima gratifikasi berupa 7,3 juta dolar AS dan sebuah jam tangan mewah Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS.
Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Juli 2017, sempat menang praperadilan, namun kembali ditetapkan pada November dan ditahan setelah sempat menghilang dan mengalami kecelakaan mobil.
Pada April 2018, Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 15 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan uang pengganti.
Hak politiknya dicabut selama lima tahun.
Tanpa mengajukan banding atau kasasi, Setnov kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) yang dikabulkan Mahkamah Agung pada Juni 2025.
Hukuman dipotong menjadi 12 tahun 6 bulan. Ia juga menerima remisi total 28 bulan 15 hari, sehingga dinyatakan memenuhi syarat administratif dan substantif untuk bebas bersyarat.
Namun, pembebasan ini menuai kritik dari berbagai pihak.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyebutnya sebagai “kado buruk bagi pemberantasan korupsi.”
Ia menilai keputusan ini bertolak belakang dengan pidato Presiden Prabowo yang menjanjikan komitmen besar melawan korupsi.
“Janji Presiden terasa hambar ketika dunia penegakan hukum kita justru bermain dengan hukuman bagi pelaku yang sudah divonis,” ujarnya.
Lucius menyebut ironi ini sebagai “suguhan tak lucu” di tengah perayaan HUT ke-80 RI. “Kita pun jadi makin sadar, bahwa omongan paling berani soal pemberantasan korupsi bisa jadi tinggal omon-omon saja,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa jika pemerintah serius, maka tak boleh ada revisi, amnesti, atau pembebasan bersyarat bagi koruptor. “Dengan pembebasan bersyarat Novanto ini, jalan menuju pembebasan bangsa dari korupsi nampaknya semakin jauh,” pungkasnya.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyebut pembebasan Setnov sebagai “tamparan bagi gerakan antikorupsi.”
Ia menilai bahwa meskipun secara hukum sah, secara moral keputusan tersebut mencederai rasa keadilan masyarakat.
Mantan penyidik KPK, Praswad Nugraha, mengingatkan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa.
“Pesan yang tersampaikan justru berbahaya: bahwa korupsi bisa dinegosiasikan,” tegasnya.
Senada, Yudi Purnomo Harahap menyoroti dampak pencabutan PP No. 99/2012 yang membuka celah bagi koruptor non-justice collaborator untuk tetap mendapat remisi. Ia menekankan pentingnya kesadaran moral hakim.
“Korupsi adalah pengkhianatan terhadap bangsa,” pungkasnya.
Meski sah secara hukum, publik bertanya: apakah keadilan cukup ditegakkan lewat prosedur semata?
Korupsi tetap menjadi luka terbuka dalam demokrasi kita—dan setiap kompromi hanya memperdalamnya
Lamborghini Hancur di Tol Kunciran: Pengemudi Ugal-ugalan Diduga Jadi Biang Kerok |
![]() |
---|
Dr Tifa Bandingkan Fisik Jokowi yang Menua dan Prabowo yang Makin Muda: Padahal Beda Usia 10 Tahun |
![]() |
---|
Makna Mendalam di Balik Lirik Lagu Takicuah Mangko Ka Tau Dinyakan Indah Delvia |
![]() |
---|
2 Buku Ilmu Sosial dan Budaya Dasar ISBD Paling Banyak Dicari, Tersaji Materi dan Link PDF Buku ISBD |
![]() |
---|
Cek Fakta PLN Bagikan Token Listrik Rp 500.000 Gratis: Waspada Link Pishing |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.