Pilpres 2019

Tim Hukum 02 Nilai Pemerintahan Jokowi Bergaya Otoriter Orde Baru, Represif pada Masyarakat Sipil

Editor: Budi Rahmat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tim Hukum 02 Nilai Pemerintahan Jokowi Bergaya Otoriter Orde Baru, Represif pada Masyarakat Sipil

Tim Hukum 02 Nilai Pemerintahan Jokowi Bergaya Otoriter Orde Baru, Represif pada Masyarakat Sipil

TRIBUNPEKANBARU.COM- Pola kepemimpinan Presiden Jokowi dinilai otoriter dengan caranya yang represif pada masyarakat Sipil.

Ciri lainnya adalah korupsi yang massif pada zaman kepemimpinan Jokowi.

Anggota Tim Hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Teuku Nasrullah, menyebut saat ini muncul pendapat bahwa Pemerintahan Presiden Joko Widodo cenderung berkarakteristik otoriter seperti masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Hal itu menjadi salah satu argumen yang digunakan tim hukum 02 untuk memperkuat dugaan adanya kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif selama proses Pilpres 2019.

"Berkait dengan pemerintahan yang otoriter dan Orde Baru itu, melihat cara memerintah Presiden Joko Widodo, telah muncul pendapat bahwa pemerintahannya adalah Neo-Orde Baru, dengan korupsi yang masih masif dan pemerintahan yang represif kepada masyarakat sipil sebagai cirinya," ujar Nasrullah dalam sidang pendahuluan sengketa pilpres di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019).

Nasrullah mengatakan, potensi kecurangan pemilu yang dilakukan presiden petahana akan lebih kuat terjadi jika karakteristik pemerintahan yang dibangunnya adalah pemerintahan yang cenderung otoriter.

Lantas, Nasrullah mengutip pendapat Guru Besar Hukum dan Indonesianis dari Melbourne University Law School, Profesor Tim Lindsey.

Dalam artikel berjudul, “Jokowi in Indonesia’s ‘Neo-New Order’" Profesor Tim berpendapat dengan pengaturan sistem politik yang masih buruk, maka pemenang pemilu akan cenderung bertindak koruptif untuk mengembalikan biaya politiknya yang sangat mahal.

Beberapa sifat otoritarian yang muncul dalam Pemerintahan Jokowi dianggap adalah pola Orde Baru, seperti tindakan represif kepada kelompok masyarakat yang kritis dan para aktivis antikorupsi. Kendati demikian, Nasrullah tidak memaparkan fakta-fakta lain untuk memperkuat pandangan tersebut.

"Lebih jauh, Profesor Tim berpandangan, untuk menyenangkan kelompok pemodal (oligarki), maka Presiden Jokowi akan mengambil langkah keras kepada kelompok Islam, pilihan kebijakan yang akan membatasi kebebasan berpendapat, dan membuatnya berhadapan dengan kelompok masyarakat sipil," kata Nasrullah.

Selain itu, Nasrullah juga mengutip pendapat kandidat Doktor dari Australian National University, Tom Power.

Dalam makalahnya di Konferensi tahunan “Indonesia Update” di Canberra, Australia, Tom Power menyoroti bahwa hukum kembali digunakan oleh pemerintahan Jokowi untuk menyerang dan melemahkan lawan politik. Proteksi hukum juga ditawarkan sebagai barter kepada politisi yang mempunyai masalah hukum.

"Hal lain, adalah menguatnya lagi pemikiran dwi fungsi militer. Hal-hal tersebut bagi Tom Power adalah beberapa karakteristik otoritarian Orde Baru yang diadopsi oleh pemerintahan Jokowi," tutur Nasrullah. 

Soroti Penyumbang 01

Sidang sengketa hasil Pilpres 2019 sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi, JUmat (14/6/2019).

Dalam sidang tersebut tim pemohon menjabarkan materi kepada majelis hakim

Ketua tim hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyoroti sumbangan dana kampanye pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin saat sidang pendahuluan sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019).

Bambang menilai, terdapat ketiaksesuaian antara total harta kekayaan pribadi Jokowi dengan besaran dana kampanye yang disumbangkan.

Ia menjelaskan, berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) Joko Widodo yang diumumkan KPU pada 12 April 2019, tercatat total harta kekayaan mencapai Rp 50 miliar dengan kas dan setara kas sebanyak Rp 6 miliar.

Kemudian, dalam Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye 25 April 2019 menunjukkan sumbangan pribadi Jokowi berbentuk uang mencapai Rp 19,5 miliar dan berupa barang sebesar Rp 25 juta.

"Menjadi janggal ketika kas dan setara kas di dalam Harta Kekayaan pribadi Joko Widodo berdasarkan LHKPN hanya berjumlah Rp 6 Miliar, tertanggal 12 April 2019, mampu menyumbang ke rekening kampanye Rp 19 Miliar pada 25 April 2019. Dalam waktu 13 hari bertambah Rp 13 Miliar," ujar Bambang saat membacakan permohonan sengketa.

Bambang juga menyoroti adanya sumbangan dari perkumpulan Golfer TRG sebesar Rp 18.197.500.000 dan perkumpulan Golfer TBIG sebesar Rp 19.724.404.138.

Ia mengutip hasil temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 9 Januari 2019 yang menduga perkumpulan Golfer TRG dan perkumpulan Golfer TBIG adalah dua perusahaan milik Wahyu Sakti Trenggono, yakni PT Tower Bersama Infrastructure dan Teknologi Riset Global Investama.

Diketahui Wahyu Sakti Trenggono merupakan Bendahara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf.

Dalam analisis ICW, kata Bambang, patut diduga sumbangan dari dua perkumpulan tersebut bertujuan untuk mengakomodasi penyumbang yang tidak ingin diketahui identitasnya dan penyumbang perseorangan yang melebihi batas dana kampanye Rp 2,5 miliar.

Selain itu, Bambang menyoroti tiga kelompok penyumbang dana kampanye Jokowi-Ma'ruf, yaitu Wanita Tangguh Pertiwi, Arisan Wanita Sari Jateng dan Pengusaha Muda Semarang.

Masing-masing menyumbangkan dana kampanye sebesar Rp 5 miliar, Rp 15,7 miliar dan Rp 13 miliar Namun, Ia mengatakan, ketiga kelompok tersebut memiliki alamat, NPWP dan nomor identitas pimpinan kelompok yang sama.

"Sudah sangat jelas adanya kecurangan, dugaan menyamarkan sumber asli dana kampanye yang bertujuan memecah sumbangan agar tidak melebihi batas dana kampanye dari lelompok sebesar Rp 25 miliar," kata mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.(*)

Tim Hukum 02 Nilai Pemerintahan Jokowi Bergaya Otoriter Orde Baru, Represif pada Masyarakat Sipil

Berita Terkini