TRIBUNPEKANBARU.COM, KAMPAR - Mediasi antara warga Desa Siabu Kecamatan Salo dengan PT. Ciliandra Perkasa berjalan buntu, Rabu (6/8/2025).
Pertemuan difasilitasi Pemerintah Kabupaten Kampar di Kantor Dinas Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil (DisdagKUMK).
Guna merespon aksi unjuk rasa seribuan warga Siabu di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik perusahaan pada Senin (4/8).
Warga yang berada di bawah naungan Koperasi Siabu Maju Bersama (KSMB) memadati kantor DisdagKUMK.
Tetapi yang bisa masuk ke ruang pertemuan hanya beberapa perwakilan.
Roy Irawan, Pengacara KSMB yang ikut dalam pertemuan itu, mengungkap utusan perusahaan bukan dari jajaran direksi yang dapat mengambil keputusan.
Sementara pihak masyarakat dihadiri para tokoh setempat dan Ketua KSMB, Surya Rinaldi.
Menurut dia, perusahaan tidak bersedia memberikan kepada masyarakat lahan di Desa Siabu yang dikuasainya.
Meski memiliki total Hak Guna Usaha (HGU) 3.787 hektare dan dugaan yang berada di luar HGU.
Baca juga: Seribuan Warga Siabu Kampar Serbu Pabrik Sawit Ciliandra: Kebun dari perusahaan Zonk!
Perusahaan kukuh dengan kebun kelapa sawit 600 hektare di Desa Bandur Picak Kecamatan Koto Kampar Hulu yang telah dibuka.
"Jadi perusahaan tetap tidak mau memberikan lahan yang dikuasainya di Siabu. Meski ada yang di luar HGU sekitar 2.846 hektare seperti diketahui masyarakat," katanya kepada Tribunpekanbaru.com.
Menurut dia, pertemuan diwarnai perdebatan panjang.
Kepala DisdagKUMK, Dendi Zulhairi yang memimpin rapat menekankan agar perusahaan mematuhi perjanjian pada 2017.
Perjanjian itu mewajibkan perusahaan memberi masyarakat Siabu kebun sawit dengan pola Koperasi Kredit Primer untuk Anggota (KKPA).
Perusahaan memberi kompensasi sebesar Rp500 juta per bulan sebelum kebun berproduksi.
Ia mengatakan, pihak perusahaan dimintai penjelasan soal hutang Rp100 miliar lebih.
Padahal kebun sudah terbangun sebelum KKPA berjalan dan dikelola sepenuhnya oleh perusahaan.
Hasil produksinya malah rugi, sehingga tidak cukup membayar cicilan kredit dan membiayai operasional.
Perusahaan membebankan hutang kepada koperasi untuk menutupi kekurangan setiap bulan.
"Pihak perusahaan tidak bisa menjawabnya dalam pertemuan itu. Alasannya nggak bawa data," katanya.
Sementara terkait kompensasi Rp500 juta, perusahaan hanya sanggup Rp60 juta.
"Beberapa tuntutan masyarakat tidak bisa dipenuhi perusahaan. Jadi mediasi tadi, dead lock. Nggak ada kesimpulan," katanya.
(Tribunpekanbaru.com/Fernando Sihombing)