Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Berita Regional

9 Ketua RT di Tangerang Dipecat Serentak, Warga Protes dan Demo di Kantor Lurah

Secara serentak, sembilan ketua RT di RW 001 Cipadu, Kota Tangerang, dipecat oleh pihak Kelurahan Cipadu, Kamis (18/9/2025).

Editor: Muhammad Ridho
Intan Afrida Rafni via Kompas.com
Spanduk tuntutan warga RW 01 lantaran diduga ikut andil dalam pemecatan RT di Cipadu. 

TRIBUNPEKANBARU.COM - Sebanyak 9 ketua RT dipecat oleh pihak Kelurahan Cipadu.

Pemecatan ini menimbulkan kekesalan dan aksi protes warga.

Sembilan ketua tersebut berada di RW 001 Cipadu, Kota Tangerang.

9 Ketua RT yang dipecat adalah RT 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 09, dan 10.

Pemecatan dilakukan melalui Surat Keputusan Lurah Cipadu Kecamatan Larangan Nomor: 148/ KEP-121 Tapem/2025 tentang Pemberhentian Ketua Rukun Tetangga (RT) Rukun Warga (RW) 001 Kelurahan Cipadu, Kecamatan Larangan, Kota Tangerang.

Warga protes lantaran pemecatan diduga dilakukan sepihak dan tidak melalui musyawarah dengan masyarakat.

Purwanto (45), seorang warga RT 02 RW 01 Kampung Poncol mengaku heran sembilan ketua RT dipecat serentak oleh pihak Kelurahan Cipadu

"Saya mengetahui pada 18 September 2025 di grup WhatsApp RT, bahwa ketua RT di lingkungan saya dipecat lurah. Padahal RT itu dipilih secara demokratis oleh warga," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (25/9/2025) lalu.

Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa sembilan Kketua RT ini dipecat lantaran ditemukan adanya Pelanggaran Pasal 21 Poin 1 Huruf e Peraturan Walikota Tangerang Nomor 24 Tahun 2015, berbunyi 'sebab-sebab lain yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan atau norma-norma kehidupan masyarakat'.

Menurut warga, alasan tersebut tidak mendasar.

Lantaran Lurah Cipadu, Dady Afiandi, tidak menjelaskan secara rinci norma apa yang dimaksud dan sudah dilanggar oleh para ketua RT tersebut.

Apalagi dalam keputusannya tersebut, masyarakat tidak dilibatkan untuk berdiskusi terlebih dahulu terkait pemecatan ini.

"Lurah tidak pernah menanyakan terlebih dahulu kepada warga, langsung melayangkan surat pemecatan yang bahkan ditandatangani camat," kata Hari Purwanto.

Oleh sebab itu, warga menilai keputusan yang diambil Lurah Cipadu semena-mena tanpa menanyakan terlebih dahulu kepada warga di lingkungan RT.

"Menyalahi aturan bahkan cenderung arogan, baik lurah maupun camat," imbuh dia.

 Spanduk tuntutan warga RW 01 lantaran diduga ikut andil dalam pemecatan RT di Cipadu. (Intan Afrida Rafni via Kompas.com)
Selain itu, pemecatan sembilan RT di RW 01 Cipadu juga diduga ada unsur malaadministrasi.

Dalam surat keputusan tertulis bahwa surat tersebut ditetapkan pada Senin, 29 September 2025.

Menurut Hari, tanggal tersebut tidak masuk akal karena hari ini baru tanggal 25 September.

"Ada juga kesalahan penanggalan surat menjadi mundur ke 29 September 2025, ini jelas malaadministrasi," jelas dia.

Atas pemecatan ini, warga menggelar aksi protes di kantor Kelurahan Cipadu, Rabu (24/9/2025).

Mereka membawa sejumlah tuntutan, antara lain menolak penonaktifan sepihak RT dan meminta pergantian ketua RW 01.

"RW ini diduga ikut menjadi pembisik ke Lurah sehingga Lurah tidak bijak mengambil keputusan," jelas dia.

Saat aksi dilakukan, Camat Cipadu Nasrullah, sempat menemui massa aksi.

Namun, warga kecewa karena lurah tidak hadir dengan alasan sedang mengikuti pelatihan di Pandeglang.

"Aksi ini bukan yang terakhir, ini baru langkah awal. Warga akan membawa persoalan ini ke DPRD Kota Tangerang, bahkan kalau perlu sampai ke tingkat nasional," ucap dia.

Hingga berita ini terbit, Kompas.com masih berusaha menghubungi pihak Kelurahan Cipadu, Kota Tangerang.

Terbaru, Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang telah membentuk tim khusus untuk menangani konflik terkait pemberhentian sembilan ketua RT di Kelurahan Cipadu, Kecamatan Larangan.

Kepala Bagian Humas Pemkot Tangerang, Mu'alim mengatakan, tim tersebut diturunkan langsung oleh Wali Kota Tangerang, Sachrudin.

"Pak Wali sudah terjunkan tim khusus untuk menyelesaikan persoalan tersebut," ujar Mu'alim saat dikonfirmasi, Jumat (26/9/2025).

Tim khusus ini terdiri dari Asisten Daerah (Asda) I, Inspektorat, Bagian Hukum, dan Bagian Tata Pemerintahan (Tapem).

Selain itu, Lurah Cipadu dan Camat Larangan juga telah dipanggil untuk memberikan keterangan terkait polemik pemecatan sepihak itu.

"Lurah dan camat sudah dipanggil, sudah dimintain keterangan. Terkait pemberhentian ketua RT bisa jadi nanti akan dievaluasi," kata dia.

Kasus lainnya, warga tiga desa di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, terancam terusir dari tanah kelahiran.

Tiga desa tersebut ialah Sukawangi, Sukamulya, dan Sukaharja, yang saat ini menjadi perhatian publik.

Desa Sukawangi masuk dalam kawasan hutan berdasarkan SK Kementerian Kehutanan 2014.

Sementara itu, dua desa lainnya, Sukamulya dan Sukaharja, lahannya menjadi sitaan terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terpidana Lee Darmawan alias Lee Chin Kiat.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, pun turun langsung menemui perwakilan warga dari tiga desa terdampak.

Dedi memastikan, dirinya telah memahami keresahan dan permasalahan yang dihadapi warga ketiga desa tersebut.

Ia menegaskan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat akan mendampingi warga.

"Semoga dalam waktu tidak terlalu lama, ada langkah-langkah taktis yang dibuat. Seluruh warga tenang saja, Gubernur bersama rakyat," ucap Dedi dalam keterangan tertulisnya pada Rabu (24/9/2025), melansir Kompas.com.

Baca juga: Copet Terekam Beraksi di Depan Gubernur, Kini Kembalikan Handphone Milik Korban usai Viral

Persoalan status tiga desa ini sebelumnya ramai diberitakan setelah diungkap Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDTT), Yandri Susanto, dalam rapat kerja bersama Komisi V DPR RI, Selasa (16/9/2025).

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMDesa) Jabar, Ade Afriandi, menjelaskan akar masalah dua desa bermula dari sengketa lahan sitaan BLBI.

Berdasarkan dokumen Desa Sukaharja, pada 1983, Lee Darmawan yang menjabat Direktur PT Bank Perkembangan Asia memberikan pinjaman Rp850 juta kepada PT Perkebunan dan Peternakan Nasional Gunung Batu.

Pinjaman ini dijaminkan dengan tanah adat seluas 406 hektar di Desa Sukaharja yang berbatasan langsung dengan Sukawangi.

"Tahun 1991, terdapat Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara No 1622 K/PID/1991, turunan dari Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam No 56Pid/B/1990/PN.JKT.BAR tentang Pidana Korupsi Tersangka Lee Darmawan KH alias Lee Chin Kiat, dan menyita lahan agunan PT Perkebunan dan Peternakan Nasional Gunung Batu. Tetapi luas tanah yang disita bertambah semula 406 hektar menjadi 445 hektar," katanya.

Tiga tahun kemudian, eksekusi dilakukan oleh Satgas Gabungan BI dan Kejagung.

Namun, hasil verifikasi di lapangan hanya menemukan sekitar 80 hektar.

Sebab masyarakat mengaku tidak pernah benar-benar menjual tanah mereka.

"Warga baru menerima tanda jadi, sementara nama penjual pun tidak dikenal," ucap Ade.

Ade menambahkan, persoalan kembali mencuat pada periode 2019-2022 saat Satgas BLBI bersama BPN mengeklaim 445 hektar lahan sitaan Lee Darmawan.

Semua proses administrasi tanah, mulai dari sertifikasi hingga pembayaran pajak, diblokir tanpa mengindahkan hasil verifikasi 1994 yang dilaporkan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Ia menilai, perbedaan angka luasan lahan agunan dengan sitaan menambah kejanggalan.

"Selain itu, luas lahan yang diagunkan awalnya 406 hektar, tapi dalam putusan kasus BLBI berubah jadi 450 hektar," katanya.

 Penampakan 11 rumah warga di Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor yang dijadikan jaminan bank. Suasana jalan dengan latar belakang gunung batu di wilayah Desa Sukaharja. (KOMPAS.com/PUTRA RAMADHANI ASTYAWAN)
Selain masalah BLBI, Ade juga menyoroti penetapan Desa Sukawangi sebagai kawasan hutan melalui SK Kementerian Kehutanan 2014.

Penetapan ini dinilai ganjil karena mencakup seluruh wilayah desa, termasuk fasilitas umum seperti kantor desa, jalan, dan masjid.

"Karena diarsir semua wilayah. Jadi akhirnya, termasuk kantor desa, jalan, masjid, itu dianggap harus dihutankan lagi," ucapnya.

Ia menegaskan, SK tersebut sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, ia menilai persoalan tiga desa ini perlu ditelusuri ulang secara historis dan kronologi, baik dari Kementerian Kehutanan maupun dari kasus BLBI.

"Kami juga perlu historis-kronologis dari Kementerian Kehutanan. Nah, itu yang Sukawangi."

"Kemudian yang BLBI karena BLBI ini kan sudah di pengadilan. Pertama memang tetap historis-kronologinya harus kami lengkapi," pungkas Ade.

( Tribunpekanbaru.com )

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved