Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Jikalahari Nilai Ada yang Dilanggar dari Pengesahan Perda RTRW Riau, Begini Penjelasannya

Jikalahari Riau menyebutkan Perda RTRW Riau justru menjadi polemik. Ada pihak yang memang mendesak disahkannya perda tersebut

Penulis: Nolpitos Hendri | Editor: Budi Rahmat
Net/OkClipArt
Ilustrasi 

Laporan Wartawan Tribun Pekanbaru, Nolpitos Hendri

TRIBUNPEKANBARU. COM, PEKANBARU - Jaringan Kerja Pengelamat Hutan Riau (Jikalahari) akan menggelar Seminar Mangembalikan Hutan Tanah untuk Rakyat bersempena Rapat Besar Anggota Jikalahari ke-8 di Hotel Pangeran tanggal 2 Juli mendatang.

Koordinator Jikalahari, Woro Supartinah kepada Tribunpekanbaru.com pada Jumat (29/6/2018) menyebut, seminar ini berkaitan dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wllayah Provinsi (RTRWP) Riau 2018-2038, yang telah diundangkan tanggal 8 Mei lalu.

Baca: Pengangkutan Sampah Zona I Diambil Alih DLHK Pekanbaru, Diperkirakan Hingga Oktober 2018

"Perda ini menjadi polemik di tengah masyarakat. Para pengusaha, khususnya yang tergabung dalam Kadin Riau bergembira, sebaliknya para aktivis dan sebagian akademisi menyesalkan diundangkannya Perda RTRWP tersebut," ungkap Woro.

Jikalahari menilai, kata Woro, Perda Nomor 10 Tahun 2018 melanggar peraturan perundang-undangan yang Iebih tinggi. Proses penerbitannya dipaksakan oleh segelintir elit dan pengusaha, lebih mementingkan aspek ekonomi untuk segelintir elit dan pengusaha dibanding perlindungan ruang ekologis dan ruang kelola masyarakat adat dan tempatan. Perda 10 tahun 2018 tersebut cacat secara formal maupun mater. 

Baca: Diskominfo Inhu Serah Terimakan Aplikasi E Nara Kepada BPKAD Inhu

"Dalam komposisinya, RTRW Provinsi Riau 2018-2038 yang terbagi dalam dua pola ruang, menunjukkan bahwa Perda tersebut lebih mementingkan aspek ekonomi dimana dari 9 juta hektar luas Provinsi Riau. Fungsi lindung hanya 945.532 hektar sedangkan fungsi budidaya mencapai 8.067334 hektar.

Luasan peruntukan seperti tersebut semakin memperkuat izin korporasi HTI dan Perkebunan yang sudah ada, dan memberikan ruang untuk terbitnya izin-izin baru," jelas Woro.

Baca: Dua Proyek Strategis di Riau Ini Terancam Batal Dilaksanakan Tahun 2018, Ini Penyebabnya

Padahal, kata Wori, selama ini keberadaan izin korporasi HTI dan perkebunan menjadi penyebab utama deforestasi dan konflik Iahan dengan masyarakat adat dan tempatan.

"Jikalahari melakukan pemantauan tutupan hutan alam tersisa di Riau pada 2017, melalui pantauan citra satelit Landsat 8, terjadi penurunan tutupan hutan alam seluas 224.602 hektar. Luas tutupan hutan alam Riau kini hanya 1.420.260 hektar berkurang dibandingkan 2015 seluas 1.644.862 hektar dan 2013 12.005.512,96 hektar," beber Woro.

Deforestasi ini, ulas Woro, diperkirakan 56 persen berada dalam areal IUPHHKHT seluas 122.648.107 hektar dan sisanya di Iuar areal lUPHHKHT seluas 101353.893 hektar.

Baca: Pemberitahuan! Besok PLN Area Rengat akan Lakukan Pemadaman

Korporasi penyumbang deforestasi terbesar adalah PT The Best One Uni Timber seluas 21.834,158 hektar milik Barito Group, serta dua anak perusahaan milik APP Group, PT Satria Perkasa Agung seluas 21.680.053 hektar dan PT Dexter Timber Perkasa lndonesia seluas 20.053,675 hektar.

"Dari data deforestasi tersebut menunjukkan bahwa keberadaan izin konsesi korporasi Hutan Tanaman lndustri dan Perkebunan masih menjadi penyebab tingginya pembukaan hutan alam yang tersisa, sementara itu Perda Tata Ruang Riau belum menjadi solusi atas deforestasi yang berlanjut. Sudah seharusnya praktik-praktik usaha yang menggerogoti hutan alam yang tersisa hams dihentikan," tegas Woro.

Baca: Tanggapi Kasus Guru Dipecat Usai Milih Dirinya, Ridwan Kamil: Aklak Ibu Jadi Teladan

Menurut Woro, upaya yang dapat dilakukan dalam menghentikan pembukaan hutan alam pada areal konsesi korporasi ialah dengan mereview peraturan-perundang-undangan yang mengaturya. Jikalahari melakukan Publik Review atas Ranperda RTRW Provinsi Riau 2017-2037 dan Publik Review atas 109 produk hukum Kementerian Kehutanan-Kementerian LHK sejak 1996 hingga saat ini, dengan melibatkan akademisi dan praktisi yang berkompeten dan berintegritas.

"Harapannya, tentu saja hasil Publik Review tersebut dapat menjadi sumbangan pikiran dan alas tindakan bagi pembuat kebijakan dan pemerhati lingkungan dan sosial, untuk memastikan penghancuran hutan alam tersisa dapat dihentikan. Di sisi lain, masyarakat adat dan tempatan sebagai pemilik hutan di Riau harus dilibatkan dan mendapat manfaat dalam upaya pelestarian hutan yang telah dirusak dan dirambah oleh korporasi dan cukong. Kebijakan Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria semestinya menjadi solusi bagi pemulihan hutan dengan melibatkan masyarakat, pelaksanaannya harus dioptimalkan dan diawasi secara sungguh-sungguh," papar Woro.

Baca: Tanggapi Kasus Guru Dipecat Usai Milih Dirinya, Ridwan Kamil: Aklak Ibu Jadi Teladan

Upaya lainnya, sebut Woro, memperkuat dan mendorong transparansi serta akuntabel penegakan hukum terkait kasus lingkungan hidup dan kehutanan, khususnya yang melibatkan korporasi yang selama ini terkesan tidak transparan dan lemah terhadap korporasi.

Baca: Pihak Disdikbud Inhu akan Koordinasi dengan BPCB Soal Perbaikan Makam Motah

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved