Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Ramadhan 1437 H

Puasa dan Kecerdasan Adversitas

Pengendalian diri saat lemah karena berpuasa, dalam perspektif psikologi disebut dengan adversity quotient atau kecerdasan adversitas (KA)

Editor: harismanto
Tribun Pekanbaru/Donny Kusuma Putra
Ilustrasi 

Oleh: KH Cholil Nafis Lc, PhD
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI

SATU hadits Nabi Muhammad SAW yang sering disitir kaum agamawan terkait dengan ibadah puasa adalah betapa banyak orang yang berpuasa hanya merasakan lapar dan haus. Kapan? Saat seseorang berpuasa fisik tetapi tidak berpuasa secara spiritual, seperti tidak menjaga mulut dari perkataan kotor, kebiasaan membicarakan keburukan orang lain, khianat, tidak menjaga pandangan, dan dosa lainnya.

Dalam konteks ini, puasa nyaris tidak memiliki fungsi gandanya sebagaimana yang ingin dituju dalam QS: Al-Baqarah: 183, agar bertakwa.

Terkait dengan hal tersebut, Rasulullah SAW bersabda, "Puasa itu perisai, maka janganlah berkata keji dan jangan berbodoh diri. Jika seseorang menentang atau memakinya maka hendaklah ia berkata: Sesungguhnya saya sedang berpuasa dua kali. Demi Dzat yang diriku di tangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dari wangi minyak kasturi. Ia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku membalasnya. Kebaikan itu lipat sepuluh." (HR Bukhari).

Hadits tersebut menyiratkan secara jelas, puasa itu 'pengaman' spiritual sehingga puasa seharusnya dapat menjaga diri dari sikap dan perilaku yang dapat merusak akhlak terpuji. Bahkan saat mendapatkan 'serangan' dari orang lain, seperti mendapatkan hinaan yang sangat menyakitkan, Nabi menegaskan hendaknya kita dapat mengontrol diri dan mengatakan, "Saya sedang berpuasa," hingga dua kali.

Dalam kondisi lapar dan haus yang menjadikan fisik lemah memang cenderung mudah memancing emosi. Namun dengan puasa yang sejak awal bertujuan untuk mendidik jiwa justru harus menjadi kendali diri yang baik.

Pengendalian diri saat lemah karena berpuasa, dalam perspektif psikologi disebut dengan adversity quotient atau kecerdasan adversitas (KA). Istilah KA ini diambil dari konsep yang dikembangkan oleh Paul G Stoltz, seorang konsultan di dunia kerja dan pendidikan berbasis skill.

Dalam dua bukunya yang berjudul Adversity Quotient (2005) dan Adversity Quotient a Work (2003), Stolz secara komprehensif menjelaskan mengenai kecerdasan seseorang dan langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam menghadapi kesulitan.

Menurut Stoltz, KA adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. Dengan pengertian lain, KA merupakan sebuah kemampuan untuk membangun karakter yang mencerminkan pribadi dan meningkatkan kepercayaan diri, serta kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang mengandung risiko dan keluar dari kondisi tidak menyenangkan.

Empat dimensi
Secara lebih sederhana, KA merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan kecerdasannya untuk mengarahkan, mengubah cara berpikir dan tindakannya ketika menghadapi hambatan dan kesulitan yang bisa menyengsarakan dirinya.

Dalam kaitan ibadah puasa yang lemah karen lapar, haus, dan menahan keinginan-keinginan nafsunya justru dapat dijadikan modal spiritual untuk membentuk jiwa yang lebih tangguh.

Terdapat empat dimensi dasar seseorang memiliki KA yang tinggi. Pertama, kendali/kontrol diri, yaitu seberapa besar seorang yang berpuasa mampu mengendalikan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Semakin besar kendali yang dimiliki, semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dengan menjalankan prinsip yang diyakininya.

Kedua, daya tahan, yaitu dimensi yang menjelaskan mengenai persepsi seseorang perihal seberapa lama waktu yang diperlukan ketika mengalami kesulitan. Dimensi daya tahan ini dapat menimbulkan penilaian tentang situasi yang baik atau buruk.

Ketiga, jangkauan (reach) merupakan dimensi mengenai sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian lain dalam kehidupan dari individu. Dimensi ini akan menunjukkan kemampuannya dalam melakukan penilaian mengenai beban hidup. Semakin tinggi reach seseorang, semakin besar kemampuannya dalam melokalisir masalah secara terbatas.

Keempat, kepemilikan, dimensi yang menjelaskan mengenai kemampuan seseorang yang tidak terlalu menyalahkan diri sendiri untuk mengatasi kesulitan. Seseorang yang memiliki kepemilikan tinggi akan mengambil tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan apapun penyebabnya.

Dengan demikian, kesulitan-kesulitan selama berpuasa seperti lapar, haus, dan menahan keinginan-keinginan nafsu justru dapat meningkatkan kecerdasan dalam menghadapi kesulitan hidup. Wallahu a'lam. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved