Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

ICJR: Status 'Justice Collaborator' Diperjualbelikan

Erasmus meminta Kementerian Hukum dan HAM mengungkap kepada publik nama-nama narapidana yang berstatus JC

Editor:
KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN
Ilustrasi 

TRIBUNPEKANBARU.COM, JAKARTA - Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan, status saksi pelaku yang bekerjasama atau 'justice collaborator' (JC) menjadi obyek jual beli di Indonesia.

"Kami mendapatkan informasi, JC dijadikan jual beli," ujar Erasmus di Sekretariat ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (13/8/2016).

Ia mengatakan, status JC diperjualbelikan lantaran narapidana yang memegang status itu mendapat kemudahan selama menjalani masa hukumannya.

Erasmus meminta Kementerian Hukum dan HAM mengungkap kepada publik nama-nama narapidana yang berstatus JC setelah 2012.

"Kami minta siapa-siapa saja dan alasannya kenapa dia dapat sertifikat sebagai JC. Akan ketahuan semua," ujar dia.

Jika nama-nama JC diungkap seluruhnya, publik dapat melacak apakah benar dalam penuntasan perkaranya, dia betul-betul sebagai justice collaborator atau bukan.

"Ketahuan nanti siapa yang main-main dengan status JC. Biar publik sendiri yang menilai," ujar dia.

Pengertian JC sendiri tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator.

Pada SEMA tersebut, JC adalah pelaku tindak pidana, namun bukanlah pelaku utama. JC juga bersedia untuk memberikan informasi terkait keseluruhan tindak pidana yang ia dan sesama pelaku lakukan.

Pemerintah ingin merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP itu memperketat narapidana korupsi, terorisme dan narkoba mendapat remisi.

Dalam draf revisi PP No 99/2012 ketentuan justice collabolator (JC) sebagai syarat remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika, dihilangkan.

JC adalah pelaku pidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar keterlibatan pelaku lainnya.

Berdasarkan Pasal 32 draf revisi PP No 99/2012, narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika diberikan remisi dengan dua syarat pokok, yakni berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidananya.

Di dalam pasal yang sama juga dirinci, khusus untuk napi yang melakukan korupsi dan pidana pencucian uang, ia terlebih dahulu melunasi denda dan uang pengganti sebagaimana diputuskan pengadilan. (*)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved