Mari Meneladani Kepahlawanan Sultan Syarif Kasim II
SSK II mempersembahkan uangnya sebanyak 13 juta Gulden, ditambah mahkota emas dan kedaulatannya kepada Presiden Soekarno, tahun 1945.
Penulis: Mayonal Putra | Editor: M Iqbal
Laporan wartawan Tribun Pekanbaru, Mayonal Putra
TRIBUNPEKANBARU.COM, SIAK - Hari pahlawan yang jatuh setiap 10 November menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan hebat Sultan Syarif Kasim II bagi masyarakat Siak. Tak heran, jika sampai saat ini makam pahlawan yang diabadikan namanya menjadi nama bandara internasional di Pekanbaru ini ramai dikunjungi.
Bahkan Pemkab Siak bersama unsur Forkompinda merujuk makam Sultan Syarif Kasim (SSK) II, sebagai tempat pelaksanaan upacara penghormatan kepada pahlawan, setiap malam hari kemerdekaan Indonesia. Bupati Siak Syamsuar bersama segenap tokoh masyarakat Siak juga terus berupaya menggali sejarah dan perjuangan panjang Sultan untuk negara ini.
"Keteladanan beliau berjuang dengan jiwa dan raga serta harta untuk melawan penjajahan, mendukung Indonesia merdeka dan nasionalisme yang kuat. Beliau siap susah menyerahkan kedaulatan kerajaan Siak kepada NKRI setelah Indonesia merdeka. Sikap keteladanan ini patut dicontoh, oleh generasi muda," ujar Syamsuar, Rabu (9/11/2016) malam.
Syamsuar pernah terhenyak dan meneteskan air mata kala melihat arsip asli perjuangan sultan di kantor Arsip Perpustakaan Nasional. Kini, kilas balik perjuangan Sultan itu sudah dibuat dalam bentuk video, yang bisa ditonton setiap saat.
"Beliau tidak hanya berjuang untuk Riau, tapi sampai ke Sumatra Utara dan Aceh, dalam rangka melawan penjajah," urai Syamsuar.
Dari sejarah panjangnya, SSK II bukanlah orang yang gila harta. Sebagai bukti nyata, SSK II mempersembahkan uangnya sebanyak 13 juta Gulden, ditambah mahkota emas dan kedaulatannya kepada Presiden Soekarno, tahun 1945. Ia Sultan yang paling sibuk mencari informasi atas kemerdekaan Indonesia, pada Agustus 1945.
Tokoh masyarakat Siak sekaligus anak mantan sekretaris pribadi SSK II, Ok Nizamil mengatajan, begitu SSK II mendapat informasi kemerdekaan, bendara merah putih langsung dikibarkan. Padahal, waktu itu tidak ada kain merah putih, terpaksa tim kerajaan merobek bendera Belanda.
"Setelah dirobek warna birunya, barulah Tengku Mahratu menjahit bendera merah putih," kata dia.
Untuk mengetahui informasi kemerdekaan itu, anak buah SSK diperintah mendayung sampan dari Siak ke Pekanbaru. Maklum, di tahun 1945, belum terbentang jalan darat yang memadai antara Siak-Pekanbaru, sehingga kerajaan menggunakan jalur air yakni Sungai Siak.
"Sultan Syarif Kasim berjuang di seluruh lini kehidupan, tidak hanya ekonomi, dan fisik. Ia membangun peradaban, membangun lembaga pendidikan, menyekolahkan masyarakat dengan sokongan beasiswa ke Medan, Padang dan Batavia. Apa yang dilakukannya adalah harus kita teladani," kata dia.
Sementara itu, Kapolres Siak AKBP Restika Pardamean Nainggolan juga sangat kagum dengan sejarah dan peningalan SSK II. Melalui hari pahlawan, Kamis (10/11/2016) ia mengajak semua masyarakat Siak melanjutkan perjuangan para pahlawan yang telah gugur. Apalagi, Siak mempunyai pahlawan sekaligus teladan ummat, yakni SSK II.
"Tugas kita hari ini sebagai penerus perjuangan dan cita-cita para pahlawan adalah tetap meneladani semangat juang, semangat kebangsaan dan semangat kemerdekaan dengan cara mendarma baktikan tugas kita sesuai bidang masing-masing. Ini demi masyarakat, bangsa dan negara. Merdeka!," kata dia.
Ia memandang, SSK II adalah salah satu pahlawan besar yang mesti diteladani. Karena SSK II merupakan pahalawan yang komplit, berjuang secara fisik, harta dan peradaban.
Sejarah Singkat SSK II
Sultan Syarif Kasim (SSK) II bernama lengkap Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin. Merupakan sultan ke 12 kerajaan Siak. Ia anak dari pasangan Sultan Syarif Hasyim dan Tengku Yuk. Ia lahir pada 1 Desember 1893 di Siak Sri Indrapura dan meninggal pada 23 April 1968 di Rumbai, Pekanbaru.
Ia dinobatkan sebagai sultan pada umur 16 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim. Dan, ikut berjuang mengusir penjajahan di berbagai daerah di Sumatra, termasuk Sumatra Utara dan Aceh. Ia menyatakan bergabung dengan NKRI setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan. Lalu menyumbangkan hartanya 13 juta Gulden. Langkahnya tersebut juga diikuti oleh Sultan Serdang dan raja-raja di Sumatera Timur.
SSK II merupakan anak yang cerdas di keluarga kesultanan sebelumnya. Ia pernah menempuh pendidikan di Batavia, dan dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Siak Indrapura pada 13 Maret 1915 dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin. Dari kecil hingga akhir hayat, SSK II tidak punya catatan buruk di tengah masyarakat Siak. Bahkan, masyarakat Siak sangat mencintai SSK II selama ia hidup hingga sekarang.
Di awal pemerintahannya, SSK II sudah menunjukan gelagat tidak suka dengan Belanda. Sehingga menjadi ancaman bagi kaum penjajajah. Ketidak sukaannya terhadap Belanda juga terwujud saat dirinya menolak Sri Ratu Belanda menjadi pemimpin tertinggi para raja di Nusantara.
Selama kepemimpinannya, SSK II sudah membangun peradaban yang tinggi di Siak. Berbagai gedung pendidikan Islam dibangun dan beberapa murid di sekolahkan ke luar daerah. Hingga saat ini, beberapa bangunan monumental masih berdaya fungsi dan kokoh. Seperti Masjid Syahbuddin, gedung lembaga pendidikan, dan istana Matahari Timur. Namun, di akhir hayatnya, Sultan memilih menjadi masyarakat biasa dan mendukung perkembangan pembangunan dan mempertahankan kemerdekaan.
Pemerintah Indonesia kemudian mengangkat SSK II menjadi pahlawan nasional pada 6 November 1998, melalui keputusan presiden nomor 109/TK/1998, yang di tanda tangani presiden BJ Habibie. Ia juga mendapat tanda kehormatan bintang Mahaptra Adipradana.
Kini, makam SSK II berada di pinggiran Sungai Siak, tepatnya di samping Masjid yang ia bangun, yakni Masjid Syahbuddin. Jarak makam dengan Istana peninggalannya sekitar 100 meter, di jantung kota Siak Sri Indrapura.
Hingga sekarang, sudah ratusan ribu orang dalam dan luar negeri menziarahi makam SSK II.
