Mengungkap Fakta Dibalik Permohonan PT RAPP
Masih banyak kawasan gambut di hutan lindung atau hutan konservasi milik negara yang semestinya diperbaiki dan diamankan dari kerusakan parah
Oleh: Pirka Maulana
Presma UIR Periode 2015-2016
SEPEKAN terakhir aktivitas LSM lingkungan di Riau, dimotori Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), terasa sangat tinggi. Dimulai dengan konferensi pers di Jakarta dan disusul di Pekanbaru, Riau serta menyebar sekian banyak ujaran di media sosial. Belum pernah rasanya Jikalahari membuat kegiatan super padat seperti sekarang ini.
Di Jakarta, Jikalahari membangun asumsi bahwa dampak kerusakan lingkungan akibat operasi perusahaan hutan tanaman industri PT Riau Andalan Pulp and Paper, tidak sepadan dengan penerimaan negara. Di Pekanbaru, Kepala Polda Riau Inspektur Jenderal Nandang diserang dengan tudingan lemah mengatasi kejahatan lingkungan. Selain itu berbagai agitasi disebar melalui media sosial.
Inti serangan itu gampang ditebak. LSM ingin permohonan PT RAPP kepada pemerintah (baca : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) kalah dalam sidang PTUN jakarta.
Jadi untuk tujuan itu, serangan demi serangan dibombardir ke segala arah. Bahan-bahan yang tidak ada kaitan dengan persoalan utama dilempar ke ranah publik. Misalnya, data utang perusahaan diumbar. Struktur kepemilikan perusahaan dibeberkan. Data itu sesungguhnya biasa-biasa saja, namun dibuat seolah-olah menjadi daftar dosa luar biasa.
Salah satu agitasi paling baru adalah penyebaran isu “Kenapa PT RAPP Melawan Kebijakan Pemerintah”. Judul itu berbau propaganda yang tidak patut. Kenapa tidak patut? Karena tidak sesuai fakta.
Mari kita buktikan fakta-fakta itu.
Adalah fakta bahwa PT RAPP belum berkenan mengubah Rencana Kerja Usaha-nya untuk mengikuti perintah Kementerian LHK untuk tidak menanam pada kawasan lindung gambut. Perintah itu tertuang dalam Peraturan Menteri LHK No 17/2017 tentang Pembangunan HTI.
Pertanyaannya, mengapa PT RAPP belum berkenan mengubah RKU?
Hal itu lebih disebabkan fakta bahwa aturan untuk mengubah RKU itu tidak ada dasar hukumnya lagi. Hal itu berlaku semenjak Mahkamah Agung mengabulkan uji materi yang diajukan SPSI Riau terhadap beberapa pasal dalam Peraturan Menteri LHK No 17/2017. MA menyatakan pasal-pasal perubahan RKU dalam Permen LHK No 17/2017 cacat hukum.
Dalam persepsi LSM, meski Permen No 17/2017 telah dibatalkan, namun aturan mengubah RKU masih terdapat pada PP No 71/2014 yang direvisi menjadi PP No 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Sekarang buka PP gambut itu.
Coba baca baik-baik isinya. Runut satu per satu. Pasal demi pasal.
Faktanya, tidak ada pasal yang mengatur tentang RKU perusahaan HTI. Akan tetapi, PP itu tetap dipertahankan menjadi dalil dengan memberikan tafsir meluas.
Menurut Penasehat Hukum PT RAPP, Andi Ryza Fardiansyah dari Kantor Pengacara Hamdan Zoelva, kalaupun dipaksakan (walau tidak boleh) bahwa PP Gambut dapat mengatur tata kelola gambut, namun sebuah aturan tidak boleh berlaku surut. Karena faktanya, RKU PT RAPP sudah disahkan jauh hari sebelum PP Gambut disahkan.
Bukan itu saja, tambah Andi, masih ada ketentuan yang tidak boleh dilanggar pemerintah yaitu pasal 45 PP 71/2014. Pasal ini memberlakukan pembatasan. Aturan tata kelola gambut pada PP tidak berlaku secara total, melainkan hanya untuk izin HTI baru. Adapun untuk pemegang izin lama, masih dibolehkan beraktivitas di kawasan lindung gambut sampai izin berakhir. Pasal itu dibuat negara untuk memberikan kepastian hukum dan berusaha. Itu adalah fakta hukum.