Dibayar Pakai Uang Palsu Hingga Tobat Karena Pelanggan Tewas, Ini 5 Kisah PSK di Sulut yang Heboh

Transaksi Esek-esek, Berakhir penipuan dengan uang palsu. Hal itulah yang dialami sebut saja Ratna (23) PSK yang sering mangkal

Editor: Muhammad Ridho
tribunnews batam/M Ikhsan
Suasana di Kawasan Lokalisasi Pelantar, Jemengan, Natuna, Kepulauan Riau (Kepri). 

Saat ia tersenyum, keluar sebaris gigi putih. Wanita ini, sebut saja Dini. Ia adalah pelacur yang sudah bertobat.

"Semuanya kini  untuk memuliakan Tuhan," kata dia kepada tribunmanado.co.id, beberapa waktu lalu.

Ia bercerita, awalnya terjun ke dunia hitam karena ditinggalkan sang suami.

Diduga sang suami telah lari dengan wanita lain.

"Saat itu muncul masalah bagaimana membiayai tiga anak saya. Mereka sangat ingin sekolah, sedang saya tak punya penghasilan. Saya kalang kabut, pinjam uang sana sini," kata dia.

Untuk menyambung hidup, ia mencoba berbagai pekerjaan. Tour of duty mengantarnya bekerja di salon.

"Saat itu saya ketemu seorang pria, ia katakan saya sangat cantik, jika mau saya bisa dapat uang banyak," kata dia.

Penasaran, Dini pun mendatangi tempat pria itu. Ternyata ia germo. Ditawarilah Dini menjadi pelacur. Tawaran itu datang saat dia sedang butuh uang.

"Ia yang pertama mencicipi saya," kata dia.

Singkat cerita, tibalah ia ke Lorong Popaya Bitung, tempat pelacuran kelas bawah yang termasyur itu. Dia merasakan persaingan ketat antarpelacur.

Wajah cantiknya bukan jaminan. Ia harus berjuang keras untuk menang. Setiap hari bak pertandingan final.

"Saya belajar dandan, beli kosmetik, belajar isap rokok, bahkan pernah pakai pelaris," kata dia.

Lama kelamaan ia banyak diminati. Dini pun mulai berani menolak tamu.

"Saya tak sembarang terima, saya malah hanya ingin di-booking, harganya mahal," kata dia.

Seiring dengan kesuksesannya, kehidupan ekonomi keluarganya mulai menggeliat. Ia dapat memenuhi kebutuhan sekolah anaknya.

"Bahkan pernah belikan PS," ujar dia.

Memasang wajah tersenyum setiap hari, kondisinya berlawanan dengan itu.

"Anak anak saya kerap tanya, mama ke mana dan saya bohong. Itu membuat saya resah," kata dia.

Dini enggan membeber kapan persisnya dan bagaimana pastinya ia bertobat. Ia hanya menyebut peristiwa itu anugerah.

"Saya berhenti, tempat pertama yang saya datangi adalah gereja," kata dia.

Tidak lagi melacur memiliki konsekwensi baginya yakni kembali ke kehidupan miskin.

Namun mukjizat kerap terjadi.

"Awalnya saya jualan nasi kuning, tak laku, lalu kerja di toko, kumpul uang, buka warung dan mulai berkembang, banyak berkat. Anak saya yang tua juga sudah kerja hingga ekonomi kami tercukupi," kata dia.

Dini menyebut momen tersulit hidupnya adalah harus mengaku kepada anaknya jika ia pelacur. "

Syukur mereka bisa mengerti," kata dia.

5. Jadi PSK Untuk Biayai Pacar

Praktek prostitusi di Kota Manado sudah bukan rahasia lagi. Sebab hal ini sudah dilakukan terang-terangan di ruang publik.

Beberapa lokasi di Kota Manado sudah diketahui tempat mangkal Pekerja Seks Komersil.

Sebut saja, Taman Kesatuan Bangsa, Belakang kantor Telkom, depan Pengadilan Tinggi Manado dan  sebuah tugu di dekat kantor Pemkot Manado.

PSK biasanya mangkal di lokasi tersebut menunggu pelanggan dan menawarkan jasa bagi pria hidung belang. Tarifnya pun terjangkau antara Rp 100 hingga Rp 300 ribu untuk short time.

Mereka tak hanya mangkal pada tengah malam, pukul 7 malam pun bisa menemukan mereka di TKB.

Alasan klasik selalu diungkapkan para PSK yang menjadi penyebab mereka menekuni pekerjaan sebagai pemuas nafsu hidung belang tersebut.  

Indi (20) bukan nama sebenarnya, penghuni kawasan Taman Kesatuan Bangsa (TKB) di Kota Manado.

Saat berbincang dengan tribunmanado.co.id, Sabtu malam akhir pekan di pertengahan April, Indi tampak cuek.

Mengenakan celana ketat coklat dan kaus tangan panjang bergaris, ia mengarungi kehidupan malam itu. Bibirnya merona, alis tampak bergaris dengan rapi.

Ia memegang botol kecil minyak yang sesekali dicium.

Pandangan matanya liar. Melihat ke mana-mana, memerhatikan sekeliling TKB. Seperti sedang mencari sesuatu. Beberapa lelaki menyapa, ia membalas dengan senyum simpul.

Saat tribunmanado.co.id menyapa, ia seketika berhenti. Ia mengambil tempat duduk di TKB. Pernah bertemu Indi dan sekawanannya akhir Februari 2018 di Tugu Lilin, kawasan Marina Plaza Manado.

Dengan polos Indi mengaku sedang mencari tamu, saat tribunmanado.co.id, menanyakan sedang apa dia di TKB.

Ya, dia mengaku menjadi seorang wanita panggilan yang biasanya mangkal di TKB dan sekitaran Pasar 45 Manado.

Taman Kesatuan Bangsa (TRIBUNMANADO/FINNEKE WOLAJAN)
Kegiatan yang rutin ia lakukan setiap malam. Semalam bisa dapat Rp 200 ribu. Indi mulai mencari tamu pukul 19.00 hingga tengah malam. Tak tentu sampai pukul berapa.

"Kalau sudah ada, saya langsung berkumpul dengan teman-teman. Kalau tidak, tunggu sampai tengah malam," ucap Indi polos.

Tak setiap malam Indi mendapat tamu, kadang meski telah dandan, tak ada sepeserpun rupiah yang masuk ke kantong. Bayarannya kadang Rp 100 ribu, kadang pula Rp 200 ribu.

Indi terpaksa jadi PSK untuk makan, demikian pengakuannnya. Bukan ia yang memegang uang, tapi pacarnya. Buat ongkos hidup ia dan pacarnya di Manado.

Indi tak ingat jelas kapan keluar dari rumah. Ia berasal dari Tondano, Minahasa. Sebulan sekali pulang untuk menjenguk ibu dan enam saudaranya. Indi tujuh bersaudara.

Indi adalah anggota kelompok anak gelandangan yang menamakan diri Amitater. Atau singkatan dari anak miskin tapi terdidik.

Entah kenapa kelompok yang beranggotakan 20 orang ini menamakan diri Amitater, padahal rata-rata dari mereka putus sekolah.

Sehari-harinya, anak-anak ini hanya tidur di emperan toko di kawasan Pasar 45. Mereka pergi ke Jarod jika ingin buang air dan mandi. Jika waktu telah siang, mereka mulai berkumpul di Tugu Lilin hingga tengah malam. Setiap hari dengan rutinitas yang sama.

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved