Yuk Intip Rumah Baru SBY, Pemberian Pemerintah Atas Nama Negara dan di Akhir Hayat Soekarno
Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, memiliki rumah baru yang diberikan oleh pemerintah atas nama negara.
Saat dijumpai Kompas.com di kediamannya, Jakarta Selatan, Minggu (6/3/2016), Sidarto mengungkapkan bahwa masa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto berjalan panjang.
Dalam buku 'Memoar Sidarto Danusubroto Ajudan Bung Karno' yang ditulis Asvi Warman Adam, Sidarto mengungkapkan bahwa pasca-Supersemar, Soekarno semakin tidak berdaya.
Sang Proklamator pun tidak mendapat kejelasan mengenai pembayaran gaji serta uang pensiun seorang Presiden.
Sampai pada di satu titik, Soekarno kehabisan uang untuk pegangan atau sekadar untuk menutup keperluan hidup selama menjadi tahanan kota di Wisma Yaso.
Sidarto masih ingat ketika Soekarno memintanya mencarikan uang.
Soekarno lalu meminta Sidarto menemui mantan pejabat rumah tangga Istana Merdeka, Tukimin.
Dari Tukimin, Sidarto berhasil memeroleh uang tunai 10.000 dollar AS untuk diberikan kepada Soekarno.
Selanjutnya, Sidarto mencari cara agar uang tersebut lolos dari pemeriksaan penjaga dan sampai ke tangan Soekarno.
Ia lalu memasukkan uang itu ke dalam kaleng biskuit dan meminta Megawati Soekarnoputri menyerahkannya kepada Soekarno.
Selama menjadi ajudan Soekarno, Sidarto sempat menyaksikan beberapa upacara kenegaraan, termasuk proses penyerahan kekuasaan eksekutif dari Soekarno kepada Soeharto pada 20 Februari 1967.
Sejak saat itu, secara de facto dan de jure, kekuasaan berpindah dari Soekarno ke Soeharto.
Selain tidak mendapatkan uang dari negara, semua fasilitas kenegaraan juga dibatasi ketat untuk Soekarno.
Termasuk fasilitas dokter kepresidenan untuk memeriksa kesehatannya.
Pada awal 1968, Soekarno dikenai tahanan rumah dan dibatasi aktivitasnya, termasuk untuk bertemu keluarga.
Sidarto ditarik dari posisinya sebagai ajudan Soekarno oleh Polri pada 23 Maret 1968.
Kondisi kesehatan Soekarno yang semakin menurun, dianggap lebih memerlukan dokter ketimbang ajudan.
Hingga akhirnya, Soekarno menderita penyakit gagal ginjal hingga menghembuskan napas terakhirnya.

Dikutip dari Wikipedia, Soekarno telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria, pada tahun 1961 dan 1964.
Namun, kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965.
Prof Dr K Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina, menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat, tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional.
Soekarno bertahan selama 5 tahun, hingga akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.
Tepat pada Minggu (21/6/1970), Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, dengan status sebagai tahanan politik.
Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter Kepresidenan.
Sosok Istri yang Temani Soekarno di Akhir Hayat
Di akhir hayatnya, Soekarno hanya ditemani oleh satu orang istrinya.
Seperti yang diketahui, Seokarno memiliki banyak istri semasa hidupnya.
Beberapa deretan nama perempuan tercatat dalam sejarah sebagai istri Bung Karno.
Mulai dari Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Haryati, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar.
Namun, hanya ada satu orang yang setia menemani Soekarno di akhir hayatnya.
Ia adalah Hartini.
Soekarno dan Hartini menikah di Istana Cipanas pada 7 Juli 1953.
Beberapa tahun setelah menikah, tepatnya pada 1964, Hartini pindah ke salah satu paviliun di Istana Bogor.
Dikutip dari Grid.ID, Hartini Soekarno kemudian dikenal sebagai salah satu wanita setia yang sempat mengisi hidup Soekarno.
Ia juga tetap mempertahankan status pernikahannya sampai ajal menjemput Soekarno.
Dan ternyata, di pangkuan Hartini lah, Bung Karno menghembuskan napas terakhirnya di RS Gatot Subroto pada 21 Juni 1970.
(Tibunjatim)