Eksklusif
BBKSDA Riau: Habitat Harimau Sumatera Makin Menyempit
Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam Riau merilis kasus konflik manusia dan satwa yang terjadi hingga September.
TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau merilis kasus konflik manusia dan satwa yang terjadi hingga September.
Konflik tersebut terbagi dalam dua wilayah.
Untuk wilayah I yang terdiri dari Inhil, Pelalawan, Inhu, dan Kuantan Singingi setidaknya tercatat ada 15 kasus konflik manusia dan satwa.
Konflik dengan manusia ini melibatkan Harimau Sumatera 4 kasus, Gajah Sumatera 1 kasus, beruang madu 2 kasus, buaya 3 kasus, ungko 3 kasus dan siamang 2 kasus.
Baca: Kulit Harimau Sumatera Dihargai Rp 80 Juta, Praktik Perdagangan Satwa di Riau Sulit Terbongkar
Baca: Lokasi Pemadaman Listrik PLN Area Pekanbaru Pukul 09.00-16.00 WIB, Ada Pemeliharaan JTM
Baca: 55 Siswa SMP di Pekanbaru Sayat Tangan Ngaku Ikut Challenge. Kepala Sekolah Ungkap Fakta Mengejutkan
Kasus yang cukup menonjol di wilayah I ini adalah soal Harimau Sumatera yang menerkam dua warga di daerah Pelangiran, Kabupaten Inhil.
Kemudian, untuk wilayah II yang meliputi Kampar, Pekanbaru, Siak, Bengkalis, dan Kepulauan Meranti ada sekitar 21 kasus.
Di antaranya beruang madu 6 kasus, monyet ekor panjang 3 kasus, buaya muara dan macan dahan masing-masing 1 kasus, serta didominasi Gajah Sumatera yang berjumlah 10 kasus.
Kepala BBKSDA Riau Suharyono mengatakan konflik di sini lebih kepada perjumpaan antara satwa dengan manusia, dimana keduanya sebenarnya sama-sama tidak menghendaki hal itu.
"Hal ini terjadi karena proses terfragmentasinya habitat satwa oleh alih fungsi lahan, alih fungsi kawasan hutan, dan lain-lain. Dimana habitat mereka makin lama makin menyempit. Jadi ini bukan salah satwanya," tutur dia kepada Tribunpekanbaru.com, Sabtu (29/9/2018).
Namun anehnya dipaparkan Suharyono, dalam hal ini manusialah yang seakan merasa terganggu dengan kehadiran satwa tersebut.
Padahal ada di lokasi habitat mereka sendiri. Untuk itu jelas Suharyono, pihaknya dalam hal ini berupaya untuk melakukan pengamanan dan perlindungan.
"Berbagai upaya persuasif cukup panjang sudah kita lakukan. Kasus harimau Bonita misalnya, tim sudah turun sejak setahun sebelumnya. Melakukan sosialisasi terhadap masyarakat bisa hidup berdampingan (dengan satwa). Karena tidak mungkin satwa ini dibunuh, kan dilindungi oleh negara, bahkan dunia," ujar dia.
Ke depan ungkapnya, pihaknya akan mencoba menggaet pemerintah daerah (pemda) setempat dan swasta.
Untuk bisa sama-sama melakukan aksi penyelamatan terhadap kelangsungan hidup satwa, terutama yang dilindungi.
Karena diakui Suharyono, selama ini kendala yang ditemui adalah kurangnya dukungan dari dua unsur tersebut.