Berita Internasional
Nyawa Dibayar Nyawa, Mati Dibayar Mati, Keluarga Korban Pembunuhan Tolak Penghapusan Hukuman Mati
Itulah yang ada di benak Erni Dekriwati Yuliana Buhari, putri seorang pengusaha komestika Malaysia yang dibunuh secara keji.
Mainthan dihukum karena memukul seorang pria sampai meninggal. Kuasa hukumnya mempertanyakan identitas jenazah dan orang yang dipukul malam itu menyatakan ia adalah satu-satunya orang yang dipukul dalam perkelahian 14 tahun lalu.
Orang yang diserang sempat menjadi saksi namun hal itu tidak cukup bagi pengadilan tinggi Malaysia untuk membatalkan hukumannya.
Vasanthy, istri terpidana mati, menunggu eksekusi hukuman gantung/THE S-PLOITED / FREEDOM FILM NETWORK.
Vasanthy, istri Maintan, harus mencari nafkah untuk empat anak-anaknya, dengan yang bungsu berusia satu tahun saat itu.
Dalam surat dari penjara, Mainthan meyakinkan keluarganya untuk tetap berdoa agar ia bisa kembali bersama mereka.
"Saya sebagai suamimu, saya tahu betapa susah keadaan Vasanthy di sana. Saya suamimu mohon minta maaf kepada Vasanthy. Maafkanlah saya," tulisnya dalam surat pada saat hari Valentine 14 Februari lalu.
Vasanthy mengatakan selama 14 tahun ia meminta anak-anaknya untuk bersabar bahwa ayah mereka akan kembali pada suatu hari nanti.
Ia mengatakan berita tentang rencana mencabut hukuman gantung memberi harapan baginya dan keluarga. Namun hukuman seumur hidup juga sulit mereka terima.
"Saya ingin tanya, kapan suami saya boleh pulang? Itu saja. Itu saja yang ada dalam pikiran saya setiap hari karena sudah 14 tahun bukan 14 hari," katanya kepada BBC News Indonesia.
'Bukan dendam, tapi takut'
Razali, ketua Komnas Ham Malaysia, Suhakam, mengatakan hukuman mati juga berdampak tak hanya kepada terpidana dan keluarganya.
Ia mengatakan pamannya yang berkarier lama dalam bidang hukum akhirnya keluar dari pekerjaan karena harus menjatuhkan hukuman mati kepada satu terpidana.
Razali bercerita ia sempat memiliki pandangan bahwa nyawa harus dibalas nyawa dan mengerti apa yang dirasakan keluarga korban seperti Rita.
"Mereka ingin semacam pembalasan. Apapun kemarahan itu, rasa ingin membalas bukan berarti juga harus melalui nyawa orang lain...pandangan bahwa nyawa dibayar nyawa tak lagi bisa diterapkan."
Namun bagi Rita, ia merasa bukan dendam yang melatari langkahnya menentang pencabutan hukuman mati, namun ketakutan.