Indragiri Hilir
Komoditi Kelapa di Inhil Mulai Ditinggalkan Petani, Bahkan Ada Petani yang Pilih Jadi TKI
Komoditi kelapa di Inhil mulai ditinggalkan petani dan pekerja, bahkan ada petani yang pilih jadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia
Penulis: T. Muhammad Fadhli | Editor: Nolpitos Hendri
Komoditi Kelapa di Indragiri Hilir Mulai Ditinggalkan Petani dan Pekerja, Bahkan Ada Petani yang Pilih Jadi TKI
Laporan Wartawan Tribuntembilahan.com, T Muhammad Fadhli
TRIBUNTEMBILAHAN.COM, TEMBILAHAN - Komoditi kelapa di Indragiri Hilir (Inhil) mulai ditinggalkan petani dan pekerja, bahkan ada petani yang pilih jadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia.
Kondisi perkelapaan di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) memang sudah sangat memprihatinkan dan berlahan mulai ditinggalkan oleh petani kelapa maupun buruh kelapa yang selama ini menggantungkan hidupnya dari perkelapaan.
Baca: KISAH Cewek Cantik Asal Pekanbaru Jadi Selebgram Pandai Menari, Tampilkan Tari Zapin di Singapura
Baca: KISAH Cewek Cantik Asal Aceh Jadi Selebgram, Cantik Bak Boneka, Tapi Pernah Dihakimi Netizen
Alhasil, banyak kelapa yang terbengkalai dan ditinggalkan oleh pemiliknya setelah dipanen, karena tidak sesuainya biaya produksi dengan keuntungan yang diperoleh.
“Kelamaan tidak dikerjakan, terbengkalai (kelapa). orang kerja ni sekarang tidak ada minat lagi. Kalau saya lihat karena pekerjaan tidak sesuai lagi dengan biaya yang didapat dengan yang dikeluarkan,” ujar Rafik seorang petani Kelapa asal Kabupaten Inhil saat dihubungi Tribun Pekanbaru, Rabu (2/1/2019).
Meskipun akhir – akhir ini terjadi peningkatan harga kelapa, namun menurut Rafik, peningkatan harga kelapa tidak terlalu signifikan dan masih belum bisa menutupi biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani kelapa.
“Harga sebenarnya tidak terlalu banyak meningkatnya, sekarang sudah lumayan sekitar Rp. 1550 per kg kelapa kupas licin. Tapi kurang memang, sudah saya tanya tanya memang tidak sesuai. Kalau kitakan tidak sesuai dengan biaya produksi ketimbang dengan biaya kita sehari - hari modal kerjanya itu, modal kerja dengan hasil kerja yang didapat makanya banyak yang terbengkalai,” jelas petani kelapa yang berkebun di Desa Bekawan, Kecamatan Mandah ini.
Masih belum stabilnya harga kelapa juga diakui oleh Hamzah, seorang keluarga petani kelapa asal Kecamatan Keritang, Kabupaten Inhil.
Baca: Awal Tahun 2019, Harga Cabe Medan di Pekanbaru Naik Jadi Rp 26 Ribu per Kilogram
Baca: 10 Hektar Lahan di Perbatasan Dumai-Rokan Hilir Terbakar
Bahkan agar para pekerja (buruh) kelapa tetap bisa bertahan, menurutnya, pemilik kebun dan pekerja (buruh) kelapa harus berbagi sama rata (50:50) hasil produksi yang diperoleh atau membagi dua hasil produksi.
Contohnya, bila pendapatan setelah produksi sebesar Rp. 7 juta, maka Rp. 3.5 juta untuk petani (Pemilik kebun) dan Rp. 3.5 juta nya lagi untuk pekerja dan dibagi 3 jika pekerjanya 3 orang.
“Kalau tidak bagi dua, pekerja tidak mau mengerjakannya. Iya kalau nggak gitu mereka sedikit betul dapatnya,” tutur Hamzah.
Sakitnya kondisi perkelapaan di Inhil, bahkan membuat tidak sedikit petani kelapa dan pekerja kelapa memutuskan untuk mencari peruntungan dibidang lain.
Lebih lanjut Rafik membeberkan, masyarakat kelapa sudah mulai melirik dan terjun di mata pencaharian yang baru, antara lain, menjadi nelayan, ada yang pindah kerja ke sektor komoditas lain seperti pinang, ada yang tetap bekerja walaupun dengan kondisi seadanya, bahkan ada yang sudah berencana menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri di Malaysia.
Baca: RENGAT BERSEJARAH, Sekdakab Indragiri Hulu Sebut Persiapan Acara sudah Matang
Baca: Disdikpora Rohul Mendapat Anggaran DAK Sebesar Rp 28 Miliar
Menurut Rafik, bagi masyarakat yang mempunyai kebun sendiri tidak jadi masalah sebenarnya, tapi lebih baik dia bekerja pinang dari pada kerja kelapa karena biaya dan penghasilan tak sesuai.
“Mereka yang punya kebun kalau sempat ditanami pinang sambil kerja pinang, kalau tidak sempat dibiarkannya aja. Kebunnya tidak ganti tapi ditanami dengan pinang, atau kerja pinang ngambil upah kerja ditempat orang yang punya pinang,” imbuh Rafik.
Kondisi lebih berat harus dihadapi oleh para pekerja kelapa yang tidak memiliki kebun sendiri untuk diolah, akan tetapi bagi yang memiliki keahlian masih bisa bertahan dengan beralih menjadi nelayan, mengambil upah kerja pinang, ada yang kerja di perusahaan sawit dan ada yang berencana keluar negeri menjadi TKI.
Namun bagi pekerja kelapa yang tidak memiliki keahlian lain, mereka terpaksa tetap menjadi buruh harian dan tetap bekerja kelapa apa adanya walaupun rugi gali lobang tutup lobang (berhutang).
“Kondisinya udah punya keluarga tidak bisa keluar negeri, jadi nelayan tidak ahli, jadi buruh perkebunan sawit nggak mungkin. Jadi dia tetap bekerja kelapa dengan apa adanya yang penting bisa makan, kalau kerja masih bisa ngutang kan gitu,” beber Rafik.
Baca: Korban Lakalantas di Dumai Masih Didominasi oleh Karyawan Swasta
Baca: RINCIAN Harga Komoditi Lokal di Riau Didominasi Penurunan, Harga TBS Kelapa Sawit, Karet dan Kelapa
Melihat kondisi perkelapaan Inhil yang miris pada saat ini, Rafik mewakili petani kelapa di Inhil, berharap keseriusan pemerintah daerah dalam menjalankan program-program terkait perkelapaan yang sudah dicanangkan untuk segera di terapkan pada 2019 ini.
“Kalau kita petani inikan, bagaimana buah kelapa harganya meningkat dan harganya bagus, itu saja sebenarnya. Sebenarnya solusi Sistem Resi Gudang (SRG) bagu tapi belun berjalan," katanya.
"Kalau home industri itu kalau nggak dikasih tau pun sebenarnya bisa, tapi pemerintah ndak tau juga kita serius apa ndak kan gitu, kalau serius langsung turun. Semoga apa yang sudah direncanakan berjalan lancar,” pungkas Rafik. (*)