Pengakuan Preman yang Takut Dihabisi Petrus di Era Soeharto
Petrus (penembak misterius) di era Presiden Soeharto menjadi mesin efektif menekan kriminalitas di nusantara.
Banyak mayat para korban seakan-akan sengaja diletakkan di tempat ramai, seolah menjadi "pesan" kepada para preman dan penjahat untuk tidak macam-macam lagi.
Tak ayal kondisi ini membuat kelompok hitam, atau bahkan siapa saja yang di tubuhnya terdapat tato amat cemas, menunggu "Kapan giliran saya?".
Beberapa di antara mereka berusaha menghilang sejauh mungkin, atau melenyapkan tato di tubuhnya.
"Pada suatu tengah malam, ketika kami sedang ngobrol, datang sebuah mobil. Lalu dari dalam mobil itu berhamburan 4-5 orang. Kami kalang kabut menyelamatkan diri berlarian ke sawah. Besoknya saya dapat kabar Mas Ripto ditemukan tewas. Di lehernya seperti ada bekas jeratan." Begitulah tutur seorang warga Tawangsari dikutip Sripoku.com dari media daring
Ripto pada masanya dikenal sebagai pimpinan sebuah geng.
Dia amat disegani, bahkan ditakuti bersama (waktu itu) kelompok Kisromi dari kawasan Krobokan.
Reputasi di dunia hitam menempatkannya pada target Petrus.
Kabar tewas nya Ripto membuat rekan-rekannya terpencarpencar menyelamatkan diri.
Begitu juga dengan mereka yang merasa memiliki catatan di dunia hitam. Misalnya Wagiman seorang tukang copet terminal.
Baca: KISAH Guru Cantik Asal Pekanbaru, Mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan dan Berbisnis Make Up Artis
Baca: SAH, Redmi Note 7 Segera Resmi di Indonesia, Xiaomi Gelar Sayembara untuk MiFans dan Ini Hadiahnya
Baca: PREDIKSI Paris Saint Germain vs Manchester United: PSG Tanpa Neymar, MU Tanpa 10 Pemain Inti
"Wah, saya betul-betul takut. Waktu Petrus mulai dulu, saya baru saja berumur 18 tahun. Saya sudah dua tahun "kerja" waktu itu. Karena kata orang yang dicari-cari itu yang bertato, tato di tangan dan di punggung saya, saya setrika. Karena masih khawatir juga, saya lari ke Riau dan sembunyi di kampung- kampung di sana selama empat tahun. Baru sesudah agak aman saya kembali lagi ke sini, dan mulai lagi 'kerja". Habis bagaimana lagi! Saya perlu makan. Jadi, terpaksa yaa kerja copet ini saja. Saya biasa beroperasi di terminal dan dalam bus rute Semarang - Yogyakarta. Masak orang kayak saya ini yang ditembak. Kalau mau ditembak, ya ., koruptor-koruptor itulah!"
Beberapa orang menyebut, Petrus yang berlangsung tahun 1983-1985 memakan korban 5.000 orang.
Namun ada pula yang menyebut angka 10.000 orang.
Petrus tak hanya menjadi horor bagi mereka yang masuk daftar golongan hitam.
Keluarga mereka pun tak urung dilanda ketakutan dan trauma sepanjang hidup mereka. Ini juga yang diakui oleh Lita BM.
Wanita asal Semarang putri dari Bathi Mulyono.Bathi adalah pimpinan para mantan narapidana yang tergabung dalam organisasi Fajar Menyingsing.
Dia lolos dari incaran Petrus, dan sempat menghilang beberapa tahun. Hilangnya Bathi ini menyisakan pengalaman traumatik bagi Lita.
Hasil gambar untuk sejarah penembak misterius
"Aku salah satu korban operasi Petrus itu. Ayahku hilang dalam tragedi berdarah yang sampai sekarang tak pernah terungkap itu," kata Lita
Untuk mengungkapkan perasaan gundahnya, Lita yang juga penyanyi ini kemudian merilis sebuah album berjudul Tirai Kelahiran "83.