Ramadhan 1440 H

PENJELASAN Ustadz Abdul Somad tentang HUKUM Mandi Balimau dan Ziarah Kubur Jelang Ramadhan di RIAU

Penjelasan Ustaz Abdul Somad tentang hukum mandi balimau dan ziarah kubur jelang Ramadhan 1440 H di Riau dan Indonesia

Editor: Nolpitos Hendri
Tribun Pekanbaru/Instagram.com/Ilustrasi/Nolpitos Hendri
PENJELASAN Ustadz Abdul Somad tentang HUKUM Mandi Balimau dan Ziarah Kubur Jelang Ramadhan di RIAU 

PENJELASAN Ustadz Abdul Somad tentang HUKUM Mandi Balimau dan Ziarah Kubur Jelang Ramadhan di RIAU

TRIBUNPEKANBARU.COM, PEKANBARU - Penjelasan Ustaz Abdul Somad tentang hukum mandi balimau dan ziarah kubur jelang Ramadhan 1440 H di Riau dan Indonesia.

Dalam hitungan hari umat muslim di dunia kembali menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadhan 1440 H, ada berbagai persiapan yang dilakukan umat Islam dalam menyambut bulan yang penuh berkah tersebut.

Ada salah satu tradisi yang bisanya dilakukan sebagian masyarakat menjelang tibanya bulan Ramadan yaitu tradisi mandi balimau dan ziarah kubur.

Baca: SUARA MASUK Pilpres 98 Persen, Prabowo MENANG Telak di Sulawesi Tenggara, KALAH Tipis di Gorontalo

Baca: KURIR Narkoba SIMPAN Sabu-sabu Dalam Sepatu Tertangkap di Bandara SSK Diupah Rp 5 Juta Sekali Jalan

Baca: Bea Cukai GAGALKAN Penyelundukan Bibit Lobster Rp 1 Miliar ke SINGAPURA, Ini Rutenya hingga Vietnam

Hal ini nampaknya telah menjadi tradisi ini sudah berlangsung lama, bagaimanakah hukumnya berziarah kubur menjelang Ramadan atau bulan puasa?

Menurut Ustadz Abdul Somad, Nabi Muhammad pernah melarang umatnya berziarah kubur, namun sekarang sudah dibolehkan.

Terkait waktunya, bisa kapan saja, tak harus menjelang bulan puasa.

“Kapan saja boleh. Mau menjelang puasa, sedang bulan puasa atau setelah bualan puasa, bebas saja. Lalu mengapa orang-orang kita sering berziarah kubur menjelang bulan puasa? Mungkin saja karena dia baru bisa libur pas mau puasa atau saat sedang bulan puasa. Bisa juga karena hatinya sedang lapang, ingin mengingat Allah maka pergilah di ke kubur, mau mengingat mati,” jelasnya.

Katanya, hal ini ada di kitab karangan seorang syekh tentang ziarah kubur.

Lalu ada lagi pertanyaan, apakah berziarah kubur menjelang bulan puasa pernah dilakukan Nabi Muhammad?

Jawabnya, tidak semua perbuatan yang tidak dilakukan Nabi Muhammad lantas tak bisa pula kita lakukan.

Contoh, membaca ayat Kursi di empat sudut rumah ketika memasuki rumah.

Baca: TERCATAT 121 Kasus Dugaan PELANGGARAN Pemilu 2019 di Riau, 29 Kasus Laporan Warga, 92 Kasus Temuan

Baca: VIRAL Ibu Muda CANTIK Menyusui Bayinya di Pesta Pernikahan, Ternyata Artis Terkenal dan Selebgram

Baca: KISAH CINTA Gadis Malaysia dan Gadis Minang, Dinikahi Cowok AFRIKA dan Ketemu Jodoh di Instagram

Nabi Muhammad tak pernah melakukan ini, namun dilakukan oleh satu diantara sahabat Nabi Muhammad, yaitu Abdurrahman bin Auf.

“Abdurrahman bin Auf ketika pulang ke rumahnya malam hari, diucapkannya ayat Kursi di empat sudut rumahnya, kanan, kiri dan dua di belakang,” katanya.

Artinya, jika kita ingin juga melakukan ini untuk perlindungan dari kejahatan setan boleh saja walaupun tak pernah dilakukan Nabi Muhammad.

“Sebab hadis itu ada empat jenis, yaitu berdasarkan perkataan, sifat, ketetapan dan perbuatan Nabi Muhammad,” katanya.

Sejarah di Zaman Nabi, Pernah Diharamkan 

Ziarah kubur adalah salah satu ritual yang awalnya diharamkan lalu dibatalkan (manshukh) oleh Rasulullah SAW menjadi suatu anjuran yang disunnahkan untuk dilakukan.

Mengutip tulisan M. Ali Zainal Abidin dari NU Online
Salah satu hikmah dari kesunnahan ziarah kubur ini adalah mengingatkan kita pada keadaan orang-orang yang telah meninggal.

Dengan mengingat kematian, seseorang menjadi lebih waspada dalam menjalankan hidupnya dan tidak mudah terbelenggu dalam gaya kehidupan yang tidak baik.

Rasulullah SAW bersabda dalam haditsnya:

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِي الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ

“(Dulu) Aku melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah kalian ke kuburan, sesungguhnya ziarah kubur membuat kalian zuhud di dunia dan mengingatkan kalian pada akhirat.” (HR. Ibnu Majah)

Salah satu hal yang mestinya dilakukan oleh peziarah saat menziarahi kubur adalah mendoakan orang yang berada dalam kubur, sebab doa dan zikir-zikir yang dibacakan oleh peziarah dengan niat pahalanya ditujukan pada orang yang telah meninngal, menurut kesepakatan para ulama pasti sampai pada mayit (orang meninggal). Seperti yang dijelaskan dalam kitab Al-Adzkar:

قال النووي في الأذكار أجمع العلماء على أن الدعاء للأموات ينفعهم ويصلهم ثوابه اه روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال ما الميت في قبره إلا كالغريق المغوث بفتح الواو المشددة أي الطالب لأن يغاث ينتظر دعوة تلحقه من ابنه أو أخيه أو صديق له فإذا لحقته كانت أحب إليه من الدنيا وما فيها

“Imam Nawawi berkata dalam kitabnya, Al-Adzkar, ‘Para Ulama sepakat bahwa doa pada orang yang meninggal, bermanfaat dan sampai pada mereka‘ diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW bahwa sesungguhnya beliau bersabda, ‘Tidak ada perumpamaan mayit di kuburnya kecuali seperti orang tenggelam yang ingin ditolong, mayit menunggu doa yang ditujukan padanya baik dari anaknya, saudaranya atapun temannya. Ketika doa itu telah tertuju padanya, maka doa itu lebih ia cintai daripada dunia dan seisinya” (Syekh Nawawi Al-Bantani, Nihayat al-Zain, hal. 281(

Adab Ziarah
Selain membacakan doa serta zikir-zikir pada saat ziarah kubur yang merupakan tujuan utama dalam berziarah, hendaknya bagi para peziarah juga menjaga adab-adab yang berlaku pada saat ziarah kubur.

Adab-adab dalam berziarah ini secara rinci dijelaskan dalam kitab Tafsir As-Siraj Al-Munir:

وينبغي لمن زار القبور أن يتأدّب بآدابها ويحضر قلبه في إتيانها، ولا يكون حظه منها الطواف عليها فقط فإنّ هذه حالة يشاركه فيها البهائم، بل يقصد بزيارته وجه الله تعالى وإصلاح فساد قلبه، ونفع الميت بما يتلوه عنده من القرآن والدعاء، ويتجنب الجلوس عليها.
ويسلم إذا دخل المقابر فيقول: «السلام عليكم دار قوم مؤمنين، وإنا إن شاء الله بكم لاحقون». وإذا وصل على قبر ميته الذي يعرفه سلم عليه أيضاً، وأتاه من قبل وجهه لأنه في زيارته كمخاطبه حياً، ثم يعتبر بمن صار تحت التراب، وانقطع عن الأهل والأحباب، ويتأمّل حال من مضى من إخوانه كيف انقطعت آمالهم ولم تغن عنهم أموالهم، ومجيء التراب على محاسنهم ووجوههم، وافترقت في التراب أجزاؤهم، وترمل من بعدهم نساؤهم، وشمل ذل اليتم أولادهم وأنه لا بدّ صائر إلى مصيرهم، وأنّ حاله كحالهم وماله كمالهم.

“Hendaknya bagi orang yang berziarah di kuburan untuk berperilaku sesuai dengan adab-adab ziarah kubur dan menghadirkan hatinya pada saat mendatangi kuburan. Tujuannya datang ke kuburan bukan hanya sebatas berkeliling saja, sebab perilaku ini adalah perilaku binatang.

Tetapi tujuan ziarahnya karena untuk menggapai ridha Allah ﷻ, memperbaiki keburukan hatinya, memberikan kemanfaatan pada mayit dengan membacakan di sisinya Al-Qur’an dan doa-doa. Dan juga ia menjauhi duduk di atas kuburan.

Ketika telah masuk di area sekitar kuburan ia mengucapkan salam 'Assalamu alaika dara qaumi mu’minin, wa inna insya Allahu bikum lahiqun (semoga kesalamatan tertuju pada engkau wahai rumah perkumpulan orang-orang mukmin, sesungguhnya kami, jika Allah menghendaki akan menyusul kalian.’

Ketika sampai di kuburan mayit yang ia kenal, maka ucapkan salam padanya dan datangilah dari arah wajah mayit itu, karena menziarahi kuburannya sama seperti berbicara dengannya sewaktu hidup.

Lalu orang yang berziarah merenungkan keadaan orang yang telah dikubur di bawah tanah, yang telah terpisah dari keluarga serta orang-orang yang dicintainya.

Orang yang berziarah hendaknya juga merenungkan bagaimana keadaan teman-temannya yang telah meninggal. Bagaimana impian mereka telah pupus dan bagaimana harta mereka sudah tidak lagi menolong mereka.

Debu-debu telah bertaburan pada keindahan tubuh dan wajah mereka, organ tubuh mereka telah terpisah-pisah dalam tanah, lalu istri mereka menjanda, anak-anak mereka menjadi yatim. Dan nantinya giliran bagi dirinya untuk menjadi seperti teman-temannya akan tiba.

Keadaannya di kubur sama persis seperti keadaan temannya, dan hartanya nantinya juga sama persis seperti harta teman-temannya (tidak dapat menolongnya)” (Syekh Khatib Asy-Syirbini, Tafsir as-Siraj al-Munir, hal. 5277)

Begitulah adab-adab yang semestinya dilakukan pada saat ziarah kubur.

Jika sudah mengetahui kita pun sebaiknya mengamalkannya seseorang yang hendak berziarah tidak akan lagi bertingkah laku sewenang-wenang pada saat berziarah.

Terlebih maqbarah yang diziarahi adalah orang-orang saleh, semestinya penekanan dalam menjalankan adab saat berziarah semakin dipegang secara kuat, agar bisa mendapatkan barokah dalam ziarah yang dilakukannya. Wallahu a’lam.

 Tradisi Mandi Belimau

Salah satu tradisi sebagian masyarakat Melayu menyambut datangnya bulan suci ramadan adalah tradisi Mandi Belimau.

Tradisi yang bertujuan mensucikan lahir dan batin guna menyongsong bulan penuh berkah tersebut di pulau Bangka masih dilakukan di Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka.

Berkaitan dengan tradisi ini Ustad Abdul Somad sempat membicarakannya kepada bangkapos.com secara khusus berbincang-bincang dengan Ustaz Abdul Somad di rumah dinas Gubernur Babel.

Momen ini sebelum Ustaz Abdul Somad memberikan ceramah di empat tempat selama dua hari di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (6/12/2017) lalu.

Hari pertama Ustaz Abdul Somad bertausiah di Masjid Al Huda Kampung Melintang, Kota Pangkalpinang, Rabu (6/12/2017) malam.

Dengan gayanya yang sederhana dan santai, Ustaz Abdul Somad menyambut penuh kehangatan.

Dalam sesi itu, Ustaz Abdul Somad mengisahkan soal suku Melayu dari Sumatera Utara, Riau, Kepri dan Babel.

Dia menyebutkan tradisi Melayu tidak lepas dari agama Islam.

Termasuk mengenai mandi belimau menjelang bulan puasa Ramadhan dan kegiatan lainnya.

Lalu, ada yang menyebutkan mandi belimau tidak ada dalam ajaran agama.

"Orang Melayu mandi belimau apa masalahnya. Orang Melayu dulu banyak tinggal di tepian sungai. Nah, ada tradisi Melayu tua

mandi belimau di dalam hutan pakai jeruk, asam. Kenapa mereka mandi di sungai, karena rumah dekat sungai. Kok pakai limau,
ya untuk membersihkan tubuh."

"MUI bilang haram, haramnya di mana mandi belimau. Ternyata saat ada mandi belimau, diundang artis keyboard (orgen) tunggal lalu joget-joget, itu yang haram.

Jangan sampai bilang nenek moyang kita tidak berilmu. Haram kalau laki-laki dan perempuan bukan muhrim mandi bersama di

sungai, ada orgen. Ini local wisdom, tidak ada kaitan lain. Kalau disebutkan tidak mandi (belimau) maka puasa tidak sah itu baru
tidak boleh," kata Ustaz Abdul Somad.

Ustaz Abdul Somad mencontohkan peristiwa lain.

Sebelum Nabi Muhammad datang, orang Arab jahiliah biasa melakukan budaya potong kambing saat kelahiran.

Lalu, darah kambing diusap ke kepala anaknya yang baru lahir.
Ketika Nabi Muhammad datang, dia membuang tradisi yang kotor itu.

"Tidak ada lagi darah kambing diusap ke kepala anak baru lahir. Potong kambing tetap, daging dimasak dan dibagikan kepada tetangga. Ambil yang baiknya," ungkapnya.

Bagaimana Bayar Hutang Puasa Menurut Ustad Abdul Somad

Ustadz Abdul Somad adalah penceramah asal Pekanbaru, Provinsi Riau.
Ustadz yang akrab disapa UAS ini merupakan Alumnus Al Azhar, Kario dan Darul Hadits Maroko.

Dikutip dari Tribunewsbogor.com, Ustadz Abdul Somad sempat mendapat pertanyaan perihal kapan batas waktu bayar utang puasa tersebut dari seorang jamaah.

Mendengar pertanyaan itu, Ustaz Abdul Somad pun menjawabnya.

Menurut Ustaz Abdul Somad, bagi seseorang yang ingin membayar utang puasa di Ramadhan tahun lalu, batas waktunya adalah sampai bulan Ramadhan tahun ini.

Artinya, termasuk di bulan Syaban pada hari terakhir pun, seorang muslim masih bisa melakukan qadha puasa Ramadhan tahun lalu.

"Batasnya (qadha puasa Ramadhan tahun lalu) kapan ? sampai Ramadhan (tahun) ini," ungkap Ustaz Abdul Somad.

Lebih lanjut, Ustaz Abdul Somad pun memaparkan hukumnya seseorang yang hendak membayar utang puasa di bulan Syaban pada hari Senin.

Maka dijelaskan Ustaz Abdul Somad, orang tersebut akan mendapatkan tiga keuntungan, yakni utang puasanya lunas satu hari, mendapat keutamaan puasa sunah Syaban dan juga puasa hari Senin.

"Siapa yang mengganti puasa di bulan Syaban hari Senin, otomatis dapat tiga, puasa qada lunas satu hari, puasa sunah syaban dapat, puasa hari Senin dapat," imbuh Ustaz Abdul Somad.

Meski begitu, niatan puasa untuk mendapatkan tiga keuntungan itu dijelaskan Ustaz Abdul Somad hanya diucap satu saja, yakni niat untuk qadha puasa Ramadhan.

"Niatnya satu aja, saya niat puasa qada. Otomatis dapat tiga. Jadi enggak perlu niatnya tiga," pungkas Ustaz Abdul Somad.

Lantas, bagaimana jika kita tidak juga membayar utang puasa Ramadhan tahun lalu karena bulan Ramadhan tahun ini telah tiba ?

Ustaz Abdul Somad pun menjabarkan bahwa seseorang itu masih bisa membayarkan utang puasanya itu setelah bulan Ramadhan tahun ini berakhir.

Namun, di qadha puasa selanjutnya itu, orang tersebut tak hanya harus membayarnya, melainkan juga harus membayar fidiah.

Yakni dengan cara memberikan makan orang miskin selama satu hari.

"Kalau sampai Ramadhan dia belum men-qadha juga ? maka dia dapat qadha setelah Ramadhan plus fidiah. Fidiah apa ? memberi makan fakir miskin selama satu hari," ucap Ustaz Abdul Somad.

"Bukan satu kali makan, tapi satu hari makan. Paling tidak tiga kali, makan pagi, siang, makan malam," sambung Ustaz Abdul Somad.

Kapan Batas Waktu Bayar Utang Puasa atau Qadha Menurut Hadis ?

Penjelasan mengenai batas waktu perihal qadha puasa Ramadhan terdapat di beberapa hadis.

Dilansir dari laman konsultasisyariah.com, ada hadis yang melarang melakukan puasa setelah masuk pertengahan bulan sya’ban.

Diantaranya hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلَا تَصُومُوا
“Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Abu Daud 2337)

Dalam hadis yang lain, yang juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‎لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan, kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa sunah, maka bolehlah ia berpuasa.” (HR. Bukhari 1914 dan Muslim 1082).

Di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merutinkan puasa selama sya’ban. Bahkan beliau melakukan puasa sya’ban sebulan penuh. Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,

‎لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Belum pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR. Bukhari 1970 dan Muslim 1156)

Karena itu, sebenarnya larangan berpuasa setelah masuk pertengahan bulan sya’ban, tidak berlaku mutlak.

Hal tersebut berarti bahwa larangan itu berlaku ketika seseorang melakukan puasa sunah tanpa sebab, sementara dia tidak memiliki rutinitas puasa sunah tertentu atau tidak dimulai dari awal sya’ban.

Ada pula hadis kedua dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memberikan pengecualian,
“kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa sunah, maka bolehlah ia berpuasa.”

Dengan demikian, puasa qadha dibolehkan sekalipun telah masuk pertengahan sya’ban.

Batas akhirnya adalah sampai datang bulan Ramadhan berikutnya.
Dan itulah yang dilakukan oleh Ummul Mukminin, Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Beliau pernah menuturkan,
‎كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ

Dulu saya punya utang puasa Ramadhan. Dan saya tidak bisa mengqadhanya kecuali di bulan sya’ban. (HR. Bukhari 1950, Muslim 2743, dan yang lainnya).(*)

PENJELASAN Ustadz Abdul Somad tentang HUKUM Mandi Balimau dan Ziarah Kubur Jelang Ramadhan di RIAU. (Tribunpekanbaru.com/Tribuntimur.com)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved