Iuran BPJS Kesehatan Naik 100%, Peserta: 4 Orang Rp 640 Ribu, Mending Pindah ke Asuransi Swasta
Seperti diketahui, setiap tahun BPJS Kesehatan terus mengalami defisit bahkan dengan nilai yang terus meningkat.
Iuran BPJS Kesehatan Naik 100%, Peserta: 4 Orang Rp 640 Ribu, Mending Pindah ke Asuransi Swasta
TRIBUNPEKANBARU.COM - Pemerintah terus berupaya untuk mencari jalan keluar atas permasalahan defisit BPJS Kesehatan.
Usulan paling gres dari Menteri Keuangan Sri Mulyani adalah menaikkan iuran BPOJS Kesehatan 100 persen atau dua kali lipat.
Seperti diketahui, setiap tahun BPJS Kesehatan terus mengalami defisit bahkan dengan nilai yang terus meningkat. Bahkan, hingga akhir tahun ini, BPJS Kesehatan diprediksi bakal defisit hingga Rp 32,8 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kemudian membuat usul untuk menaikkan besaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo pun mengatakan, Peraturan Presiden terkait kenaikan upah ini telah diajukan kepada Presiden Joko Widodo dan akan segera ditandatangani. Kabarnya, mulai berlaku 1 Januari 2020 nanti.
Banyak pihak keberatan dengan langkah pemerintah tersebut. Pasalnya, besaran kenaikan iuran dinilai terlalu tinggi.
Padahal sejak awal tahun, pemerintah pun telah menggaungkan hal ini lantaran besaran iuran BPJS Kesehatan yang sudah terlalu murah (underpriced).
Iuran JKN BPJS Kesehatan terakhir kali mengalami kenaikan sejak tahun 2016 lalu.
Dalam pasal 16i Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan disebutkan bahwa kenaikan iuran adalah kewajiban yang perlu dilakukan dalam dua tahun sekali.
Namun, untuk kenaikan iuran Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) kelas II dan kelas III, pertimbangan utamanya harus berdasarkan pada kemampuan untuk membayar dan daya beli masyarakat.
Sementara itu, kenaikan iuran kelas I harus didasarkan pada survei kemauan masyarakat untuk membayar.
Masyarakat keberatan
Kenaikan besaran iuran JKN dinilai justru membuat masyarakat enggan untuk menggunakan layanan yang diberikan oleh negara tersebut.
Sebab, nilai kenaikan iuran cukup fantastis. Untuk peserta kelas I naik 100 persen. Artinya, peserta harus membayar Rp160.000 per bulan dari saat ini yang hanya dikenakan Rp 80.000 per bulan.
Kemudian, peserta kelas mandiri II diusulkan naik Rp 59.000 per bulan menjadi Rp 110.000 dari posisi sekarang sebesar Rp 51.000 per bulan.
Sementara, peserta kelas mandiri III naik dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42.000 per peserta setiap bulannya.
Ristiana Budi, salah satu peserta BPJS Kesehatan mandiri kelas I mengaku sangat keberatan dengan langkah pemerintah ini.
Sebab, dalam sebulan, dirinya menanggung iuran untuk empat orang anggota keluarganya, yakni istri dan dua anak.
Dengan harga baru ini berarti harus merogoh kocek hingga Rp 640.000 untuk iuran BPJS Kesehatan.
"Kalau bayarnya segitu mending enggak ikutan BPJS. Mending ikutan asuransi yang lain aja," ujar dia ketika berbincang dengan Kompas.com, Kamis (29/8/2019).
Dia menilai langkah pemerintah tersebut bukan solusi untuk menambal masalah defisit BPJS Kesehatan.
Menurut dia, tak hanya dirinya saja yang merasa keberatan dengan kenaikan besaran iuran yang hingga 100% tersebut tetapi juga masyarakat lain.
"Kayaknya itu bukan solusi, karena banyak teman-teman yang bakalan stop nggak mau bayar jika dinaikin," ujar dia.
Peluang untuk pindah ke asuransi swasta memang berpeluang besar karena variasi penawarannya lebih banyak dibanding BPJS Kesehatan.
Ada asuransi yang menawarkan per paket keluarga dengan harga yang jauh lebih murah dibanding BPJS Kesehatan yang dihitung per kepala.
Bahkan, ada juga asuransi yang menawarkan asuransi plus tabungan seperti asuransi jiwa sehingga dalam waktu tertentu, uang tersebut bisa diambil setelah dikurangi dengan biaya kesehatan --jika peserta sakit.
Nada serupa juga diungkapkan oleh peserta BPJS Kesehatan kelas I lainnya, Giri Cahyo.
Menurut dia, menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan tidak bakal memperbaiki masalah inti dari lembaga tersebut.
"Saya merasa terbebani, asuransi swasta akan lebih menarik nantinya," ujar dia.
Meskipun BPJS Kesehatan diklaim masih lebih murah dibanding swasta, namun dengan jarak iuran yang makin tipis, masyarakat akan banyak beralih ke asuransi swasta.
Pasalnya, pelayanan asuransi swasta jauh lebih baik dibanding BPJS Kesehatan.
Seorang pegawai swasta mengatakan, perusahaannya pernah bekerjasama dengan asuransi swasta dan pelayanannya jauh lebih baik.
"Tidak bertingkat ke fasilitas kesehatan seperti sekarang ini. Datang ke rumah sakit, berobat, kemudian asuransi yang mengurus klaimnya," katanya, "Obatnya juga lebih bagus, tak ada pembatasan seperti di BPJS Kesehatan."
Anggota DPR Juga Menolak
Tak hanya masyarakat, banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hadir dalam rapat dalam penentuan nasib BPJS Kesehatan beberapa hari yang lalu tak sepakat iuran BPJS Kesehatan naik dua kali lipat.
Menurut mereka, dengan dinaikkannya nilai iuran, peserta justru bakal kian malas membayar, jumlah peserta yang menunggak pembayaran iuran bakal semakin meningkat.
"Setiap apapun yang mengalami kenaikan yang cukup drastis harus dimitigasi oleh pemerintah. Saya tidak sepakat kalau kenaikannya 100%," ujar Anggota Komisi XI Ichsan Firdaus.
Sebab, masyarakat bisa saja justru lebih memilih menggunakan perusahaan asuransi swasta ketimbang menjadi peserta di BPJS Kesehatan karena perbedaan tarifnya semakin kecil.
Bila itu terjadi, maka lembaga itu akan kehilangan pangsa pasarnya.
"Perlu dilihat apakah masyarakat mampu atau tidak. BPJS Kesehatan kan bersaing dengan perusahaan asuransi swasta," tegas dia.
Anggota Komisi IX Mafirion mengatakan, tidak ada artinya iuran BPJS Kesehatan jika tidak ada perbaikan tata kelola lembaga.
"Saya kira usul kenaikan iuran akan sia-sia apabila tidak diikuti dengan tata kelola kita sebagai badan pelayanan publik. Tata kelola perlu diperbaiki karena itulah sumber masalah yang utama," ujar dia.
Tak Serta Merta Turunkan Defisit
Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, kenaikan iuran yang diinisiasi oleh menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tersebut tak bisa begitu saja menurunkan defisit BPJS Kesehatan yang sudah terjadi secara menahun.
Sebab, bakal ada risiko penurunan jumlah penerimaan iuran di kelas II dan I akibat besaran kenaikan yang terlampau tinggi. Sehingga, jumlah penerimaan iuran PBPU berpotensi turun.
"Lalu kenaikan yang signifikan di kelas II dan I ini akan mendorong peserta kelas I dan II turun ke kelas III. Nah kalau ini terjadi maka potensi penerimaan dari kelas I dan II akan menurun. Penerimaan PBPU justru akan menurun. Ini harus dipertimbangkan pemerintah," ujar Timboel.
Berkaca dari pengalaman 2016 lalu, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 19 tahun 2016 menetapkan besaran kenaikan iuran menjadi Rp 30.000.
Berbagai protes pun muncul sebagai bentuk reaksi atas kenaikan tersebut. Maka sebulan kemudian muncul Peraturan Presiden nomor 28 tahun 2016 di mana besaran iuran kelas III untuk peserta mandiri menjadi Rp 25.500.
Timboel menilai, seharusnya kenaikan iuran untuk peserta mandiri tidak serta merta dilakukan. Pemerintah perlu untuk melakukan pengkajian terlebih dahulu kepada publik.
"Kenaikan yang tinggi berpotensi menciptakan protes masyarakat. Khawatir kejadian 2016 terulang hendaknya kenaikan iuran untuk mandiri harus dikaji dan diuji publik dulu. Jangan langsung-langsung aja," ujar dia.
Selain itu, juga perlu dilakukan perbaikan dan kontrol yang lebih terhadap fasilitas kesehatan (faskes) yang melakukan tindak kecurangan.
Selain itu, perlu juga dilakukan penertiban badan usaha yang melakukan kerja sama dengan badan pemerintah tersebut.
Dari temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terdapat 50.475 badan usaha yang belum tertib bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Ada sekitar 528.120 pekerja yang belum didaftarkan oleh 8.314 badan usaha. Selain itu, ada 2.348 badan usaha yang tidak melaporkan gaji dengan benar.
"Kenaikan iuran tidak otomatis menyelesaikan defisit karena defisit dikontribusi juga oleh kegagalan mengendalikan biaya dan menghentikan fraud di RS. Jadi menaikan iuran harus didukung pengendalian biaya khsusunya fraud-fraud," ujar Timboel.
Apalagi, salah satu masalah BPJS Kesehatan adalah tingginya tunggakan peserta seperti yang disebutkan oleh Menkeu Sri Mulyani.
Jika iuran naik, apakah BPJS Kesehatan bisa membuat peserta lebih patuh? Bukan justru sebaliknya?
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Iuran BPJS Naik Dua Kali Lipat Bikin Asuransi Swasta Lebih Menarik?"