Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Ini Postingan Dandhy Dwi Laksono Hingga Ditangkap Polisi, 'Soeharto dan ABRI Mirip Jokowi dan Polri'

Istri Dandhy, Irna Gustiawati mengatakan, penangkapan sutradara "Sexy Killers" itu disebabkan unggahannya di media sosial.

Editor: Muhammad Ridho
Facebook
Unggahan di Facebook Dandhy 

Marinir tadi tertawa, lalu menjawab, "Hati nurani saja".
"Apa perintahnya?" saya mendesak karena tentu saja tak percaya.

Tapi Sang Marinir dari markas Cilandak ini hanya tersenyum. Lalu kami pun ngobrol ringan. Di ruas tol dan sisi jalan yang lain menjelang perempatan Slipi, polisi dan tameng antihuru-hara bersiaga. Sisa gas air mata masih menyengat.

Foto ini saya posting di Twitter. Direspon 9.000 likes dan 7.000 retweet dalam tempo kurang 12 jam. Timeline Twitter memang sedang disesaki dengan rekaman video kekerasan polisi terhadap demonstran di berbagai kota di Indonesia. Polisi mengejar mereka hingga dalam masjid, stasiun kereta, bahkan pengendara motor biasa yang sedang terjebak macet, ikut dipukuli polisi.

Wartawan yang merekam aksi kekerasan mereka, tak luput dari incaran.

Polisi bertindak represif karena panik. Jika gerakan ini bergulir menjadi reformasi baru, yang terancam bukan hanya kekuasaan Jokowi atau partai-parrai di DPR, melainkan juga eksistensinya. Ia khawatir kekuasaannya direformasi seperti terjadi pada TNI tahun 1998.

Padahal ia sedang kuat-kuatnya. Ada di badan intelijen, urusan beras di Bulog, dan kini sudah menguasai KPK.

Salah satu cara termudah melihat ini adalah membandingkan bagaimana polisi merespon demonstran pendukung revisi UU KPK yang bertindak agresif di gedung KPK, dengan aksi-aksi lain di seluruh Indonesia yang aspirasinya sebaliknya.

Maka, seperti halnya militer yang berusaha mempertahankan Orde Baru dengan menculik dan menembaki mahasiswa saat Reformasi 1998, polisi kini dalam situasi yang sama.

Dia tak bisa dilihat sebagai unit netral yang menjaga ketertiban bla-bla-bla, tapi telah menjadi aktor itu sendiri.

Jika Soeharto memakai tentara, rezim Jokowi memakai polisi. Institusinya sipil, tapi wataknya militeristik. Di masa Orde Baru polisi memang bagian dari ABRI (angkatan keempat). Saat reformasi, ia dipisah menjadi sipil, tapi paradigma dan strukturnya belum sipil.

Padahal, jika mau belajar dari sejarah, kemarahan rakyat pada Soeharto disumbang besar oleh tindakan militer sepanjang Orde Baru. Merekalah wajah terdepan rezim. Sama dengan masa kolonial di mana pribumi membenci kelompok tertentu dari etnis Tionghoa karena mereka lah yang disuruh menarik pajak untuk Belanda.

Wajah rezim Jokowi hari ini diwakili oleh polisinya.

Kekuasaan polisi sendiri terus membesar karena terlalu banyak urusan. Bayangkan, mulai SIM, lalu-lintas, ganja selinting, laporan pencemaran nama baik, unjuk rasa, sampai anti-terorisme. Bahkan unit khusus pariwisata.

Di RKUHP yang ikut memicu gerakan protes besar ini, polisi akan diberi wewenang lebih jauh mengurus urusan selangkangan rakyat.

Maka, salah satu premis penting saat ini adalah, polisi harus dikurangi urusannya agar kekuasaannya bisa dikontrol. Sebab kekuasaan yang sedemikian besar, membuat mereka akan sulit dikendalikan. Bukankah ini alasan yang dipakai DPR dan Istana soal kewenangan KPK?

Sumber: Kompas.com
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved