Pemko Pekanbaru
Super Hub Pemko Pekanbaru

Perbudakan ABK WNI di Kapal China, Mirip dengan Kasus Benjina di Maluku Tahun 2015 Lalu

Kasus ekspoitasi ABK Indonesia di kapal China ini mengingatkan kembali pada kasus perbudakan manusia di Benjina, Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.

Editor: CandraDani
IOM/UN
Ratusan Anak Buah Kapal (ABK) asing korban perbudakan di Benjina Kepulauan Aru Maluku, dievakuasi ke Tual Maluku Tenggara beberapa waktu lalu. 

Praktik perbudakan ternyata memunculkan dua temuan pelanggaran lain yang sangat penting.

Pertama, adanya praktik perikanan ilegal, tak tercatat, dan tidak teregulasi.

Hal ini sering terjadi pada kegiatan penangkapan ikan di wilayah atau pulau-pulau terpencil, seperti di Pulau Benjina dan pulau-pulau sekitarnya di Maluku.

Praktik semacam ini tak mudah diberantas karena proses perikanan ilegal dan pintu keluar-masuknya hasil produksi mereka adalah pelabuhan yang tidak diawasi dengan baik sesuai prosedur yang telah ditetapkan Kementerian Perhubungan.

Kedua, praktik suap dari pihak perusahaan kepada para petugas di lapangan.

Harian Kompas 7 Mei 2015, melaporkan adanya oknum pengawas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan ( KKP) yang memantau usaha perikanan PT PBR sering melakukan pungutan liar.

Oknum pengawas perikanan mewajibkan tiap kapal yang mengajukan surat laik operasi (SLO) membayar Rp 250.000.

Perlakuan Tak Manusiawi Kapal China Terhadap ABK Indonesia Diungkap Media Korea Selatan

Selain SLO, mereka juga mewajibkan setiap kapal ekspor membayar Rp 5 juta.

Praktik penyuapan kepada aparat Indonesia ini ternyata juga sudah dirilis lebih awal oleh Bangkok Post (26/3/2015) dalam berita berjudul ”Captain will fish in Indonesia waters”.

Dalam berita itu, Khomsan—operator kapal penangkap ikan Thailand yang pernah beroperasi selama 10 tahun di Indonesia—mengaku memberikan suap kepada oknum Angkatan Laut atau oknum Polisi Laut RI yang dia sebut sebagai biaya konsesi agar kapal yang disita oleh aparat Indonesia dikembalikan.

Besaran nilai suapnya 10 juta-20 juta baht (setara dengan Rp 4,0 miliar-Rp 8,0 miliar).

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan saat itu, Asep Burhanudin mengungkapkan, hasil investigasi ke Benjina, di Kepulauan Aru, tanggal 2-7 April 2015, menunjukkan modus utama indikasi perbudakan.

Indikasi perbudakan nelayan itu mencakup perekrutan anak buah kapal dengan iming-iming gaji sepadan, pekerja di bawah umur, dan pemalsuan dokumen identitas.

DETIK-DETIK Jenazah ABK Asal Indonesia di Kapal China Dilempar ke Laut: Terbongkar Perlakuan Kejam

Para ABK juga diduga kuat mengalami diskriminasi upah.

Dicontohkan, upah ABK non- Thailand senilai Rp 1 juta per bulan, ABK Indonesia Rp 1,5 juta per bulan, sedangkan ABK Thailand Rp 3 juta per bulan.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved