SOSOK Penembak Misterius Pentolan GAM, Mantan Anggota Gerakan Aceh Merdeka yang Jadi Legislator
Satu orang di antara mantan anggota GAM itu adalah Nasrizal yang merupakan seorang Penembak Misterius GAM
Penulis: pitos punjadi | Editor: Nolpitos Hendri
TRIBUNPEKANBARU.COM - Gerakan Aceh Merdeka atau GAM sebagai organsasi separatis di Aceh dalam catatan sejaran pernah berkonflik dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
GAM ingin Aceh melepaskan diri dari NKRI.
Namun, kini GAM sudah membubarkan diri setelah adanya kesepakatan damai.
Setelah damai, anggota GAM pun kembali ke masyarakat untuk melanjutkan hidup mereka dengan damai pula.
Satu orang di antara mantan anggota GAM itu adalah Nasrizal yang merupakan seorang Penembak Misterius GAM.
Berkut kisah Nasrizal :
Dua bulan seusai latihan militer di Cot Laba kawasan Desa Matang Sijuek Timur, Kecamatan Baktiya Barat, Aceh Utara, tahun 1999, Nasrizal dipercayakan sebagai salah satu dari Penembak Misterius.
Kepercayaan tersebut didasarkan atas keberanian dan penampilannya yang modis, sehingga tidak mencurigakan beroperasi di wilayah Lhoksukon.
Tiga bulan kemudian, Cek Bay - panggilan akrab Nasrizal ditarik ke markas.
Dalam pasukan, Cek Bay juga menjadi personel yang menjadi perhatian pimpinan GAM di Aceh Utara saat itu.
Hal itu karena keberanian bergerilya tanpa dikomandoi.
Kendati usianya masih sangat muda ketika itu, Nasrizal dipercayakan menjabat Komandan Regu.
Gerilya Cek Bay semakin dikenal ketika itu.
Bahkan pria kelahiran 10 Oktober 1980 itu, menjadi orang pertama di kawasannya yang berani menguji coba menembak jenis bazooka.
Pria yang pernah merantau ke Malaysia itupun kemudian dipercayakan memimpin Komandan Kompi dengan 120 personel.
Sebelum Aceh Damai, Nasrizal juga pernah didapuk sebagai Panglima Sagoe Kulam Meudaulat.
Cek Bay mampu beradaptasi dengan cepat pasca damai.
Ia kemudian menjadi salah satu rekanan bidang infrastruktur, dan juga dipercayakan sebagai bendahara Dewan Pimpinan Sagoe (DPS) Cot Girek.
“Tahun 2015 saya mulai tertarik kuliah di bidang manajemen.
Ilmu tersebut sangat saya butuhkan seorang direktur perusahaan, dan juga Ketua Partai di kecamatan,” ujar ayah lima anak itu.
Tahun 2019, Nasrizal diminta oleh partai dan masyarakat untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif,
Tak sia-sia, hasil kerja keras tim dan dukungan masyarakat, Nasrizal berhasil memperoleh satu kursi dengan perolehan suara 3.900 lebih.
“Kemungkinan karena saya sering berhubungan pekerjaan pembangunan, sehingga partai mempercayakan saya sebagai Ketua Komisi IV,” kata Nasrizal.
Baru-baru ini, Nasrizal berhasil menyelesaikan Srata satu (S1) di Prodi Ekonomi Manajemen di Universitas Islam Kebangsaan Indonesia. Bahkan, kini Nasrizal sudah tercatat sebagai mahasiswa pascasarja di ekonomi majemen kampus tersebut.
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Mengawali Karier di GAM Sebagai Penembak Misterius.
Petrus Alias Penembak Misterius Tewaskan Ulama Aceh Rektor UIN Ar Raniry Safwan Idris
Lain kisah dan tidak terkait dengan Penembak Misterius di atas.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, malang sekejap mata, mujur sepanjang hari, begitulah yang terjadi pada ulama satu ini.
Hari itu menjadi waktu ajalnya tiba karena ditembak oleh Petrus alias Penembak Misterius.
Prof Dr Safwan Idris adalah seorang tokoh ulama sekaligus intelektual Aceh yang memiliki serentetan julukan.
Seorang akademisi, administrator ulung, dan pembaharu pendidikan Aceh merupakan julukan lain bagi sang profesor.
Tentu saja semua orang mengenal Safwan Idris.
Namanya saja sudah begitu populer dengan permainannya di level nasional dan internasional.
Sosok alumni dayah dan ahli kitab kuning itu juga memiliki kepribadian santun, berjiwa ramah dan sosok yang tawadhu'.
Setiap ucapannya menjadi petuah bagi banyak orang.
Banyak pemikirannya briliannya yang hingga kini masih abadi.
Salah satunya menggagas dan mengembangkan sistem pengelolaan zakat, yang kini dikenal nama Baitul Mal.
Ketika ia menjadi Ketua Umum Amil Zakat di tahun 1995, ia memunculkan ide baru tentang zakat.
Seperti Baitul Zakat dan Buleun (bulan) Sadar Zakat.
Namun menjadi catatan sejarah kelam bagi Aceh.
Sang mutiara Darussalam itu telah pergi selamanya, akibat peristiwa sadis yang dilakukan oleh sosok yang hingga kini masih misterius.
Di tengah konflik Aceh yang berkecamuk, Prof Safwan menemui ajalnya akibat diterjang timah panas, tepatnya pada Sabtu 16 September 2000.
Sosok Ulama dan Guru Besar
Prof Safwan Idris adalah rektor ketujuh yang memimpin IAIN Ar-Raniry (kini sudah berubah status menjadi UIN Ar Raniry ).
Sebelum dipilih menjadi rektor, almarhum sempat menduduki jabatan penting di kampus tersebut, termasuk dekan fakultas tarbiyah kala itu.
Selain sebagai seorang rektor, Prof Safwan juga dikenal sebagai sosok atau tokoh Aceh yang cukup berpengaruh kala itu.
Namanya masyhur se-antero nusantara.
Ia merupakan seorang tokoh intelektual yang juga dikenal alim dengan berbagai ilmu agama yang dia pelajari.
Meski menyelesaikan studi hingga ke Amerika Serikat, Prof Safwan Indris adalah seorang guru besar yang juga pernah mengenyam pendidikan dayah tradisonal.
Hermandar Puteh, Mantan Ketua Divisi Ekonomi (1994-1999) Lingkaran Studi Kreatif Minority, Universitas Indonesia dalam tulisan resensi buku 'Kearifan yang Terganjal; Shafwan Idris Ulama dan Intelektual Aceh' yang dimuat Majalah Gatra mengungkapkan kehilangan guru besar pendidikan yang sekaligus Rektor IAIN Ar-Raniry, Safwan Idris, adalah sesuatu yang sangat mahal dan pahit dirasakan rakyat Aceh.
Hermandar menulis bagi masyarakat Aceh, nama Safwan sangat populer.
Safwan Idris lahir pada 5 September 1949 di Desa Siem, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar.
Kakek dari jalur ibunya, Tgk Ali Lampisang adalah guru pertama ulama besar Aceh Tgk Mudawali Al-Khalidi.
Demikian juga dari jalur ayahnya.
Dalam diri Safwan Idris mengalir semangat pendidikan Islam yang diwarisi dari kakek sepupunya Tgk Hasan Krueng Kale, seorang ulama besar Aceh dan tokoh pejuang tegaknya negara kesatuan RI.
Demikian pula ayahnya Tgk Idris Mahmud, adalah teungku yang menguasai ilmu agama dan seorang pejuang yang bergabung dengan kelompok DI/TII Daud Bereueh yang ikut berjuang dalam rangka menegakkan syariat Islam di Tanah Rencong.
Di awal jabatannya sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry (sekarang UIN Ar Raniry), Safwan meluncurkan konsep bagaimana mengembangkan kampus ke depan, dengan pola kepemimpinan yang berukhuwah dan bersilaturahmi.
"Dia berangkat dari Masjid Fathun Qarib, yang terletak di tengah-tengah kampus IAIN Ar-Raniry, sebagai sentral pembinaan moral dan intelektual akademika," tulisnya.
Para dosen dan staf IAIN diajak dengan keras oleh Safwan untuk melakukan salat dhuhur berjamaah dalam rangka mengasah jiwa membangun silaturahmi serta interaksi antara dosen, mahasiswa, dan segenap karyawannya.
Kegiatan akademik di ruang kuliah pada tengah hari dialihkan ke masjid dengan kegiatan ekstrakulikuler.
Secara bergilir dosen-dosen senior diminta mengisi ceramah bebas usai salat dengan bobot ilmiah.
Bahkan sering dilanjutkan dengan diskusi antarsesama jamaah.
Demikian upaya gigihnya dalam mewujudkan IAIN Ar-Raniry sebagai the centre of excellent.
Dalam hal mempersiapkan sumber daya insani, selama masa kepemimpinannya (1996-2000), Safwan mengirim lebih dari 100 tenaga pengajar/dosen untuk menyelesaikan program magister dan program doktor pada berbagai perguruan tinggi terbaik di dalam serta luar negeri (Amerika Serikat, Kanada, Australia, Belanda, Mesir, dan Malaysia).
Safwan juga menambah beberapa program studi baru dan kurikulum yang lebih seimbang antara ilmu agama dan pengetahuan umum.
Seorang Penggagas
Ada banyak sekali jasa yang dilakukan oleh Prof Safwan.
Sebagai sosok intelektual, banyak pemikiran briliannya yang sampai kini masih abadi.
Salah satunya menggagas dan mengembangkan sistem pengelolaan zakat, yang kini dikenal nama Baitul Mal.
Pada tahun 1995, Safwan memunculkan ide baru tentang zakat.
Ketika itu, ia menjadi Ketua Umum Amil Zakat di tahun 1995
Seperti Baitul Zakat dan Buleun (bulan) Sadar Zakat.
Gagasan lainnya Safwan mengusulkan dibentuknya pesantren mahasiswa dan museum.
Hingga saat ini kedua gagasan itu telah terwujud meski Safwan Idris sudah tiada.
Hingga tahun lalu sebelum pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia, seluruh mahasiswa baru UIN Ar-Raniry wajib mengikuti program pesantren mahasiswa dan tinggal di asrama.
Pada sekitar tahun 2003, Pihak UIN Ar Raniry mendirikan sebuah gedung museum yang megah diberi nama
Gedung Museum Prof Dr Safwan Idris MA beberapa tahun setelah ia tiada.
Saat bencana gempa dan tsunami 2004, gedung ini tak luput dari kehancuran. Banyak sisi bangunan yang rusak.
Mantan aktivis Aceh, M Muhammad Alkaf dalam tulisannya ' Untuk Dia yang Tidak Pernah Mati: Safwan Idris ' menulis sosok Safwan Idris tumbuh dalam dekapan dua tradisi kuat di Aceh, dayah dan Darussalam.
"Pak Safwan menjadi pengobat kehausan orang Aceh tentang makna pemimpin sebenarnya yang telah lama hilang; ahli agama sekaligus admistrator ulung.
Hal yang pernah melekat pada dua tokoh besar Aceh sebelumnya, Daud Beureuh dan Ali Hasjmy," tulis peneliti di Aceh Institut ini.
Menurut Alkaf kapasitas intelektual yang dimiliki Safwan Idris adalah hasil tempaan langsung oleh ayahnya, Abu Idris, salah satu ulama yang kharismatik, sekaligus pengikut setia Daud Beureuh.
Alkaf juga menyebutkan Safwan Idris belajar hingga ke Amerika Serikat.
Padahal zaman itu, Kuala Lumpur-pun masih terasa jauh.
Mahasiswa UIN Pertama di AS
Safwan adalah alumni IAIN AR-raniry pertama yang mendapat kesempatan untuk belajar di Amerika Serikat.
Sebuah prestasi yang membanggakan khususnya bagi civitas akedemika IAIN AR-raniry saat itu.
Safwan saat itu mendapat beasiswa dari Mobil Oil Indonesia untuk belajar di University of Wiconsin Medison, Amerika Serikat pada tahun 1977.
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Kiprah Prof Safwan Idris, Tokoh Ulama dan Intelektual Aceh yang Syahid ditembak Pria Misterius.
(Tribunpekanbaru.com / Pitos Punjadi)
