PERKARA Karhutla PT Adei,Pengacara Sebut Sarpras Damkar Perusahaan Lengkap, Sidang Pembacaan Pledoi
Tim kuasa hukum PT Adei secara bergantian membacakan pembelaan di hadapan majelis hakim dan para pihak
Penulis: johanes | Editor: Nurul Qomariah
TRIBUNPEKANBARU.COM, PANGKALAN KERINCI - Terdakwa PT Adei Plantation and Industry membacakan nota pembelaan atau pledoi dalam sidang perkara kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Pengadilan Negeri (PN) Pelalawan, Selasa (27/10/2020).
Pledoi disampaikan oleh Pensihat Hukum (PH) terdakwa Karhutla PT Adei Muhammad Sempa Kata Sitepu SH MH didampingi rekannya.
Sedangkan PT Adei diwakili Direkturnya Goh Keng EE yang duduk di kursi pesakitan mendengarkan pembelaan itu.
Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Bambang Setyawan SH MH sebagai hakim ketua dan dua hakim anggota.
Baca juga: RESMI DICABUT, Status Siaga Darurat Karhutla Provinsi Riau Berakhir Hari Ini
Baca juga: Pindah Memilih pada Pilkada Bupati dan Wakil Bupati Inhu 2020, Ini Syaratnya
Baca juga: Ada yang Libatkan Anak-anak dan Lansia, Bawaslu Hanya Keluarkan Teguran Lisan Sebulan Masa Kampanye
Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Pelalawan yakni Rahmat Hidayat SH.
Tim kuasa hukum PT Adei secara bergantian membacakan pembelaan di hadapan majelis hakim dan para pihak.
Puluhan lembar nota pledoi membeberkan hal-hal untuk mengugurkan dakwaan maupun tuntutan dari JPU yang disampaikan dalam pengadilan.
Setelah selesai, sidang ditutup dan akan dilanjutkan pekan depan.
Usai persidangan, pengacara PT Adei Sempa Kata Sitepu menyebutkan ada beberapa poin penting dalam nota pembelaan yang disampaikan.
PH menilai dakwaan jaksa tidak terbukti terkait Sarana dan Prasarana (Sarpras) Pemadam Kebakaran (Damkar) milik PT Adei yang dituding tidak lengkap.
"Dakwaan itu tidak terbukti dengan alasan sarana dan prasarana kita ternyata lengkap. Sesuai dengan hasil peninjauan di lapangan," beber Sempa Kata Sitepu.
Selain itu, lanjut Sempa Kata, seandainya adapun yang kurang dari Sarpras PT Adei, masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki dan melengkapi.
Sesuai dengan pasal 114 undang-undang nomor 32 tahun 2009.
Peristiwa kebakaran di kebun sawit milik PT Adei pada 7 September 2019, sedangkan perbaikan berakhir pada 17 Oktober 2019.
Artinya tidak melewati tenggang waktu yang ditentukan dalam undang-undang.
Kemudian, kata Sempa Sitepu, bukti tanah yang terbakar harus ditunjukan dalam persidangan.
Pada kenyataannya tidak ada tanah bekas terbakar yang dihadirkan dalam sidang.
Pihaknya menjadi ragu terhadap hasil pemeriksaan sampel tanah dari laboratorium.
"Selanjutnya mengenai perhitungan kerugian tidak memiliki dasar hukum. Prof Bambang Heru sebagai ahli tidak menjelaskan itu," pungkasnya.
Seperti diketahui, JPU Kejari Pelalawan membacakan tuntutan terhadap PT Adei pada persidangan pekan lalu dengan total pidana denda Rp 4,4 miliar.
JPU menuntut agar majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa PT Adei yang diwakili kuasa Direktur Goh Keng EE telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.
Kemudian menjatuhkan pidana denda pokok kepada PT Adei sebesar Rp 1.500.000.00.
Selanjutnya pidana denda tambahan untuk perbaikan lahan yang terbakar seluas 4,16 hektare sebesar Rp 2.987.694.064.
Besaran itu dirincikan dalam dua kategori denda yakni kerugian ekologis dan ekonomis.
Pembagiannya ialah Rp 1.937.592.014, yang disetorkan ke kas negara dan Rp 1.050.102.050.
Digunakan untuk pemulihan lahan dengan kompos di lahan PT Adei yang terbakar di divisi ll Desa Batang Nilo Kecil.
( Tribunpekanbaru.com / Johannes Wowor Tanjung )