Ingat Penganiayaan Balita oleh Pelajar SMP di Rohul? Berkas Kasus Dikembalikan ke Polsek, Ada Apa?
Pada Mei lalu itu bermula ketika balita sebut saja Mawar, ditemukan bersimbah darah dengan luka sayatan menganga di dekat leher dan perutnya.
Setelah dilakukan pemeriksaan, pelaku kemudian diarahkan ke RSJ Tampan untuk divisum kejiwaannya yang kemudian dinyatakan mengalami gangguan jiwa berat.
Padahal sebelumnya, pelaku belum pernah dinyatakan memiliki gangguan kejiwaan yang dibuktikan secara medis.
Setelah berjalan selama hampir enam bulan sejak pemeriksaan tersebut, keluarga korban belum mendapatkan keadilan lantaran berkasnya dikembalikan ke Polsek Rambah oleh Kejari Rohul.
Kriminolog DR Erdianto Effendi SH MH: Demi Rasa Keadilan, Proses Hukum Tak Dapat Berhenti di Kejaksaan
Alasan tidak bisa dilakukannya proses penegakan hukum bagi terduga pelaku pidana dengan status gangguan kejiwaan berdasarkan Pasal 44 Ayat 1 KUHP tidaklah bersifat mutlak.
Apalagi, jika hal tersebut dijadikan dasar bagi seorang terduga pelaku pidana yang belum memiliki catatan gangguan kejiwaan sebelumnya.
Di dalam Hukum Pidana Indonesia yang menganut paham dualistis, pembuktian dua arah baik dari sisi pelaku dan korban memang dibutuhkan.
Baca juga: Rincian Kronologi Kasus Dugaan Korupsi Suap DAK dan Gratifikasi yang Menjerat Walikota Dumai Zul AS
Dalam konteks penganiayaan anak di Rokan Hulu, mustinya proses pembuktian hukum di pengadilan harus dilalui terlebih dahulu.
Artinya, yang dapat memutuskan pelaku mengalami gangguan kejiwaan dan proses hukumnya tak dapat berlanjut hanyalah pengadilan, bukan di tingkat Kejaksaan.
Apalagi, jika unsur-unsur pidananya terhadap penganiayaan berat di perkara tersebut sudah terpenuhi unsurnya.
Mustinya, proses pembuktian tetap dilakukan melalui pengadilan. Dengan demikian, kepuasan masyarakat dalam mencari keadilan menjadi terpenuhi.
Begitu juga dengan pihak Kejaksaan, jika memang unsur pidananya terpenuhi, mustinya proses hukumnya bisa tetap berlanjut ke tingkat pembuktian.
Bukan justru menggugurkannya dengan alasan Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang mana pasal tersebut, jika dilanjutkan ke Ayat 2, diterangkan 'Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa'.
Dengan demikian, penegakan hukum dan pelayanan rasa keadilan dalam perkara tersebut dapat dilakukan melalui proses pengadilan, bukan di tingkat Kejaksaan.
(Tribun Pekanbaru/Syahrul Ramadhan)